JAKARTA, KalderaNews.com – Widya Priyahita Pudjibudojo, S.IP, M.Pol.Sc atau akrab disapa Widya memiliki alasan unik mengapa dirinya memilih studi lanjut ke Rusia dan tidak tertarik dengan negara-negara lain yang sudah terlalu banyak mahasiswa Indonesianya.
“Kenapa Rusia? Mayoritas ilmuwan sosial-politik Indonesia itu lebih cenderung ambil studi ke Barat: Amerika, Eropa atau Australia. Kalau ada opsi lain, pilihannya negara-negara Asia Timur, seperti Jepang hingga Korea, sehingga masih sedikit yang ke Rusia,” tegas alumnus Master of Global Public Policy dari The Russian Presidential Academy of National Economy and Public Administration (RANEPA) saat berbagi pengalaman dengan KalderaNews dalam program EduTalk.
Padahal yang namanya ilmu sosial, kalau hanya menimba ilmu dari negara-negara yang itu-itu saja maka akan monoton, tidak variatif dan tidak berwarna ketika di bawa pulang ke Indonesia. Oleh sebab itu, memilih negara itu menjadi penting, khususnya untuk ilmu sosial, karena yang nanti dipelajari dan didapatkan itu berbeda.
BACA JUGA:
- EDUTALK: Pandemi Corona, Pelajar Indonesia di Belanda Pulang. Gimana Nasib Kuliahnya?
- Kenapa Kamu Melanjutkan Studi ke Inggris, Inilah Alasannya!
- Indy Hardono: Beasiswa ke Belanda Sangat Terbuka untuk Disabilitas
- Peter van Tuijl: Pelajar Indonesia di Belanda Feels Like Home
- Cara Belajar dan Bahasa Jadi Pertimbangan Penting Jika Mau Kuliah di Jerman
- Sekolah di Jerman Gratis, Tapiā¦
“Kalau kita studi eksakta, memilih negara nggak terlalu penting, karena yang dipelajari sama. Misalkan belajar teori grafitasi, yang namanya apel itu pasti jatuh selalu ke bawah. Mau di Zimbabwe, Amerika, China atau Jepang, bunyinya sama,” tandas Alumnus S1 Politik dan Pemerintahan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Tapi beda halnya dengan ilmu sosial. Memilih negara itu menjadi sangat penting. Pertanyaan yang sama, jawabannya bisa sangat berbeda.
“Misalkan pertanyaan bagaimana negara menyejahterakan rakyatnya. Nah itu, China, Jerman, negara-negara Skandinavia, Amerika, India, Singapura, pasti punya jawaban yang berbeda. Oleh sebab itu, memilih negara itu penting karena apa yang diajarkan di suatu negara, cenderung sama dengan yang dipraktekkan di negara itu.”
Ketika ia memutuskan studi di Rusia pun punya alasan yang rasional. Berkaca dari data mahasiswa Indonesia di luar negeri yang mencapai 80-90 ribu orang dengan rincian Australia: 20 ribu, Amerika: 14-15 ribu, Eropa: 3 ribuan dan Rusia baru 300-350 orang. Rusia masih sangat sedikit dan ia justru melihatnya sebagai peluang.
“Ini peluang karena Rusia ini salah satu super power dunia. Super power itu pasti juga ditopang kualitas pendidikan yang baik. Tidak ada negara sukses tanpa kualitas pendidikan yang baik,” aku pria kelahiran Yogyakarta, 15 November 1985.
Lantas kalau ada yang bertanya kalau Rusia kualitas pendidikannya baik, kenapa kampus-kampus di Rusia itu tidak banyak yang masuk ke ranking dunia? Ia punya pandangan rasionalnya.
“Perankingan universitas di tingkat dunia itu bias bahasa. Misalkan, salah satu komponennya publikasi ilmiah di kancah internasional. Padahal, kampus-kampus Rusia itu 98% programnya berbahasa Rusia dan terbitannya juga dalam bahasa Rusia sehingga tentu tidak akan banyak diakses,” tandas pria yang pernah sekolah di SMA Negeri 5 Surabaya (2001-2004) ini.
Ia berpendapat, kampus-kampus yang tidak berbasis bahasa Inggris cenderung jeblok dari sisi ranking, tapi bukan berarti tidak berkualitas.
“Saran saya bagi teman-teman yang sedang mencari sekolah tidak harus merujuk pada ranking. Kalau merujuk pada ranking maka semua belajar ke Eropa, Amerika, Australia dan Jepang, sehingga ilmunya tidak variatif, apalagi itu ilmu sosial. Sayang sekali!”
Bersambung: Dapat Beasiswa ke Rusia itu Gampang, Lulusnya yang Sulit.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply