
JAKARTA, KalderaNews.com – Sejak Maret 2020 sampai saat ini, Indonesia masih bergelut dengan pandemi Covid-19 yang memaksa aktivitas belajar mengajar tatap muka di sekolah dihentikan. Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menekan angka Covid-19, salah satunya dengan kebijakan untuk belajar dari dan di rumah (BDR) atau Program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang kebanyakan dilakukan secara daring.
BACA JUGA:
- Ingat, Asesmen Nasional (AN) Bukan Pengganti Ujian Nasional (UN)
- KPAI Berikan Rekomendasi SOP Ideal Persiapan Buka Sekolah Saat Pandemi Covid-19
- Duh, 213 Siswa Mengadu ke KPAI Selama Belajar di Rumah, Ternyata Ini Alasannya
Dengan kebijakan PJJ, maka anak-anak dipaksa melakukan semua aktifitas belajar dengan menggunakan gawai dan internet. Tentunya dengan hal ini, anak akan lebih sering menggunakan gawai dan jaringan internet setiap harinya, baik dalam kegiatan belajar ataupun pada saat mengerjakan tugas.
Hasil survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa anak diijinkan menggunakan gawai di luar jam belajar oleh orang tua sebanyak 76,8%. Adapun durasi penggunaan gawai di luar jam belajar adalah 1-2 jam per hari sekitar 36,5 %, durasi 2-5 jam per hari sekitar 34,8%, dan durasi lebih dari 5 jam per hari sekitar 25,4%. Penggunaan gawai tersebut rata-rata adalah milik anak sebanyak 71,3%.
Penggunaan gawai ini kebanyakan tanpa dibarengi dengan aturan terkait penggunaan dari orangtua sebanyak 79%. Kebanyakan orangtua juga tidak melakukan pendampingan pada saat anak menggunakan gawai.
Melihat hasil survei itu, Margaret A. Maimunah, Komisioner Bidang Pornografi dan Cybercrime KPAI mengaku khawatir dengan kondisi anak-anak karena rentan mengalami terpapar informasi yang salah, konten negatif di internet atau menjadi korban/pelaku kejahatan siber, seperti kasus parodi lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.
“Angka anak yang menggunakan gawai di luar aktifitas belajar masih cenderung tinggi, rentan bagi anak terpapar informasi salah, konten negatif atau menjadi korban/pelaku kejahatan siber seperti kasus parodi lagu kebangsaan Indonesia Raya yang saat ini diproses oleh Mabes Polri. Anak-anak perlu adanya pendampingan saat berselancar di dunia maya,” ujar Margaret.
Dalam kasus parodi lagu Indonesia Raya, berdasarkan hasil pengawasan KPAI, bahwa sebelum membuat konten negatif tersebut, pelaku yang masih berusia 16 tahun telah terlebih dahulu bergabung dengan grup media sosial yang berisi dengan ujaran kebencian. Dalam kasus lainnya yang serupa, berdasarkan hasil pengaduan KPAI, orangtua melaporkan adanya grup pornografi yang mengundang anaknya masuk ke dalamnya. Dari satu grup pornografi berkembang ke grup lain yang juga sarat dengan hal yang sama.
Margaret menyarankan kepada seluruh orangtua agar melakukan kontrol pada gawai anak terkait dengan apakah anak bergabung pada grup tertentu di media sosial. Grup yang dimaksud adalah grup yang sarat dengan konten-konten negatif yang dapat berdampak negatif terhadap tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak.
Konten-konten negatif yang dimaksud adalah konten-konten yang bermuatan pornografi, bermuatan kekerasan, dan berisi perilaku-perilaku negatif yang dapat mempengaruhi anak untuk berperilaku negatif. Jika orangtua menemukan anak bergabung dalam grup yang sarat dengan konten-konten negatif tersebut, maka anak harus segera keluar dari grup tersebut.
“Bagi orangtua yang menemukan grup-grup berkonten negatif tersebut, orangtua dapat melaporkan ke KPAI untuk dapat dilakukan upaya tindak lanjut,” ujar Margaret.
Margaret mengajak orangtua agar membangun komitmen dengan anak terkait aturan penggunaan gawai dan aktifitas dalam bermedia sosial, agar anak-anak dapat terlindungi dari berbagai konten negatif dan kejahatan siber.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply