JAKARTA, KalderaNews.com – Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI, Zainal Arifin menegaskan Barat Sumatera, Selatan Jawa sampai Bali adalah zona subduksi pertemuan lempeng benua Asia dan Australia. Ini menjadikan Indonesia mempunyai potensi bencana dari letusan gunung berapi, gempa sampai tsunami, selain memberikan kesuburan luar biasa bagi tanah Indonesia.
Secara khusus, zona megathrust selatan Jawa memang memiliki potensi gempa dengan magnitudo maksimum M 8,8 yang perlu diwaspadai dengan upaya mitigasi.
Terkait potensi bencana tersebut, masyarakat sebetulnya mempunyai pengetahuan berbasis kearifan lokal dalam bentuk mitos dan dongeng untuk menyikapi terjadinya bencana.
Mitos dan dongeng sebetulnya adalah bentuk keingintahuan masyarakat pada masa lalu terhadap persitiwa alam. Penemuan fakta sains memang dapat berkembang dari mitos. Kadang sains dapat berkembang dari mitos. Seperti cerita adanya kota yang hilang di sekitar selatan Sumatra, Riau. Cerita inilah yang ditelusur menggunakan pendekatan ilmiah.
BACA JUGA:
- MJO, Biang Kerok Banjir di Musim Kemarau
- Ini Penjelasan Kenapa Saat Musim Kemarau Justru Sangat Dingin pada Malam Hari
- Catat, pada Tahun Ini Tinggal Satu Peristiwa Gerhana Lagi
- Jadi Target Penangkapan Liar, Teripang Terancam Punah
- Ternyata Lantai Samudera Purba Berusia 120 Juta Tahun Ada di Kebumen
Pengungkapan sejarah tsunami di pantai Selatan Jawa lewat mitos Ratu Kidul oleh peneliti paleotsunami Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto menarik untuk disimak.
Dikutip dari situs LIPI, selain melalui penggalian deposit tsunami, Eko melacak keberadaan tsunami pada masa lalu melalui kisah-kisah dongeng dan mitos. Metode ini dikenal sebagai geomitologi dengan keyakinan bahwa mitos-mitos kerap menyimpan informasi tentang suatu peristiwa pada masa lalu.
“Prinsip yang digunakan adalah bumi mempunyai siklus untuk peristiwa-peristiwa yang ada di dalamnya apakah itu letusan gunung, tsunami, banjir, gempa, dan sebagainya. Kejadian alam dan mitos ini kemudian dapat disatukan dalam ilmu geomitologi,” ujar Eko.
Eko menjelaskan metode penelitian geomitologi meyakini bahwa mitos-mitos kerap menyimpan informasi tentang suatu peristiwa di masa lalu.
“Seperti contohnya adalah mitos tentang Ratu Kidul yang diduga adalah metafora bahwa pernah terjadi gelombang besar di pesisir Selatan Jawa,” ujarnya.
Ia menjelaskan geomitologi bukan sekadar cocokologi seperti yang sering ditemui saat ini. Geomitologi tidak hanya berhenti pada mitos-mitos dan spekulasi. Mitos dan spekuluasi tersebut terus diverifikasi dan dibuktikan secara ilmiah. Sementara cocoklogi hanya berhenti pada spekulasi tanpa dibuktikan lebih lanjut.
Eko mengawali penelitiannya ini karena menemukan adanya lapisan pasir di daerah Pangandaran yang mengindikasikan pernah terjadi tsunami purbakala yang sekitar 400 tahun lalu. Ia pun melanjutkan penelitiannya di pesisir Jawa lain dan menemukan rekam jejak yang sama di sekitaran era yang sama.
“Dari sini saya bertanya-tanya, ada peristiwa apa di tanah Jawa pada 400 tahun yang lalu. Ternyata sesuai penjelasan di Babad Tanah Jawi saat itu kerajaan Mataram dibangun Islam dan Panembahan Senopati menjadi raja pertamanya,” ujar Eko.
Ia kemudian mengumpulkan catatan-catatan sejarah dan cerita rakyat untuk menelaah jejak tsunami purbakala ini. Salah satunya adalah mitos Ratu Kidul yang dipercaya sebagai penguasa pantai selatan Jawa .
“Ada cerita Panembahan Senopati bertapa di pantai Selatan Jawa untuk meminta bantuan kepada Ratu Kidul untuk dapat membangun kerajaan Mataram, sedangkan dirinya bukan keturunan langsung raja. Setelah pertapaan tersebut, timbulah gelombang tinggi,” terangnya.
Eko juga mengaitkan dengan tembang Serat Sri Nata yang menyebutkan adanya bencana gelombang tinggi, airnya panas sehingga mematikan banyak makhluk hidup. Dalam Serat Sri Nata tertulis bahwa langit kala itu bergemuruh dan gelap disertai petir.
“Bukankah ini membuktikan bahwa bencana itu benar terjadi. Hanya saja Panembahan Senopati berhasil memanfaatkan bencana ini agar seolah-olah Ratu Kidul merestuinya menjadi raja. Ia mengemas bencana ini sebagai mitos turun-temurun untuk kepentingan legitimasi politiknya,” jelas Eko.
Melalui penelitiannya, Eko berharap dapat menguak jejak tsunami purbakala ini sehingga masyarakat dapat lebih waspada dengan potensi bencana yang dihadapi.
“Harapannya kita dapat membangun masyarakat yang lebih rasional dan lebih waspada, serta dapat mempersiapkan diri menghadapi ancaman-ancaman, sehingga kerugian dan korban bisa dikurangi dikurangi. Termasuk juga mengapresiasi cerita itu dalam kajian akademis,” tutup Eko. (JS)
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply