
JAKARTA, KalderaNews.com – Science Film Festival (SFF) yang merupakan acara tahunan Goethe-Institut kembali digelar secara virtual di 24 kota Indonesia. Pagelaran film berlangsung mulai 20 Oktober hingga 6 November 2020.
Konferensi Pers Science Film Festival, Selasa, 20 Oktober 2020 dihadiri oleh Dr. Stefan Dreyer selaku Direktur Goethe Institut Wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru. Lalu, Dr. Matthias Muller selaku Kepala Bagian Kebudayaan & Pers, Kedutaan Besar Republik Federal Jerman.
Konferensi pers festival ini juga mengundang akademisi dari dua perguruan tinggi di Indonesia, yakni Dr. Eko Adi Prasetyanto selaku Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Kerja Sama Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dan Prof. Fiz Firmanzah Ph.D selaku Rektor Universitas Paramadina.
BACA JUGA:
- Wakil Rektor Unika Atma Jaya: Sains Harus Disebar Lebih Menyenangkan
- Science Film Festival Hadir Secara Virtual, Media Film Jadi Wadah Dialog
- Ruwetnya Masalah Limbah Plastik, Daur Ulang Bukan Solusi Tepat!
Tahun ini merupakan 11 kalinya Paramadina turut mempopulerkan Science Film Festival. Profesor Fiz tidak menampik bahwa ilmu pengetahuan alam atau subyek IPA sering dihubungkan dengan hal-hal rumit. Adanya festival ini, maka ia berharap generasi muda di Indonesia semakin tertarik bahwa Sains tidak sesulit yang mereka kira.
“Sains dikonotasikan sebagai hal yang rumit, hal yang kompleks, hal yang menakutkan adanya semacam rumus dan algoritma tertentu yang mungkin bagi kebanyakan orang itu menakutkan. Mudah-mudahan langkah kita ini bisa menambah dan memperluas ketertarikan masyarakat di Indonesia, terurama generasi milenial, untuk berdiskusi dan juga mencari informasi terkait hal-hal yang bersifat saintifik,” ujarnya.
Festival film kali ini mengusung tiga tema besar, yaitu sains, teknologi, dan lingkungan. Menurutnya, pemerintah Indonesia dan perguruan tinggi masih memiliki pekerjaan rumah yang besar untuk menghubungkan ketiga hal tersebut.
Pertama sains, kalau kita lihat mayoritas ranking perguruan tinggi di Indonesia dibandingkan negara-negara di kawasan Asia Pasifik tentu kita punya PR yang cukup besar, terutama dari segi publikasi. Lalu, aspek teknologi yang menjadi tantangan luar biasa saat ini untuk optimalisasi dari teknologi terapan untuk industri dalam menentukan daya saing,” ujarnya.
Kemudian, ia menyorot permasalahan hutan dan kekayaan alam Indonesia untuk aspek lingkungan. Menurutnya, tantangan terbesar ialah cara mengkonvervasi kekayaan alam yang negara miliki.
“Aspek lingkungan, tentu Indonesia sebagai salah satu pemilik hutan hujan terbesar di dunia dan paru-paru dunia. Tentu tantangan kita adalah bagaimana kita bisa mengkonservasi kekayaan alam yang kita miliki,” ucapnya saat konferensi pers.
Pembangunan berdasarkan Sains yang berkelanjutan sudah semestinya melibatkan jiwa unggul dan kepedulian para pelaku. Bukan hanya materi kuliah secara teoritis, tetapi juga rasa peduli. Untuk menumbuhkan jiwa tersebut, Paramadina mengacu pada 3 pilarnya yaitu keindonesian, keislaman, kemodernan. Selain itu ada matriks penilaian bagi para mahasiswa Paramdina.
“Paramadina memiliki dual transcript, jadi mahasiswa untuk kelulusannya bukan hanya ditentukan oleh IPK, tetapi juga akumulasi poin kegiatan kemahasiswaan. Jadi katakanlah IPK cumlaude, tetapi aktivitas kemahasiswannya poinnya masih kurang maka yang bersangkutan tidak bisa lulus dari Paramadina,” ujarnya.
Paramadina juga menyesuaikan pengabdian masyarakat dengan tema lingkungan dan berkelanjutan. Ia menuturkan bahwa Paramadina bekerja sama dengan salah satu mitra di luar negeri untuk pembinaan lingkungan di sekitar kampus.
“Kerja sama dengan salah satu mitra di luar negeri untuk kita ajari daur ulang sampah plastik yang dapat dicetak untuk kehidupan sehari-hari pada warga sekitaran Jakarta. Jadi, ada program untuk pembinaan lingkungan di sekitar kampus Paramadina,” ucapnya.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.
Leave a Reply