ADDIS ABABA, KalderaNews.com -Demokrasi di negara-negara Asia memiliki karakteristik yang berbeda-beda yang terbentuk berdasarkan latar belakang negara. Karakteristik tersebut adalah sleepy democracy, noisy democracy, fragmented democracy dan fluid democracy. Menariknya, demokrasi di Asia menjalani proses yang terus menerus berubah.
Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Institute for Peace and Democracy (IPD), Dr. I. Ketut Putra Erawan dalam kuliah umum di Universitas Addis Ababa, Ethiopia, Senin (27/5). Kuliah umum dengan tema “Democracy in Asia, The Past, Present and Possible Future” tersebut diselenggarakan oleh Kedutaan Besar RI bekerjasama dengan Universitas Addis Ababa.
Dengan mengambil empat contoh negara Asia yaitu Jepang, India, Turki, Indonesia, Dr. I Ketut Putra Erawan memaparkan berbagai sistem demokrasi yang berbeda dari negara-negara tersebut.
BACA JUGA:
- Beasiswa dari Indonesia Diminati Mahasiswa Afrika, Tapi…
- Gastro-Diplomacy: William Wongso Hidangkan Steak Burung Unta pada Pengusaha Afrika Selatan
- Lampu HEI Berbahan Bakar Air Garam Indonesia Pikat Warga Afrika Selatan
Lebih lanjut I Ketut Putra Erawan menekankan bahwa dalam proses transisi, perlu dilakukan upaya untuk transformasi nilai-nilai demokrasi ke dalam undang-undang dan institusi/lembaga. Proses institusionalisasi tersebut akan membantu dan mendukung terlaksananya proses transisi demokrasi.
Ditegaskan pula oleh I Ketut Putra Erawan keuntungan Indonesia dalam hal nation building serta peran para pendiri bangsa Indonesia. “Meskipun pengalaman demokrasi Indonesia kerap memperlihatkan kekacauan sistem tersebut (messy democracy), namun demokrasi juga membuat Indonesia dapat memahami persoalan-persoalan yang dimiliki dan kebebasan untuk mendiskusikan persoalan tersebut”, katanya dihadapan sekitar 50 peserta yang terdiri dari dosen, mahasiswa dan peneliti, termasuk sejumlah mahasiswa luar negeri yang sedang belajar di Universitas Addis Ababa.
Mahasiswa peserta sangat antusias untuk mengetahui demokrasi Asia terutama paska pemilu di Indonesia. Hal ini disebabkan karena karakteristik pluralisme yang serupa dengan Ethiopia dan tidak banyaknya informasi situasi demokrasi di Asia yang mereka peroleh.
“Selama ini kami hanya mendengar demokrasi di negara-negara barat yang dalam banyak hal tidak sesuai dengan situasi dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di negara kami”, komentar salah seorang peserta.
Sementara itu, Al Busyra Basnur, Duta Besar RI untuk Ethiopia, Djibouti dan Uni African yang juga hadir pada kuliah umum tersebut mengatakan bahwa potensi kerjasama Universitas Addis Ababa dengan Indonesia sangat besar. Beberapa waktu lalu, Duta Besar Al Busyra Basnur telah mengadakan pertemuan dengan sejumlah pimpinan Universitas Addis Ababa dan menyepakai sejumlah program kerjasama Indonesia-Ethiopia.
Salah satu program yang akan segera diselenggarakan adalah kerjasama antara Africa and Asia Studies Center, Universitas Addis Ababa dengan Pusat Studi Afrika, Universitas Airlangga, Surabaya.
Pada tanggal 15 Mei 2019, Dr. Arifi Saiman, Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Asia-Pasifik dan Afrika, Badan Pengkajian dan Pengembangan dan Kebijakan (BPPK), Kementerian Luar Negeri RI telah memandu video conference bersama antara pimpinan Pusat Studi Afrika Universitas Airlangga dengan Duta Besar RI di Addis Ababa untuk membicarakan program dan agenda kunjungan delegasi Universitas Airlangga ke Ethiopia.
Dari pembicaraan tersebut, pada bulan Juli atau Agustus 2019 delegasi Universitas Airlangga berecana berkunjung ke Universitas Addis Ababa untuk membahas detail kerjasama dan direncanakan akan ditandatangani MoU kerjasama antar kedua lembaga. (JS)
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.
Leave a Reply