
JAKARTA, KalderaNews.com — Tokoh-tokoh organisasi Kristen dan organisasi yang menaungi perguruan tinggi Kristen di Amerika Serikat meminta pemerintahan Trump membatalkan kebijakan imigrasi baru yang kontroversial, yang mengharuskan mahasiswa asing meninggalkan AS atau pindah ke universitas lain, jika perguruan tinggi yang mereka ikuti sepenuhnya menjalankan kuliah secara daring pada semester mendatang.
Dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Pelaksana Menteri Keamanan Dalam Negeri, Chad Wold, yang dikirimkan pada hari Jumat (09/07), 12 pemimpin organisasi Kristen mengatakan bahwa kebijakan baru itu tidak sesuai dengan nilai-nilai Amerika, “merampas kontribusi penting kepada negara,” yang diberikan para mahasiswa internasional ke perguruan tinggi mereka secara pribadi maupun secara ekonomi.
Sebagaimana diberitakan oleh The Columbian, dalam surat tersebut para pemimpin organisasi Kristen itu menyebut bahwa kebijakan yang diterbitkan oleh U.S. Immigration and Customs Enforcement (ICE) ”tidak memiliki belas kasihan” dan “melanggar ajaran iman kita.”
BACA JUGA:
- Merek “Merdeka Belajar” Dipakai Kemdikbud, Ini Klarifikasi Lengkap Pendiri Sekolah Cikal
- PAI dan Bahasa Arab di Madrasah Dihapuskan? Ternyata Begini Penjelasan Kemenag
- Dituding Otak di Balik Nadiem, Ini Bantahan dan Klarifikasi Najelaa Shihab
- Survei: Mayoritas Siswa Tak Suka Belajar Secara Online dari Rumah
- Dian Sastro Ternyata Demen Sastra Gara-gara Guru di SMA, Bukan Karena Film AADC
- Ternyata, 90 Persen Mahasiswa Ingin Belajar Lagi di Kampus
“Siswa internasional yang telah tiba di Amerika Serikat dan yang terdaftar dalam program perkuliahan harus diizinkan untuk menyelesaikan program studi mereka di negara ini tanpa gangguan lebih lanjut,” demikian bunyi surat tersebut.
“Ini masuk akal, penuh kasih sayang, dan konsisten dengan kepentingan nasional kita.”
Di antara para penandatangan surat tersebut adalah Presiden National Association of Evangelicals, Walter Kim dan Presiden Council for Christian Colleges & Universities (CCCU), Shirley Hoogstra. CCCU adalah asosiasi perguruan tinggi Kristen beranggotakan lebih dari 180 universitas di Amerika Serikat dan Kanada, dengan jumlah mahasiswa baru 580 ribu secara global setiap tahun.
Turut menandatangangi surat tersebut, Presiden Ethicks & Religious Liberty Commission of the Southern Baptist Convention, Russell Moore. Juga tidak ketinggalan Presiden InterVarsity Christian Fellowship, sebuah perguruan tinggi keagamaan, dan direktur eksekutif International Student Ministry at Cru, yang sebelumnya dikenal sebagai Campus Crusade for Christ dan Presiden World Relief, sebuah organisasi kemanusiaan Kristen.
Mendatangkan Kebingungan
ICE pada hari Senin (06/07) mengumumkan kebijakan baru yang mendatangkan kebingungan pada lebih dari satu juta siswa internasional di negara itu, yang tidak mengizinkan mereka mengambil semua kelas mereka secara daring pada musim gugur ini. Badan itu memberi tahu perguruan tinggi bahwa tidak ada visa baru yang akan diterbitkan untuk mahasiswa asing yang mengambil kuliah daring sepenuhnya. Sementara bagi mahasiswa asing yang sudah berada di Amerika Serikat diharuskan untuk pindah ke kampus yang menawarkan kuliah tatap muka. Jika tidak, mereka diharuskan meninggalkan negara itu.
Sejumlah mahasiswa internasional, termasuk dari Indonesia, telah mengungkapkan kebingungan dan kesulitan yang mereka hadapi akibat aturan baru tersebut.
Sebelumnya, pernyataan penolakan terhadap kebijakan baru tersebut datang dari universitas-universitas Katolik di AS. Sebagaimana diberitakan oleh CatholicPhilly.com, para pemimpin perguruan tinggi dan universitas Katolik di AS yang tergabung dalam Association of Catholic Colleges and Universities (ACCU), mengecam kebijakan baru itu dan menyebutnya “menciptakan kekacauan pada universitas dan mahasiswa internasional.”
Para pemimpin perguruan tinggi Katolik menilai aturan baru tersebut hanya sarana pemerintah AS untuk memaksa perguruan tinggi untuk membuka kembali kelas tatap muka pada saat perguruan tinggi sedang menyelesaikan rencana musim gugur mereka.
ACCU mengatakan keputusan pemerintah AS tersebut “tidak hanya kebijakan kesehatan yang buruk, itu juga kebijakan yang keji.”
“Mengizinkan semua mahasiswa, terlepas dari negara asalnya, diberi akses yang sama ke pembelajaran online adalah hal yang adil, masuk akal, dan bermoral untuk dilakukan. Kita dapat menjaga keamanan mahasiswa dan menjaga anak-anak ini tetap pada jalurnya,” kata pernyataan mereka yang diterbitkan pada 8 Juli 2020.
Association of Jesuit Colleges and Universities (AJCU) juga menyuarakan keprihatinan yang serius dan meminta Pelaksana Menteri keamanan Dalam Negeri, Chad Wolf, membatalkan kebijakan tersebut.
Dalam sebuah pernyataan pada 9 Juli lalu, asosiasi tersebut mengatakan aturan baru itu “tidak mengakui kebutuhan kritis akan fleksibilitas di saat kita memerangi penyakit baru, yang ganas dan terus berubah” dan juga “mengabaikan aturan sebelumnya yang dikeluarkan pada musim semi yang mengakui sifat sifat yang tidak ada presedennya dari pandemi coronavirus dan memberikan universitas kita fleksibilitas yang diperlukan untuk memprioritaskan kebutuhan akademik semua mahasiswa ketika mereka beralih ke lingkungan belajar virtual. ”
John DeGioia, presiden Georgetown University di Washington, mengatakan dalam surat tertanggal 8 Juli kepada komunitas sekolah bahwa universitas “sangat menentang tindakan sembrono ini,” yang, katanya, “menciptakan hambatan baru dan tidak perlu bagi mahasiswa internasional dan menempatkan kesehatan, stabilitas dan kemajuan akademik berisiko jika mereka tidak dapat berpartisipasi dalam kelas secara langsung. ”
DeGioia mengatakan aturan baru itu “gagal mengenali kontribusi berharga dari mahasiswa internasional kita dalam komunitas kita.”
Dia mengatakan universitas yang dipimpinnya sedang bekerja dalam sejumlah bidang untuk membatasi, dan jika mungkin mencegah, dampak negatif dari peraturan ini terhadap mahasiswa internasional.
Selanjutnya, ia menyampaikan bahwa pihaknya bergabung dengan perguruan tinggi lain dalam mengajukan gugatan di pengadilan Federal “menentang aturan baru yang merusak ini.”
Sementara itu, dalam posting di blog pada 7 Juli, Patricia McGuire, presiden Trinity Washington University, mengatakan tindakan pemerintahan Trump “mendorong dua pesan yang tidak bertanggung jawab yang memalukan: pandemi itu bukan masalah besar, lupakan saja; dan, jika universitas AS ingin menerima mahasiswa internasional pada musim gugur ini maka perkuliahan tidak boleh secara daring. ”
McGuire mengatakan: “Menyangkal pendidikan yang aman untuk mahasiswa internasional, mengganggu kemajuan akademik mereka dan mungkin memaksa mereka untuk melakukan pemulangan prematur dari AS tanpa jaminan pengembalian, semakin mengurangi status AS secara global sementara menyebabkan kesulitan yang tak terhitung dan tekanan yang tak perlu kepada lebih dari satu juta mahasiswa. “
Dia mengatakan kampusnya sedang mencari pilihan dan “akan melakukan segala yang kami bisa untuk merawat mahasiswa internasional kami.”
Pastor John Jenkins, ketua Universitas Notre Dame, juga menentang peraturan itu, meskipun Notre Dame telah mengumumkan akan menjalankan perkuliahan tatap muka dengan jadwal yang dimodifikasi pada musim gugur mendatang.
Dalam suratnya pada 8 Juli lalu, Pastor Jenkins mengatakan dia prihatin dengan pendekatan pemerintah “yang tidak ramah, bahkan bermusuhan, terhadap para mahasiswa dan pelajar yang datang (ke AS) yang memperkaya pembelajaran kita sendiri dan lingkungan budaya.”
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply