JAKARTA, KalderaNews.com – National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC), lembaga nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat memberikan laporan bahwa pada April 2020, jumlah kejahatan dan eksploitasi seksual terhadap anak mencapai 4,2 juta. Angka ini meningkat dua juta anak sejak laporan NCMEC pada Maret 2020.
BACA JUGA:
- Yuk Cek, Pengumuman PPDB Jawa Barat Tahap 2 Hari Ini Pukul 14.00 WIB
- Tagar #MendikbudSalahUrus Jadi Trending Twitter, Ada Apa Ya?
- Kuliah Online Dipermanenkan, Begini Kata Presiden Jokowi dan Mas Menteri Nadiem
- Tertinggal dari Negara Tetangga, RUU PDP Masih Banyak Kelemahan
- Kamu Kesulitan Bayar Kuliah Karena Covid-19? Ini Cara Ajukan Keringanan UKT
- Wahana Visi Indonesia: 42 Persen Anak Bosan di Rumah dan Ingin Belajar di Sekolah
- Inilah Arti Logo HUT Kemerdekaan RI ke-75, Simak Yuk!
- Ternyata Begini Target Merdeka Belajar 15 Tahun ke Depan
Kejahatan dan eksploitasi seksual anak itu terus meningkat seiring dengan penutupan kegiatan tatap muka di sekolah selama pandemi Covid-19. Kondisi ini membuat anak harus belajar dari rumah secara online menggunakan gadget.
Penggunaan gadget juga meningkat tajam lantaran aktivitas anak di luar rumah dibatasi menyusul pemberlakuan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Anak yang terbiasa bebas melakukan berbagai interaksi sosial, seperti bermain dan belajar di luar rumah ataupun di sekolah, mau tidak mau harus tetap berada di rumah. Gadget pun menjadi pilihan utama mereka.
Masalahnya, intensitas anak bermain gadget itu bisa disalahgunakan oleh pihak yang tak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan kejahatan, salah satunya ekploitasi seksual anak secara online.
“Meningkatnya intensitas anak dalam menggunakan media sosial selama pandemi membuka peluang bagi pelaku kekerasan untuk melakukan grooming sebagai tujuan seksual,” ujar Rio Hendra, Koordinator Advokasi dan Layanan Hukum ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking Of Children For Sexual Purposes) Indonesia, dalam Webinar Series yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA).
Menurut Rio, tahapan grooming untuk tujuan seksual berawal ketika oknum mencari anak yang rentan dan mengumpulkan informasi. Lantas, mereka membangun komunikasi dengan anak tersebut, dan ketika anak sudah merasa nyaman dengan oknum tersebut, mereka melakukan perjanjian dengan anak tersebut, sehingga anak menjadi tertutup dengan lingkungan sekitar. Biasanya si anak berkomunikasi secara menyendiri dengan oknum tersebut yang disebut fase rahasia dan isolasi.
Secara bertahap, oknum tersebut akan meningkatkan komunikasi ke arah seksual. Untuk menghindari anak dari tindak grooming, Rio memberikan tips:
Pertama, anak dididik dan didorong orangtua agar mampu dan berani mengatakan “Tidak” bila diminta atau diajak dalam situasi yang dapat diindikasikan grooming.
Kedua, keluarkan anak dari grup atau lingkungan yang membuat mereka terjebak dalam situasi tersebut. “Upayakan agar anak mampu menceritakan hal tersebut kepada orang yang mereka percayai ketika mereka atau temannya menghadapi situasi tersebut,” jelas Rio.
Nah, selain eksploitasi seksual online pada anak, juga perlu diwasapadi cyberbullying. Founder Yayasan Sejiwa, Diena Haryana berharap, anak-anak sebagai netizen mampu memberikan semangat terhadap temannya yang menjadi korban cyberbullying, karena dampak paling parah akibat cyberbullying adalah bunuh diri.
“Cyberbullying seperti virus, awalnya hanya satu orang yang tidak suka terhadap target bullying, dan akhirnya ia mengajak orang lain untuk ikut membenci dan mengintimidasi target tersebut. Cyberbullying terjadi bila sudah ada orang yang merasa tersakiti, terluka, dipermalukan, dan merasa sedih,” papar Diena.
Maka, ia berharap agar anak-anak diharapkan menjadi netizen unggul, yang memiliki empati terhadap teman-temannya, tidak menyakiti orang lain, serta mampu memberikan semangat dan mendampingi teman-temannya yang menjadi korban cyberbullying.
Untuk menyikapi kasus-kasus kekerasan seksual dan cyberbullying, pendampingan orangtua mutlak harus dilakukan. Secara perlahan, orangtua juga mesti memberikan penjelasan kepada anak-anak tentang dampak negatif penggunaan gadget. Selain itu, orangtua juga mesti menjadi teladan pertama dan utama bagi anak-anaknya dalam hal penggunaan gadget. (yp)
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply