YOGYAKARTA, KalderaNews.com – Belakangan ini aksi intoleransi berupa pemaksaan dan kekerasan kembali meningkat di tanah air. Januari lalu, tepatnya Mingggu, 28 Januari 2018, kekerasan dialami pemimpin Pondok Pesantren Al Hidayah Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH Umar Basri (Mama Santiong). Ia menjadi korban penganiayaan usai Shalat Subuh di masjid.
Belum lama berselang, Komando Brigade PP Persis, Ustaz Prawoto. Ustaz Prawoto meninggal dunia setelah sempat menjalani perawatan di rumah sakit akibat dianiaya seorang pria pada Kamis, 1 Februari 2018. Awal Februari ini juga beredar berita tentang Biksu Buddha yang dipaksa meninggalkan kediamannya di Tangerang. Di Yogyakarta, sebuah kegiatan bakti sosial gereja juga dipaksa untuk dibatalkan.
Gelombang pemaksaan dan kekerasan ini semakin nyata pada Minggu, 11 Februari 2018 ketika seorang pria membawa parang menyerang para jemaat saat merayakan misa di Gereja Santa Lidwina Stasi Bedog, Sleman, Yogyakarta. Pelaku menyerang Romo Prier hingga terluka dan kemudian dilarikan ke RS Panti Rapih.
Jaringan Gusdurian memandang bahwa kasus-kasus tersebut tidak berdiri sendiri. Semuanya terangkai dalam satu gelombang peningkatan kekerasan yang harus diwaspadai dan direspons dengan tindakan yang tepat. Apalagi mengingat bahwa tahun 2018-2019 adalah tahun politik praktis bagi bangsa Indonesia, dimana kursi-kursi kekuasaan akan diperebutkan dari tingkat pusat sampai penjuru Indonesia.
“Dengan kecenderungan populisme di seluruh dunia, ketegangan yang terjadi di kalangan umat beragama dan bahkan antar umat beragama bila bercampur dengan kepentingan politik, akan dapat membawa konsekuensi jangka panjang bagi bangsa dan negara Indonesia,” tegas Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid dalam keterangan persnya pada KalderaNews.
Ia menambahkan Jaringan Gusdurian menggarisbawahi bahwa sikap kebencian dan permusuhan kepada kelompok lain sudah semakin mengkhawatirkan, sebagaimana dicatat berbagai penelitian dan survei dari berbagai lembaga dalam kurun waktu 3 tahun terakhir ini.
“Karena itu, menjadi sangat imperatif untuk segera menghentikan tindak kekerasan terkait agama, dengan menuntaskan kasus-kasus yang ada. Kita perlu memberi pesan tegas bahwa setiap aksi intoleransi tidak dibiarkan,” tandasnya.
Ia menjelaskan salah satu alasan meningkatnya kasus kekerasan dalam isu agama adalah karena kasus-kasus intoleransi tidak pernah diselesaikan secara tuntas sesuai dengan hukum yang berlaku. Ketika imbauan dan gerakan politik etis tidak lagi menemukan aktualisasi nyata, maka kecepatan respon dan ketegasan Aparat Penegak Hukum menjadi kunci untuk menghentikan eskalasi kekerasan yang berbahaya bagi bangsa dan negara ini.
Jaringan Gusdurian meyakini bahwa bangsa Indonesia memiliki kearifan yang telah mengakar dan mengikat bangsa Indonesia selama ini yaitu nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan dan keberadaban, persatuan, permusyawaratan, serta keadilan sosial dalam Pancasila. Akhir-akhir ini nilai-nilai ini terasa terkikis, dan masyarakat dikorbankan dengan banjir gagasan kebencian kepada kelompok yang berbeda. Baik mereka yang menjadi silent majority maupun pelaku tindak intoleransi. Semuanya adalah korban paham yang mengajarkan kebencian dan permusuhan, yang telah mengebiri nilai-nilai kebersamaan dan persatuan dalam keberagaman.
“Sudah saatnya Warga Bangsa yang cinta Indonesia menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila sebagai nafas kita membangun kehidupan bersama. Sudah saatnya Warga Negara yang cinta perdamaian dan kesatuan bangsa lebih lantang menyuarakan kehendak dan cita-citanya untuk Bangsa yang Adil, Makmur, Sentosa,” pungkasnya. (JS)
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.
Leave a Reply