Poros Agilitas Budaya dalam Pendidikan Hari ini

Pemerhati Pendidikan sekaligus Dosen DKV di Institut Teknologi Telkom (ITT) Purwokerto, Damar Tri Afrianto (KalderaNews/Dok. Pribadi)
Pemerhati Pendidikan sekaligus Dosen DKV di Institut Teknologi Telkom (ITT) Purwokerto, Damar Tri Afrianto (KalderaNews/Dok. Pribadi)
Sharing for Empowerment

Oleh: Damar Tri Afrianto *

PURWOKERTO, KalderaNews.com – Pendidikan yang telah ada sejak masa kolonial hingga saat ini terus mengalami perkembangan untuk memecahkan permasalahan yang kompleks di dalamnya. Terutama pada masa pandemi Covid-19 yang mengubah fundamental pendidikan hari ini dan di sisi lain dalam waktu kurun terakhir ini, sejak gelombang pasang arus modernisasi, pendidikan kita seakan pontang-panting dalam menjawab sisi humanitas di era globalitas.

Pendidikan kita turut reaktif dan terbawa arus globalitas secara total tanpa menentukan karakter sendiri pendidikan seperti apa yang harus dikonstruksi dalam era yang kerap disebut milineal ini. Permasalahannya adalah jenis pendidikan seperti apa yang harus dirumuskan dalam konstelasi peradaban global saat ini di tengah pandemi yang belum berakhir.

Pendidikan dalam hal ini tidak hanya kita dudukan sebagai sebuah institusi formal, namun perlu didudukan pada kontekstual dan ekosistem dalam membentuk pendidikan itu sendiri. Artinya, komponen-komponen penunjang pendidikan perlu menjadi pertimbangan, seperti kurikulum, metode, keluarga, dan aspek sosialnya. Inilah ekosistem pendidikan yang tidak hanya berurusan pada ruang kelas.

BACA JUGA:

Aspek yang perlu mendapat perhatian lebih dalam dunia pendikan di era global serta bayang-bayang pandemi yaitu salah satunya adalah agilitas pada kearifan lokal. Kearifan lokal ini menyinggung aspek yang lebih luas yaitu ‘kebudayaan’. Kenapa harus kebudayaan dan apa relevanasinya agilitas budaya dalam pendidikan di tengah globalitas dan pandemi?

Sangat mungkin dari kebudayaan didapatkan seperangkat pengetahuan yang utuh guna membaca globalitas dan pandemi ini, dan bagaimana harus bersikap. Untuk mendapatkannya  jalan pendidikan adalah salah satunya.

Pendidikan dan kebudayaan bukan sebuah entitas yang berdiri sendiri dan terpisah seperti yang terjadi saat ini. Keduanya perlu diintegrasikan secara intim. Pendidikan kita seolah lepas dengan aspek kebudayaan terutama kearifan lokal, sehingga arahnya tidak jelas. Indonesia yang kaya keragaman kebudayaan beserta kearifan lokalnya minim dieksplorasi dalam dunia pendidikan baik di tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Kehadiran kebudayaan tidak lebih hanya mewujud pada konten muatan lokal atau pelajaran seni dan budaya dan terkadang pada perayaan seremoni kedaerahan, tidak lebih.

Eksploratif

Kesadaran tentang kebudayaan inilah yang perlu kita bangun dan eksplorasi. Kebudayaan cakupannya sangatlah luas, tidak hanya berkutat pada kesenian. Maka, tidak menutup kemungkinan ranah kebudayaan dapat diintegarasi pada segala bidang dan elemen pendidikan.

Pendidikan berbasis kebudayaan erat kaitanya dengan bidang sejarah, mengutip dari penjelasan Dirjen Kebudayaan Himar Farid yang mengacu pada pendidikan di negara tetangga Singapura menjelaskan beberapa aspek atau metode pendidikan diantaranya: Reason (akal), kemampuan peserta didik dalam menggunaan bukti-bukti dalam membangun argumentasi. Enquiring, kemampuan menggali informasi.

Ada juga Dilearning, kemampuan pembacaan kritis, dalam arti tidak menerima mentah-mentah apa yang sedang dihadapi. Penting dalam hal ini sebagai penangkal hoax atau isu-isu kebohongan yang marak terjadi. Balance, berimbang dan keterbukaan diri dalam menerima segala macam bentuk pengetahuan. Implikasinya adalah membangun toleransi untuk menerima dari segala sudut pandang. Empathy, kemampuan menempatkan diri dan melihat dari perspektif di luar dari dirinya.

Rumusan di atas telah diterapkan di Singapura, dan Indonesia dengan modal keberagaman sangat lah mampu untuk mengembangkan pendidikannya sendiri dengan dasar kekayaan budayanya. Dan apa yang telah Singapura lakukan sebenarnya Indonesia telah lebih dulu menerapkan sejak Ki Hajar Dewantara meletakkan pondasi pendidikan di negeri ini. Masalahnya sekali lagi penyelenggaran pendidikan kita terasa memisahkan diri pada kebudayaan.

Pemerintah saat ini secara filosofis sebenarnya memberi dukungan melalui jargon “kebudayaan menjadi platform pembangunan”. Jargon tersebut juga melahirkan sebuah UU pemajuan kebudayaan. Sekarang tinggal bagaimana menyusun strategi dan menempatkan kebudayaan dalam ranah pendidikan.

Dalam hal ini gagasan yang diajukan diantaranya, bagaiman konten kurikulum yang telah dirumuskan perlu kiranya mengeksplorasi nilai-nilai budaya masing-masing yang mampu menjawab globalitas tanpa perlu kehilangan identitas dan bagaimana harus bersikap di masa pandemi.

Sumber daya budaya perlu diidentifikasi melalui sebaran kurikulum, misalnya eksplorasi cerita rakyat pada konten pendidikan bahasa, ungkapan tradisional pada pelajaran kewarganegaran atau Pancasila dan sejarah, makanan tradisional pada bidang ekonomi dan manajemen, permainan tradisional pada bidang olahraga, arsitektur budaya pada ilmu-ilmu eksata misalnya matematika dan fisika dan masih banyak kemungkinan bentuk-bentuk integrasi kebudayaan dalam pendidikan kita.

Strategi-strategi tersebut tidak lain agar peserta didik menjadikan budayanya sendiri sebagai inspirasi, bukan mencari inspirasi dari apa yang asing dan jauh dari sosial kulturnya.

* Damar Tri Afrianto, Pemerhati Pendidikan Sekaligus Dosen DKV di Institut Teknologi Telkom (ITT) Purwokerto.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu!




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*