Tujuh Esensi Praktik Menulis Seperti Kartini

Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.
Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta (KalderaNews/Ist)
Sharing for Empowerment

Oleh: Eben E. Siadari *

JAKARTA, KalderaNews.com – Kartini mengubah ‘dunia’ dengan menulis. Ia menjadi pahlawan nasional dengan surat-surat yang diterbitkan setelah lima tahun kematiannya. Apa yang dapat kita pelajari dari tulisan-tulisan Kartini dan dari praktik menulis yang ia jalankan?

Banyak orang yang rajin menulis surat. Namun tidak semua memiliki kemewahan dan pengaruh seperti Kartini. Surat-suratnya menjangkau pembaca yang luas. Gagasan-gagasannya didiskusikan lintas benua dan lintas generasi.

BACA JUGA:

Setidaknya ada tujuh esensi praktik menulis seperti Kartini, yang dapat ditarik dari membaca surat-suratnya dan ulasan tentangnya.

Satu: Membaca sama dengan memberi makanan bagi pikiran.  Menulis membutuhkan pengetahuan. Pengetahuan diperoleh dengan membaca. Ini sebetulnya adagium yang sudah terlalu jelas. Ada berbagai riset yang mengilustrasikan untuk menulis ratusan kalimat seseorang harus membaca ratusan buku.

Kartini gemar membaca. Dia membaca tidak hanya untuk memenuhi kewajiban sekolah. Minat bacanya justru semakin memuncak ketika dia berhenti sekolah karena dipingit. Ia membaca buku-buku, surat kabar, majalah, novel,  yang bagi kebanyakan gadis seusianya kala itu dirasakan sebagai bacaan berat.

Dua: Cara belajar terbaik tentang manusia adalah berinteraksi dengan manusia. Barangkali foto-foto resmi Kartini dapat mendatangkan kesan  ia penyendiri. Namun dari surat-suratnya tampak bahwa ia adalah seorang yang senang bergaul dan berinteraksi dengan sesamanya.

Di sekolah, ia tidak memiliki rasa rendah diri tatkala harus berbicara – dan berdebat – dengan noni-noni Belanda. Dari bercakap-cakap dengan para perempuan Belanda, ia belajar tentang aspirasi perempuan yang tidak ia dapati di lingkungan komunitasnya.

Manusia adalah sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi penulis. Dan itu dapat digali dengan berbicara dan berinteraksi. Tema surat-surat Kartini banyak didasarkan pada gagasan-gagasan yang diperolehnya dari percakapan dengan orang-orang.

Tiga: Pikiran seperti seperti parasut, membawa kita jauh tinggi dan melihat secara lebih luas hanya bila ia terbuka.  Bagi Kartini, menulis surat adalah cara ekspresi kreatif yang menghubungkannya dengan dunia kosmopolitan buku dan ide-ide filosofis. Hal itu kemudian membantunya memaknai pengalaman sehari-hari.

Di umur 20 tahun, dengan pikiran terbuka Kartini merangkul modernitas. Dari sana ia menyusun gagasan-gagasannya tentang masa depannya dan masa depan bangsanya.

Empat: Temukan mentor, partner, pendengar, pembaca. Salah satu keistimewaan menulis surat (atau surat-surat) ialah seseorang dapat memperoleh keempatnya sekaligus. Keseluruhan korespondensi Kartini berlangsung selama lima tahun lebih (25 Mei 1899 sampai 14 September 1904). Kartini menulis kepada sedikitnya 10 orang Belanda dengan berbagai latar belakang.

Umpan balik yang diterimanya tidak selalu seirama dengan pemikirannya. Namun hal itu memicu dirinya untuk berpikir keras merumuskan gagasan-gagasannya.

Lewat korespondensi itu juga, Kartini menemukan ‘pembaca’ atau audiensnya. Personal bonding dengan pembaca memiliki nilai yang besar bagi penulis. Hal itu menjadikannya memiliki tanggung jawab untuk menjawab pertanyaan mereka atau memberi pemikiran tertentu kepada mereka.

Lima: Mengamati dan peka terhadap realitas lalu menangkap intisarinya dan kontradiksinya. Seorang penulis pada dirinya memiliki  kepekaan untuk menjadi pengamat sosial. Hasil pengamatan itu disarikan, dikontradiksikan karena realitas sosial selalu memiliki dan menghasilkan kontradiksi.

Kartini mengamati kontradiksi-kontradiksi itu. Baik kontradiksi dalam kehidupan internal keluarga, kontradiksi yang ia lihat dalam birokrasi pemerintahan Hindia Belanda dimana ayahnya bekerja, juga kontradiksi-kontradiksi yang dihadapi kaum perempuan.

Enam: Berani mengambil sikap meskipun berbeda dengan gagasan mainstream.  Pertanyaan klasik tentang surat-surat Kartini ialah apa yang istimewa dalam surat-surat itu? Gagasan-gagasannya kah? Cara menulisnya kah? Momentum penerbitan surat-surat itukah? Atau semuanya?

Orang dapat berdebat tentang hal ini. Namun satu hal yang tampaknya semua orang sepakat ialah keberaniannya. Kartini menulis gagasan-gagasan yang bertentangan bahkan berkebalikan dari gagasan arus utama yang ada di lingkungannya.  

Risikonya tidak kecil. Kritik-kritiknya tidak hanya menyasar para aristokrat Jawa, lingkungan di tempat mana ia tumbuh, tetapi juga ditujukan kepada birokrasi Hindia Belanda yang lamban dan feodalistis.  

Meskipun surat-surat Kartini diterbitkan lima tahun setelah kematiannya, versi awal dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang adalah kumpulan surat-surat Kartini yang disensor, demi menghormati dan melindungi keluarga. Ini menggambarkan betapa progresifnya pemikiran Kartini, sehingga ada potensi belum dapat diterima di zamannya.

Tujuh: Kredensi penulis tetap hidup walaupun dia sudah tiada. Disadari atau tidak dia sadari, Kartini telah membangun kredensinya sebagai penulis melalui surat-suratnya. Kredensi itu tidak hanya terbangun oleh kualitas dan keberanian pikiran-pikirannya. Yang terutama adalah kejujuran Kartini pada pikiran-pikirannya.

Hal ini yang mendorong J.H. Abendanon, salah seorang menteri pada pemerintahan Belanda kala itu, menerbitkan surat-surat itu dalam bentuk buku.

Dari kelas sosial, Kartini ‘hanya’ seorang putri bupati – ada banyak putri bupati di Hindia Belanda seperti Kartini. Namun dalam lima tahun korespondensinya dengan orang-orang Belanda tersebut, Kartini membangun nilai dirinya sebagai orang yang patut didengar. Mewakili dirinya, kaumnya dan bangsanya.#

* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*