Bikin Penasaran Jurnalis, Anak Jalanan Kurang Gizi Kok Bisa Menangi Nobel Kedokteran

Pemenang Nobel bidang Kedokteran tahun 2007, Mario Capecchi (Utah University)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com — Kisah masa kecil Mario Capecchi yang mengenaskan sempat membuat penasaran kalangan wartawan. Pemenang Nobel di Bidang Kedokteran tahun 2007 itu, berkisah, di masa kecilnya ia sempat terlunta-lunta di jalanan dengan perut lapar. Ia bahkan berbulan-bulan di rumah sakit dengan tubuh ceking tinggal tulang-belulang.

Kisah dramatis itu membuat wartawan ingin membuktikan kebenarannya. Mereka melakukan investigasi ke kota-kota dan tempat-tempat yang yang menjadi bagian dari masa lalu pria Italia yang bermukim di AS itu.

Ini menjadikan masa kecilnya semakin terkuak. Sedikit-demi sedikit informasi baru tentang kehidupannya di zaman Perang Dunia kedua itu bertambah.

BACA JUGA:

Sampai sekarang Mario Capecchi masih terus mencari serpihan-serpihan masa kecilnya yang sebagian hanya bisa ia ingat secara samar-samar. Ada yang mengiriminya info-info baru itu lewat surat. Ada yang menelepon langsung.

Mario Capecchi mengungkapkan perjalanannya yang sangat menarik itu dalam narasi biografis resminya yang ditampilkan di situs resmi Komite Nobel. Narasi tersebut ditulis pada saat ia diumumkan menerima Nobel dan kemudian diterbitkan dalam buku serial Les Prix Nobel/ Nobel Lectures/The Nobel Prizes. Berbagai informasi baru atas biografi itu masih terus berlanjut ia tambahkan.

Ibunya Ditangkap Polisi

Menurut pengakuan Capecchi, ia mulai menuliskan masa kecilnya itu pada tahun 1996, ketika ia dianugerahi Kyoto Prize. Sebagai tradisi, para pemenang penghargaan itu diminta menceritakan masa kecil masing-masing, untuk mencoba memahami, apa saja faktor-faktor pembentuk seseorang menjadi saintis.

Potret ibunda Mario Capecchi di masa muda (Nobelprize.org)

Sejak itulah kisah dramatis hidup Mario Capecchi menjadi terbuka. Beberapa wartawan ikut membantu Mario Capecchi menemukan puing-puing masa lalunya.

Mario Capecchi lahir Verona, Italia, 6 Oktober 1937. Ia tidak pernah punya ayah resmi. Ia dibesarkan oleh orangtua tunggal, ibunya sendiri, Lucy Ramberg, seorang perempuan berdarah Jerman.

Namun dia mengenal siapa ayahnya: Luciano Capecchi, seorang opsir Angkatan Udara Italia. Ibu dan ayahnya saling mencintai. Tetapi ibunya memilih untuk tidak menikah dengan kekasihnya.

Ibunya seorang penyair. Puisi-puisinya diterbitkan di Jerman. Di masa itu, fasisme dan nazi-isme sedang berkembang di Eropa. Ibunya bersama seniman-seniman lain tergabung dalam sebuah gerakan menentang fasisme dan nazi-isme.

Saat Mario Capecchi lahir, ibunya pindah ke Tyrol di Italia dan tinggal di sebuah vila kecil. Sampai umur tiga setengah tahun ia bermukim di desa pegunungan itu.

Hingga pada suatu hari pada tahun 1941, polisi Jerman mendatangi rumah mereka. Polisi menangkap dan membawa pergi ibunya.

“Ini merupakan awal dari kenangan saya. Ibu saya mengajari saya Bahasa Jerman dan Italia. Jadi saya cukup tahu apa yang terjadi,” tutur dia.

Rumah masa kecil Mario Capecchi sebelum ia hidup di jalanan (Nobelprize.org)

“Saat itu saya memiliki firasat mungkin saya tidak akan bertemu lagi dengan ibu saya ataupun kalau bertemu mungkin harus menunggu bertahun-tahun lagi,” lanjut dia, yang mengaku bahwa sebagian besar kenangan masa kecilnya ia kumpulkan dari ingatan dan dari perbincangan dengan ibunya dan pamannya.

Berdasarkan informasi yang ia peroleh di kemudian hari, ibunya ditahan sebagai tahanan politik Jerman. Pamannya, yaitu adik dari ibunya, mencoba mencari tahu keberadaan kakaknya. Namun paman yang bekerja sebagai fisikawan dan bermukim di Amerika Serikat itu, tak mengetahui keberadaan saudarinya.

Sesungguhnya, kata Mario Capecchi, sejak lama ibunya sudah mengantisipasi kemungkinan ditangkap oleh polisi Jerman. Itu sebabnya, sang ibu sedikit demi sedikit menitipkan harta bendanya kepada satu keluarga petani Italia. Ketika sang ibu ditangkap, Mario Capecchi juga dititipkan kepada petani itu.

Sepeninggal ibunya, Capecchi hidup bersama petani itu, bekerja di ladang gandum, membuat roti dan memasaknya. Banyak anak-anak lain turut serta menjalani hidup secara demikian.

Hidup di Jalanan dengan Perut Lapar

Perang Dunia II sedang menjelang. Amerika dan Inggris mendarat di Italia. Mereka menjatuhkan bom hampir setiap hari.

Dan muncullah tragedi dalam hidup Mario kecil. Hanya dalam tempo setahun, semua uang yang dititipkan oleh ibunya kepada petani Italia itu ludes. Mario Capecchi harus menghidupi dirinya sendiri.

Ia keluar dari rumah petani itu, berjalan kaki ke arah Selatan. Kadang-kadang ia tertidur di jalanan. Tidak jarang pula ia bergabung dengan kelompok tunawisma lainnya.

Selain itu, dalam ingatannya, ia beberapa kali keluar masuk panti asuhan. Dan sebagian besar masa-masa itu dijalaninya dengan perut lapar. Selama empat tahun dia begitu.

“Ingatan saya tentang masa empat tahun itu sangat jelas tetapi tidak berkelanjutan. Hanya sekadar kilasan-kilasan peristiwa, yang kadang-kadang sangat brutal, melampaui yang bisa dijelaskan secara menyenangkan,” kisah dia.

Di antara ingatan yang tidak menyenangkan itu ialah tentang perjalanannya ke arah Selatan, menuju kota Reggio Emilia. Ia ingin menemui ayahnya karena ia tahu ayahnya berada di kota itu.

Dan ia memang bertemu dengan sang ayah. Dalam ingatannya, ia tinggal bersama ayahnya sekitar tiga pekan dalam rentang waktu 1942-1946.

Wartawan Associated Press yang mencoba mencari tahu keberadaan ayah Mario Capecchi di kemudian hari, memperoleh informasi bahwa berdasarkan arsip-arsip pemerintahan setempat, Mario Capecchi pernah dijemput ayahnya. Namun, Mario Capecchi mengatakan ia sama sekali tidak pernah mengingat bahwa ia dijemput oleh ayahnya.

Terlepas dari itu, muncul pertanyaan, mengapa Mario Capecchi tidak tinggal bersama ayahnya dalam rentang waktu kelabu selama empat tahun itu. Mario Capecchi memberikan jawaban yang menyedihkan. “Di tengah horor perang, yang paling sulit saya terima adalah seorang ayah yang brutal kepada saya,” kata dia.

Maka ia kembali ke jalanan dan hidup terlunta-lunta. Dalam memorinya, ia pernah tinggal di panti asuhan di Reggio Emilia dan seorang pendeta pengasuh panti asuhan itu di kemudian hari, membenarkan bahwa Mario Capecchi memang pernah tinggal di sana.

“Saya berada di panti asuhan hanya beberapa bulan pertama di musim semi tahun 1945, Setelahnya saya melarikan diri, diikuti periode kedua, di panti asuhan yang sama pada musim panas 1946,” tulis dia.

Bertemu Kembali dengan Ibu

Pada 1945 Munich dibebaskan oleh AS. Ibunya selamat dan bebas dari tahanan. Lalu berusaha menemukan anaknya. Dan pada tahun 1946, lima tahun setelah terpisah, mereka berjumpa.

“Ibu menemukan saya pada hari ulang tahun saya yang kesembilan. Dan saya yakin ini disengaja. Saya tidak mengenali dia. Dalam lima tahun, wajahnya terlihat semakin tua. Saya sedang di rumah sakit ketika dia menemukan saya,” tulis Mario Capecchi.

Rumah sakit itu penuh dengan pasien. Tempat tidur berjejer sampai ke koridor. Semua anak-anak yang dirawat di rumah sakit itu karena dua hal: kurang gizi dan sakit tifus. Semuanya kurus karena tidak ada makanan.

Mario Capecchi berada di rumah sakit itu selama satu tahun. “Tidak ada seprai dan selimut. Sebab, dengan begitu para pekerja lebih mudah membersihkan ruangan,” kenang dia.

“Setiap hari ritme yang dijalaninya sama. Suster Maria mengukur temperatur suhu anak-anak. Dan dia mengatakan, jika temperatur saya tidak menunjukkan demam, saya dapat meninggalkan rumah sakit.” Kenyataannya, demamnya selalu datang setiap pagi.

Ketika ibunya menemukannya, ia datang membawa seperangkat pakaian. Kami pergi ke Roma dan mengurus surat-surat. Saya mandi, untuk pertama kalinya dalam enam tahun. Dan kami kemudian kemudian pergi ke Naples. Adik ibu saya, Edward, telah mengirimkan uang untuk membeli dua tiket bagi kami untuk pergi ke AS.”

Sebuah hidup baru ia jalani di AS. “Saya hidup bersama paman Edward Ramberg dan tante Sarah Ramberg. Edward seorang fiikswan yang brilian. Dia ketika itu mahasiswa Ph.D dalam Mekanika Kuantum membantu fisikawan terkenal Arnold Sommerfiled.

Mario Capecchi mengagumi dan merasakan bagaimana pamannya mendidiknya. Paman dan tantenya mengajarnya dengan contoh. Mereka memberi kesempatan kepadanya untuk berkembang.

Di AS, Mario Capecchi memulai sekolah di kelas tiga sekolah dasar. Di kemudian hari ia menekuni Biologi Molekuler, sebuah bidang baru dalam sains. “Semuanya baru. Tidak ada batasan. Antusiasme merasuki bidang ini. Para ahli Fisika, Kimia, Genetika dan Biologi bergabung menekuni bidang ini,” kata dia, yang belajar bidang itu di Fakultas Kedokteran Universitas Harvard.

Pada tahun 2007, ia bersama Sir Martin J. Evansdan Oliver Smithies, dianugerahi Nobel atas penemuan mereka dasar-dasar pengantar modifikasi gen spesifik pada tikus dengan menggunakan stem sel embriotik.

Anak-anak Harus Diberi Kesempatan

Para ilmuwan, termasuk Mario Capecchi, sering diminta menceritakan masa kecil mereka untuk mengungkap faktor-faktor yang berpengaruh dan pengalaman apa yang paling potensial untuk menjadi seorang saintis yang berhasil. Mario Capecchi menjawab berdasarkan pengalamannya sendiri.

Menurut dia, kendati lingkungan masa kecilnya tidak kondusif, dorongan intrinsik setiap manusia untuk membuat perbedaan di dunia ini tidak mudah padam. Dan jika anak-anak diberi kesempatan, kekurangan-kekurangan atau ketidaksempurnaan hidup di masa kecil dapat diatasi dan impian tercapai.

Hal ini, kata dia, merupakan pesan harapan bagi mereka yang telah menghadapi banyak kesulitan di masa awal hidup mereka.

“Seperti yang telah saya catat sebelumnya, kemampuan kita untuk mengidentifikasi faktor-faktor genetik dan lingkungan yang berkontribusi terhadap bakat, seperti kreativitas, terlalu rumit untuk kita prediksi saat ini. Satu-satunya jalan kita adalah memberi semua anak kesempatan untuk mengejar hasrat dan impian mereka. Pemahaman kita tentang perkembangan manusia terlalu sedikit untuk memungkinkan kita memprediksi Beethoven, Modigliani, atau Martin Luther King berikutnya,” kata dia.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*