Meliana |
JAKARTA, KalderaNews.com – Komnas HAM RI telah menerima pengaduan Ferry Wira Padang, Pengurus Aliansi Sumut Bersatu, perihal laporan dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Pada intinya, pengadu melaporkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat Kepolisian Resor Kota Tanjung Balai dalam kasus/dugaan penistaan agama yang dituduhkan terhadap seorang ibu rumah tangga bernama Meliana.
Menurut Pengadu, Meliana seharusnya diperlakukan sebagai korban dan mendapatkan perlindungan hukum terkait peristiwa kerusuhan dan pembakaran rumah ibadah Vihara dan Klenteng di Kota Tanjung Balai, yang terjadi pada tanggal 29 Juli 2016. Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh pihak kepolisian.
Kepolisian Resort Tanjung Balai justru menetapkan Meliana menjadi tersangka setelah melakukan gelar perkara tanggal 21 Maret 2017, yang kemudian ditegaskan dalam surat panggilan Nomor S.Pgl 85/III/2017/Reskrim dan saat ini kasusnya telah diputus di Pengadilan Negeri Medan yang menghukum Meliana dengan vonis 18 (delapan belas) bulan penjara.
Menindaklanjuti hal tersebut, Komnas HAM yang telah melakukan pemantauan lapangan, pertemuan dengan pengurus Vihara/Klenteng di Tanjung Balai, pengurus DKM Mesjid Al-Makshum, meminta keterangan dari saksi-saksi, olah tempat kejadian peristiwa serta melakukan pertemuan dengan Kepolisian Resor Tanjung Balai dan Kepolisian Daerah Sumatera Utara, menegaskan menyesalkan vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan.
“Komnas HAM RI menyesalkan vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan 18 (delapan belas) bulan/1,5 tahun penjara terhadap Meliana karena dinilai jauh dari rasa keadilan dan tidak berdasar pada fakta-fakta serta bukti-bukti yang ada selama proses peradilan di Pengadilan Negeri Medan,” tegas Komisioner Beka Ulung Hapsara dalam keterangan persnya yang diterima KalderaNews.
Komnas HAM pun merinci sejumlah alasannyaseperti komunikasi atau kata-kata yang disampaikan Meliana (41 thn) kepada Ibu Uwo pada sekitar 1 (satu) minggu sebelum hari kejadian pada tanggal 29 Juli 2016 terkait dengan keluhan kerasnya suara Adzan, termasuk komunikasi lanjutan antara Ibu Uwo dengan Heriyanti, serta Bpk Kasidi merupakan kata-kata verbal yang tidak bertendensi negatif serta tidak dimaksudkan atau didasarkan pada rasa kebencian terhadap etnis dan agama tertentu.
“Terjadi distorsi informasi yang dilakukan dan disebarluaskan oleh oknum-oknum tertentu yang merupakan upaya provokasi untuk memancing amarah komunitas umat Muslim yang berorientasi pada terciptanya kebencian atas dasar etnis dan agama di Tanjung Balai,” tandasnya.
Komnas HAM Pun menegaskan bahwa Meliana adalah korban dari peristiwa kerusuhan dan pembakaran rumah ibadah Vihara dan Klenteng di Kota Tanjung Balai pada tanggal 29 Juli 2016, yang harus mendapatkan perlindungan hukum dan keamanan dari pihak terkait dan tidak selayaknya Meliana ditetapkan sebagai tersangka dan/terdakwa dugaan penistaan agama, mengingat tidak ada niat jahat dan kebencian yang disampaikannya dalam komunikasi dengan Ibu Uwo maupun dengan pengurus Mesjid DKM Mesjid Al-Makshum.
Komnas HAM akan melakukan pengawasan terhadap proses persidangan Meliana baik ditingkat banding, kasasi, maupun peninjauan kembali di lingkungan Mahkamah Agung RI agar proses persidangan berjalan dengan menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia dan meminta semua pihak untuk menghormati proses hukum serta upaya dan praktek pendampingan hukum oleh Advokat terhadap Meliana dengan tidak melakukan pengancaman, kekerasan, dan tindakan-tindakan intimidatif lainnya karena aktifitasnya melakukan pembelaan terhadap klien.
“Komnas HAM RI meminta Kepolisian RI untuk hadir dalam mengamankan dan mengawal jalannya persidangan dari tekanan massa sehingga persidangan bisa berjalan adil dan Hakim dalam menegakan hukum bisa independen dan objektif sesuai dengan aturan.” (NS)
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply