Tradisi Memberi di Masa Resesi

Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.
Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta (KalderaNews/Ist)
Sharing for Empowerment

Oleh Eben E. Siadari *

JAKARTA, KalderaNews.com – Aba-aba tentang kemungkinan Indonesia  memasuki resesi ekonomi sudah banyak diungkapkan orang. Tapi kata ‘resesi’ sendiri tampaknya kehilangan ketajamannya untuk menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.

Mungkin karena kita masih lebih dihantui oleh kata pandemi dan coronavirus. Kita juga mungkin terlalu menaruh harapan pada penemuan vaksin sehingga seolah-olah bila vaksin ditemukan semua persoalan beres.

Ekonom menggunakan kata resesi untuk menggambarkan perekonomian yang tumbuh NEGATIF setidaknya dua kuartal berturut-turut. Kata negatif sengaja dibuat huruf besar untuk menekankan dampaknya.

Sering orang merancukan bahwa resesi adalah menurunnya pertumbuhan ekonomi. Tidak. Resesi bukan hanya penurunan pertumbuhan tapi lebih parah dari itu. Ia tumbuh negatif. Bukan hanya tak menghasilkan sesuatu, malah menggerogoti yang sudah ada.

BACA JUGA:

Para pegawai pemerintah dan  mereka yang berpenghasilan tetap lainnya, sering susah membayangkan ini. Sebab ekonomi sulit atau tidak, penghasilan mereka relatif tidak terpengaruh. Yang bisa punya ‘sense‘ yang kuat tentang resesi adalah petani, pedagang, supir, penarik becak dan sejenisnya.

Resesi bukan sekadar bila kuartal lalu kita digaji 500, lalu kuartal ini digaji 300. Tapi resesi adalah kuartal lalu masih bisa mengantongi 1000 tapi kuartal ini malah nombok 100. Dan itu berlangsung selama dua kuartal berturut-turut.

Itu mirip dengan petani yang selama dua musim panennya puso sementara pupuk dan bibit masih belum dibayar. Atau seperti tukang becak yang becaknya dikerangkeng berbulan-bulan sementara dia masih harus bayar sewa becak ke majikan.

Dalam konteks ekonomi negara, resesi berarti perekonomian secara umum merosot. Di Amerika Serikat, definisi resesi mencakup kemerosotan ekonomi di hampir semua sektor, tidak hanya di satu atau beberapa sektor.

Salah satu yang menakutkan tentang resesi, menurut para ekonom, bukan hanya soal seberapa dalam ia berlangsung. Yang lebih penting lagi adalah seberapa lama dia menyandera. Seperti apa kurva kemerosotan ekonomi di masa resesi? Apakah akan seperti kurva V, atau U atau malah L?

Idealnya tentu adalah seperti kurva V, resesi hanya sebentar dan pemulihan yang cepat segera tercapai. Dan ini sangat tergantung pada respons menghadapinya, baik dari sisi kebijakan yang diambil otoritas, maupun respons psikologis dan sosial masyarakat.

Tatkala resesi tiba, manusia kerap memunculkan animal spiritnya. Ya, animal spirit.  John Maynard Keynes menggunakan ini dengan mengutipnya dari khasanah filsafat. Animal spirit yang dimaksud adalah reaksi spontan dalam merespons sesuatu, ketimbang berdasarkan perhitungan yang rasional.

Ketika resesi tiba, reaksi spontan orang umumnya adalah safety first, selamatkan diri sendiri dan kelompok terdekat. Berhemat, berhemat, berhemat.

Misalnya demi safety first mungkin sebuah keluarga tidak merasa bersalah memulangkan para PRT ke kampung halaman karena khawatir akan menularkan virus.

Di tingkat korporasi, animal spirit membuat perusahaan akan menahan investasi dan bahkan mengurangi pekerjanya karena alasan safety first.

Di ranah politik, ini akan mendorong orang mengutamakan kelompok, teman bahkan anggota keluarganya untuk jabatan politis.

Animal spirit juga biasanya akan mendorong orang lebih skeptis terhadap apa pun dan siapa pun. Ketika banyak orang di masa pandemi merasa nyaman mendekam di rumah, bisa jadi lebih didorong oleh animal spirit ini ketimbang karena kepedulian untuk tidak menularkan virus kepada orang lain.

Bila animal spirit berkembang biak dan meluas, resesi akan lebih dalam dan pemulihan bisa lebih lama. Kurva L bisa menjadi kenyataan.

Berita baiknya, realitas menunjukkan manusia tidak selalu memunculkan animal spiritnya di masa resesi. Justru sebaliknya, manusia menyadari betapa berbahayanya akibat dari animal spirit tersebut terhadap masa depan bersama. Karenanya, spirit itu harus dilawan dengan menolak segala kebijakan maupun tindakan yang mementingkan diri sendiri dan pada saat yag sama mendorong sikap semakin peduli pada nasib orang lain.

Realitas ini ditunjukkan oleh sebuah survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga pembiayaan, Lending Tree, terhadap masyarakat Amerika Serikat belum lama ini. Survei ini ternyata membantah kehawatiran yang muncul pada masa awal pandemi,  bahwa para orang-orang kaya, khususnya para filantropis negara adidaya tersebut tidak lagi akan bermurah hati menyisihkan kekayaannya untuk kegiatan-kegiatan amal di tengah kesulitan ekonomi.

Nyatanya kekhawatiran itu tidak beralasan.

Sebanyak 2/3 responden yang disurvei oleh Lending Tree mengatakan  kebiasaan mereka memberi kepada lembaga-lembaga amal tidak berubah dibandingkan tahun sebelumnya. Sebanyak 34 persen dari mereka memberi donasi lebih dari sekali tahun lalu.

Lebih jauh, survei itu mengungkapkan bahwa sumbangan yang diberikan dalam bentuk yang tidak terekam di laporan pajak penghasilan meningkat sebanyak 12 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Donasi itu disalurkan melalui lembaga amal setempat atau diberikan kepada orang-orang yang mereka kenali dengan baik yang merupakan korban PHK di masa pandemi COVID 19.

Menurut survei ini, kemurahan hati para pendonor semakin kentara ketika meibatkan seseorarng yang mereka kenal secara personal yang terkena dampak lockdown. Survei ini menemukan bahwa 30 persen pengguna jasa tertentu tetap membayar jasa tersebut walaupun tidak memerlukannya di masa pandemi COVID-19. Misalnya, mereka tetap menggaji pekerja rumah tangga dan babysitter mereka walaupun  tidak lagi bekerja untuk mereka selama masa lockdown.

Survei ini menemukan bahwa para responden tidak ingin mereka yang selama ini telah melayani mereka lewat jasa mereka, jatuh tak berdaya karena masa sulit ini.

Fidelisty Charitable, salah satu lembaga amal terbesar di AS, dilaporkan menyumbang  US$3,4 miliar pada paruh pertama 2020,  naik 28 persen dibanding periode yang sama tahun 2019.

Surat kabar Washington Examiner melaporkan donasi dalam bentuk donor advised funds (DAFs) yang disalurkan kepada 32 yayasan komunitas yang berbeda mengalami lonjakan 80 persen sepanjang Maret dan Mei tahun ini.

Schwab Charitable, sebuah lembaga amal lainnya di AS, melaporkan kenaikan  50 persen sumbangan yang disalurkan pada paruh pertama 2020. Tahun ini juga tercatat sebagai tahun paling murah hati pada lembaga ini. Dari Januari hingga Juni 2020, lembaga amal ini menyumbang sebesar US$1,7 miliar, meningkat 46 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Bagaimana di Indonesia? Semoga kecenderungan positif ini juga terjadi.

* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan. Buku karyanya antara lainEsensi Praktik Menulis (2019), The Beautiful Sarimatondang (2020), Perempuan-perempuan Batak yang Perkasa (2020) dan Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (2020).

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*