Masyarakat Desa Lubuk Kakap, Ketapang, Kalimantan Barat, belajar bersama undang-undang desa untuk pertahankan aset desa mereka (KalderaNews/Ecosoc Institute 2017) |
JAKARTA, KalderaNews.com – Puluhan Organisasi masyarakat sipil tingkat nasional menggelar refleksi dan evaluasi 3 tahun pelaksanaan UU undang-undang (UU) Desa No 6 Tahun 2014 di Jakarta. Meskipun berhasil menstimulasi pembangunan di tingkat desa, namun tiga tahun pasca disahkannya UU tersebut, dirasa masih belum berhasil memberikan solusi utama atas persoalan yang menimpa desa-desa di Indonesia.
Alih-alih memberikan perlindungan bagi warga kebanyakan dari perilaku buruk para elit desa, UU tersebut malah cendrung memberikan kuasa yang begitu besar pada kepala desa dan tanpa menyediakan instrumen memadai bagi masyarakat desa untuk melakukan control.
“Faktanya, kawasan desa kini malah digulung yang namanya HGU, konsesi, kawasan ekonomi khusus, koridorisasi wilayah berskala besar, program-program percepatan pembangunan ekonomi yang tak mengenal batas kedaulatan negara,” ungkap Ketua Panitya Bersama Evaluasi UU Desa, Sri Palupi saat jumpa pers Evaluasi 3 Tahun Pelaksanaan UU Desa, di Jakarta, Selasa (23/1).
Dia mengatakan, tantangan yang dihadapi desa kini dan ke depan semakin berat, terutama dalam merespon gempuran investasi, konflik agraria dan melemahnya daya dukung lingkungan yang mengancam ruang hidup masyarakat yang tak bisa dikurung hanya dalam kerangka administratif dan geografis “desa”.
Palupi yang juga penliti The Institute for ECOSOC Rights & NHCR ini mengatakan ada 3 persoalan penting yang akan didiskusikan dalam refleksi UU Desa dengan tema “Melihat Desa Dalam Konteks Terkini”:
Pertama, tentang tantangan apa yang dihadapi desa kini dan ke depan dalam merespon kondisi di atas. Kedua, bagaimana pelaksanaan UU Desa menjawab tantangan dan keragaman persoalan desa dengan subyeknya adalah para warga, keluarga dan segenap masyarakat, khususnya yang berada dalam posisi paling rentan dan terpinggirkan termasuk para perempuan. Dalam hal ini kata dia perlu dukungan lebih untuk mendorong peluang yang sebenarnya tersedia pada UU Desa yang terbatas tersebut. Ketiga ialah pendekatan alternatif, prasyarat dan gerakan sosial pendukung yang diperlukan untuk mendorong peluang yang terkandung dalam UU Desa dan bisa mengatasi dampak sosial dari institusi, mekanisme dan instrumen penerapan undang-undang yang tidak sesuai dengan semangat UU Desa.
Masyarakat adat dari berbagai Desa di Kabupaten Lembata kompak mempertahankan ruang hidupnya yg terancam investasi pertambangan tahun 2008 silam (KalderaNews/Vande Raring) |
Tujuan utama refleksi ini kata dia adalah untuk mengenali kesenjangan antara mandat UU Desa dan pelaksanaannya, dari tingkat pusat hingga desa, membangun dan memperkuat jejaring untuk mengawal pelaksanaan UU Desa serta merumuskan rekomendasi bagi pemerintah terkait pelaksanaan UU Desa.
Hendro Sangkoyo dari School of Democratic Economics (SDE) mengatakan dari refleksi bersama atas UU Desa ini diharapkan muncul gambaran yang lebih kaya dari lapangan tentang berbagai masalah berdimensi kemanusiaan dan ekologis atas keadaan warga perdesaan beserta ruang-subsistensinya, dan sejauh mana UU Desa berpeluang untuk membela keduanya.
Dalam konteks pembentukan pengetahuan yang hendak dituju dari acara ini, evaluasi dalam tradisi review judisial, atau kajian implementasi UU Desa semata akan dihadapkan pada kerumitan realpolitik dari bekerjanya ketentuan-ketentuan politik di sebagian sektor ekonomi kunci, serta perusakan infrastruktur ekologis dari ruang-hidup perdesaan yang melampaui daya-kelola dan daya-koreksi dari satuan-satuan pengurusan desa. Kedua hambatan tersebut sangat menentukan kualitas kehidupan sehari-hari warga perdesaan maupun operasi pengurusan satuan-satuan politik desa.
Prasetyohadi, panitia kegiatan lainnya mengatakan bahwa kegiatan ini diselenggarakan secara keroyokan Institute for Ecosoc Rights (Ecosoc Institute), Lakpesdam-PBNU, Partnership for Governance Reform (Kemitraan), WALHI Nasional, TuK Indonesia, School of Democratic Economics (SDE), KAPAL Perempuan, Sajogyo Institute, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Komite Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Desantara, dan Bina Desa yang tergabung dalam Panitia Bersama Evaluasi UU Desa, dan didukung oleh Norwegian Centre for Human Rights (NCHR). Kegiatan digelar dari 24-25 Januari 2018, di Wisma PKBI, Jl. Hang Jebat III, Gunung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sedikitnya 150 perwakilan pemerintah desa/BPD dan perwakilan masyarakat desa dari berbagai kabupaten di Indonesia, perwakilan organisasi masyarakat sipil daerah/lokal dan nasional, Perwakilan pemerintah kabupaten dan pemerintah pusat, termasuk awak media nasional ambil bagian dalam acara ini. (JS)
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.
Leave a Reply