Oleh: Eben E. Siadari *
JAKARTA, KalderaNews.com — Sublimasi dalam Ilmu Kimia didefinisikan sebagai proses perubahan dari benda padat menjadi gas tanpa melalui proses mencair terlebih dahulu. Misalnya, es yang langsung menjadi uap tanpa berubah bentuk jadi air.
Tidak semua zat dapat menyublim. Itu sebabnya, proses sublimasi juga sering diartikan sebagai metode pemisahan campuran yang didasarkan pada campuran zat yang memiliki satu zat yang dapat menyublim dengan yang tidak dapat menyublim.
Saya bukan Ahli Kimia dan tak punya kompetensi menjelaskan hal yang rumit ini. Sublimasi dalam Ilmu Kimia, yang menggambarkan transisi perubahan bentuk itu, saya kutip untuk membawa kita pada pengertian lain dari sublimasi di ranah Psikologi, yang tidak kalah menariknya.
Dalam ranah Psikologi, sublimasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari sejumlah mekanisme pertahanan diri individu untuk menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan, atau mencemaskan dirinya. Di ranah Psikologi, ‘perubahan bentuk’ seperti yang didefiniskan dalam Ilmu Kimia juga terjadi. Dan itu dilakukan secara ‘positif’ dalam menghadapi ketidaknyamanan bahkan kecemasan yang datang dari luar diri individu.
Misalnya, ketika seseorang merasa dirinya tidak diterima masyarakat sekitarnya, apakah karena pemikirannya yang dirasa aneh, atau bentuk fisik atau cara berbusananya yang tidak biasa, ia menyalurkan rasa cemasnya itu dengan melakukan aktivitas yang positif dan bernilai sosial. Seseorang, yang misalnya, yang senang berbantah dan karena itu ia tidak disukai banyak temannya, kemudian menyalurkannya dengan ikut lomba debat. Atau, seseorang yang dikenal suka kebut-kebutan, lalu menyalurkan perilaku yang tidak disukai itu ke ajang lomba balap motor.
Saya tertarik untuk memahami makna sublimasi ketika membaca kisah Ibu Guru Shannon dari Texas. Dengan sadar Ibu guru ini memakai mekanisme pertahanan diri sublimasi untuk membantu salah seorang muridnya yang cemas karena tidak diterima oleh lingkungannya. Dan, ia berhasil.
BACA JUGA:
- 7 Alasan Mengapa Cerita Kriminal Paling Banyak Dibaca di Masa Pandemi Covid-19
- Pastoralisme Kota Kecil dalam Lagu-lagu Didi Kempot
- Glorifikasi Stafsus Milenial yang Berakhir Tragis
- Stereotip Rasial di Tengah Wabah Covid 19
- Epitome: Tangis Suster China di Tengah Wabah Corona
- Revitalisasi Kosa Kata untuk Tingkatkan Kompetensi Menulis
- Beda Bahasa Politisi dan Peneliti
Kisahnya demikian. Ibu guru Shannon Grimm mengajar di sebuah kelas Taman Kanak-kanak (TK) di Willis, Texas. Suatu ketika ia menyadari ada masalah pada salah seorang anak didiknya bernama Priscilla Perez. Priscilla yang baru berusia lima tahun itu berubah menjadi pemurung. Gadis kecil itu bahkan enggan datang ke sekolah. Apa gerangan yang membuatnya begitu?
Ketika diselidiki, rupanya anak itu menjadi trauma karena teman-temannya sering merundungnya. Rambut pendek Priscilla jadi bahan olok-olok.
Ibu Guru Shannon menaruh perhatian serius akan masalah ini. Dia mencari cara bagaimana mengatasinya dan memulihkan kepercayaan diri Priscilla.
Ibu Guru Shannon akhirnya menemukan gagasan. Dia ikut memotong pendek rambutnya seperti Priscilla. Bukan hanya itu. Dia juga membeli hiasan rambut yang persis dengan hiasan rambut Priscilla dan mengenakannya setiap hari.
Dengan cara ini Ibu Guru Shannon melakukan sublimasi. Rambut pendek Priscilla barangkali memang belum dapat diterima oleh teman-temannya, dan karena itu menjadi bahan olok-olok. Namun, olok-olok itu tidak harus dilawan melainkan disalurkan secara positif. Yaitu dengan menunjukkan bahwa rambut pendek juga adalah tata rambut yang baik. Ibu Guru Shannon menunjukkannya dengan memakai hiasan rambut yang sama dengan Priscilla.
“Saya ingin menunjukkan sesuatu yang lain kepada ‘teman-teman’ saya di kelas bahwa saya ada bukan hanya untuk mengajar mereka. Saya ingin menunjukkan kasih, yang mereka butuhkan untuk dapat belajar,” kata Ibu Guru Shannon, seperti dikutip oleh berbagai media di AS pada bulan Februari 2019.
Selanjutnya, Ibu Guru Shannon membawa kisah yang dialami Priscilla kepada otoritas pendidikan di wilayah Willis. Shannon juga menominasikan nama Priscilla untuk meraih penghargaan “Student of the month” di Distrik Willis.
Priscilla dinyatakan menang karena ketegarannya menghadapi masa-masa sulit itu. Dan di luar dugaan, Ibu Guru Shannon juga dianugerahi medali penghargaan karena telah menjadi ‘pahlawan’ bagi anak didiknya. Dan yang didaulat menyerahkannya adalah Priscilla.
Kisah Ibu Guru Shannon dan Priscilla, yang saya sajikan juga sebagai satu dari 56 kisah inspiratif dalam buku Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (terbit di bulan April 2020), sesungguhnya akrab dalam keseharian kita meskipun dalam bentuk yang tidak selalu mirip. Survei yang dilakukan OECD dalam Programme for International Student Assesment (PISA) menunjukkan 41 persen siswa di Indonesia pernah mengalami perundungan selama beberapa kali dalam sebulan. Angka ini berada di atas angka rata-rata OECD sebesar 23 persen.
Seringkali anak-anak tidak berterus-terang dengan perundungan yang dialaminya. Mereka kemudian memilih bolos (21 persen) atau terlambat datang ke sekolah (51 persen) karena perundungan yang mereka alami.
Semoga apa yang dilakukan Ibu Guru Shannon dan Priscilla dapat menginspirasi pembaca.
* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan. Buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), The Beautiful Sarimatondang (2020), Perempuan-perempuan Batak yang Perkasa (2020) dan Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (2020).
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat, dan teman-temanmu.
Leave a Reply