
DEN HAAG, KalderaNews.com – Kalau kamu mau kuliah di luar negeri itu jangan cuma di angan-angan saja. Apalagi kalau hanya di mimpi saja, lebih baik gak usah deh! Karena, ada kalanya niat kamu kuliah ke luar negeri ini butuh diwujudkan dengan modal nekat! Tapi modal nekat saja tentu saja tidak cukup. Perlu juga kejelian, terutama untuk bertahan hidup alias survive.
Kenekatan dan kejelian boleh dicontoh dari dua mahasiswa Indonesia di Belanda yakni Ahmad Giras Wruhananing Bowo yang kini kuliah S1 jurusan International Relations and Organizations di Leiden University dan Thareq Akbar Adiguna yang sedang menempuh S1 Double Degree International Bachelor Economics and Business Economics di Erasmus University dan FEB Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
BACA JUGA:
- Jangan Ngaku Technology Enthusiast Kalau Belum Kuliah di Sillicon Valley-nya Eropa!
- Gaung International Students’ Day 2018 dari Kota Pelajar Delft di Belanda
- Gegar Budaya Mahasiswa Indonesia di Belanda, Apa yang Harus Dilakukan?
- Nuffic Puji Keterbukaan dan Transparansi LPDP
Keduanya menjalani kuliah jenjang sarjana di Belanda, meskipun tidak ada beasiswa yang menyokong. Mereka mengaku nekat bertahan hidup dan kuliah di Negeri Kincir Angin saat berbicara dengan KalderaNews yang sedang di Belanda dalam rangka “KalderaNews Jelajah Negeri Kincir Angin 2018” yang diprakarsai oleh Nuffic Neso Indonesia.
Lingkungan yang baru, mulai dari sistem kuliah yang semua serba pakai bahasa Inggris, gaya hidup baru hingga musim benar-benar baru dengan empat musimnya mau tidak mau memaksanya untuk cepat beradabtasi.
“Ini kan sekarang musim dingin nih. Bibir pecah-pecah, kudu pakai lipbalm,” kata Giras mencontohkan salah satu gaya hidup baru yang benar-benar beda dan mau tidak mau harus diikuti.
Dari Masak Bareng Hingga Kerja Part-Time
Teristimewa terkait gaya dan tingkat hidup yang benar-benar beda dengan sewaktu di Indonesia, tentu diperlukan kecermatan dan kejelian memutar otak untuk pemenuhan keperluan hidup sehari-hari.
“Di Belanda Loe harus keluar 8-9 Euro hanya untuk sekali makan di restoran. Para mahasiswa di sini berusaha untuk belajar memasak agar pengeluaran tak membengkak,” terang Thareq
“Kalo Loe masak, itu jauh-jauh banget lebih hemat. Kayak Loe bisa hemat 3-4 kali lipat mungkin,” tandas Thareq.
Akan lebih hemat lagi, kalau masaknya itu dilakukan secara bersama-sama. Oleh sebab itu, kunci kebersamaan ini adalah kejelian dalam berteman.
“Secara koletif dan bersama-sama kita bisa patungan untuk membeli keperluan. Jika kita kekurangan makan, kita juga bisa meminta makan pada teman tanpa ada rasa segan,” akunya jujur.

Untuk sarapan pun, roti gebok dengan harga murah sekitar 1 Euro yang bisa diisin selai, madu dan lain-lainnya bisa menjadi solusi cara berhemat untuk sarapan sebagai pengganti nasi. Thareq pun mengakui pengeluaran yang dianggap masih tergolong yakni mahal transportasi umum.
“Di Belanda tuh termasuk yang paling mahal untuk transportasi di Eropa,” kata Thareq.
Nah, untuk menjaga kondisi keuangan dan terlebih untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mau tidak mau dibutuhkan pemasukan tambahan seperti yang dilakukan oleh Giras dengan kerja part time di sebuah restoran Indonesia di Den Haag.
“Karena memang gak ada sumber pendanaan, kita harus survive dengan biaya dan gaya hidup yang mahal kaya gini. Gitu kan?” ungkap Giras. Beda halnya dengan Thareq yang uang saku pemberian orang tuanya cukup untuk bertahan hidup di Belanda.
Jangan Apatis
Giras yang kuliah di Leiden University Den Haag, sebuah kota multikultur dan multibudaya dari berbagai penjuru dunia selayak New York, memiliki beragam teman yang berbeda budaya. Meski senang dengan hal ini, namun ia mengaku cukup kesulitan dalam berkomunikasi dan beradaptasi dengan mereka.
Adaptasi butuh waktu karena mau tidak mau kadang seseorang perlu mengubah mindset dan melihat sesuatu dari sudut pandang budaya lain. Culture shock itu fakta yang tidak bisa dihindari.
Giras tentu saja mengalami apa yang dinamakan dengan benturan kebudayaan. Hal yang sama juga dirasakan Thareq yang sebelumnya berkuliah di Kota Jogja yang menjunjung tinggi adat, sopan santun, dan keramahtamahan.
Thareq awalnya merasa kaget dengan karakter orang Belanda yang cenderung individualistis. Kolektivitas sulit ditemukan di sini. Ia pung mengakui sampai saat ini dirinya kadang masih kesulitan mencari teman-teman di Belanda yang mau diajak untuk belajar bersama-sama seperti saat ia di Jogja.

Untungnya, Giras dan Thareq termasuk mahasiswa yang terbuka terhadap hal-hal yang baru dan menjadikan culture shock sebagai sebuah pembelajaran untuk mengenal budaya lain dan mengetahui kehidupan yang tidak pernah mereka lihat dan rasakan sebelumnya.
“Itu semua akan passed kok. Tenang aja,” tegas Giras. Ia lantas meng-encourage generasi muda Indonesia untuk tidak takut kuliah ke luar negeri.
“Bagi kamu yang mau mencoba, berani saja dan ambil semua jalan. Lebih baik mengambil segala risiko daripada hanya memikirkan masalahnya saja. Kalo gue sih risk it all ya, gua nekat aja.”
Sementara itu, Thareq juga memiliki pesan khusus buat kamu yang ingin kuliah di Belanda untuk tidak apatis untuk bisa survive.
“Saat kuliah di Belanda, kamu bisa mengajukan hak untuk mendapatkan biaya dan asuransi dari pemerintah Belanda serta potongan biaya seperti kebersihan dan air pada pemerintah. Kalau misalnya Loe takut belajar itu susah, sebenernya mereka itu (mahasiswa eropa:red) gak pinter-pinter amat. Mungkin mereka rajin aja. Jangan takut duluan!”
Dari dua pengalaman Giras dan Thareq jelas terlihat kalau kuliah di Belanda itu enak, tapi memang harus rajin dan mengeluarkan effort yang lebih. Bagaimanapun, yang namanya kejelian, masak bareng dan kerja part time itu bukan cara yang paling konyol untuk bisa survive dan tetap bisa kuliah di Belanda. Konyol atau “mati konyol” itu, justru kalau kamu menyerah dengan keadaan seperti himpitan ekonomi dan memilih pulang ke Indonesia tanpa gelar apa pun. So, sudah seberapa besar nekat kamu untuk mewujudkan mimpi kuliah di Belanda? (FH)
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply