Momentum Blended Learning dalam Pendidikan Seni

Dosen di Prodi Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Telkom (ITT) Purwokerto, Damar Tri Afrianto, MSn
Dosen di Prodi Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Telkom (ITT) Purwokerto, Damar Tri Afrianto, MSn (KalderaNews/Dok. PribadI0
Sharing for Empowerment

Oleh: Damar Tri Afrianto, M.Sn *

PURWOKERTO, KalderaNews.com – Sepanjang pandemi ini kita tahu pendidikan daring meninggalkan jejak permasalahan yaitu problem kesenjangan. Masih banyak daerah-daerah yang belum mendapat akses internet dan ketersedian perangkat teknologi (komputer dan gawai) sebagai modal utama pembelajaran daring.

Begitu juga pendidikan dalam bidang seni, pembelajaran seni di tingkat dasar hingga perguruan tinggi terdampak paling signifikan. Pembelajaran seni pada tingkat dasar, hingga menengah, kehadiran guru seni sebagai sosok percontohan dan pemberi materi teknis hilang seketika dan berpindah ke layar-layar gawai. Mereka kehilangan sosok guru yang menjadi pandu untuk menemani mereka berproses dalam menciptakan karya seni.

Begitu juga dengan Pendidikan Seni di tingkat perguruan tinggi, semua akses sajian seni dari mulai pemeran seni rupa dan desain, festival musik, pertunjukan teater, tari dan sejumlah pagelaran seni yang lain di tutup. Aktifitas seni di ruang publik tentu akan bertentangan protokol kesehatan.

Kombinasi sistem blended leraning itu tak lain sebagai adaptasi dunia pendidikan pasca pandemi, dan menutupi kekurangan dan hambatan sistem pembelajaran daring. Beberapa sekolah dan perguruan tinggi telah menerapkan sistem Blended Learning tersebut. Di bidang ilmu seni, sekolah dan perguruan tinggi yang menyediakan program dan pembelajaran seni, metode Blended Learning tidak dapat sepenuhnya menjadi solusi, perlu adannya upaya penunjang dan integrasi dalam penerapan Blended learning tersebut.

Dari permasalahan tersebut perlu kiranya merumuskan ulang metode pembejaran seni di era tatanan baru ini, pembelajaran seni tak cukup hanya mengandalkan sistem daring, karena olah rasa, olah teknis dan estetika sebagai perangkat utama pendidikan seni membutuhkan proses pendampingan yang intens

Metode Penunjang

Blended Learning sebagai sebuah metode pembelajaran telah diterapkan jauh sebelum Covid-19 mewabah. Metode ini lahir dari inovasi pembelaran dan pendidikan di era revolusi teknologi atau di era 4.0. Blended Learning sebagai sebuah metode pembelajaran dapat dikatakan populer, karena penerapan teknologi menjadi penunjang kemudahan pembelajaran.

Di balik kemudahan  metode blended learning tentu tidak semua bidang ilmu dapat menerapkan. Pada bidang ilmu seni terutama, memiliki metode gaya pembelajaran yang identik dan otentik, blended leraning harus disesuiakan dengan gaya pembelajaran bidang studi masing-masing.

Dunia pendidikan kita memiliki jenis dan gaya pembelajaran yang beragam, Bobby De Porter & Mike Hernacki (dalam Nikmawati, 2014: 24) gaya belajar dikelompokan menjadi tiga, yaitu gaya belajar visual, gaya belajar audio dan gaya belajar kinestetik. Pembelajaran Seni menerapkan tiga gaya belajar tersebut. Bidang studi yang hanya menerapkan gaya belajar audio dan visual barangkali akan berhasil dalam mengikuti pembelajaran dengan penerapan blended learning, akan tetapi untuk gaya belajar kinestetik mungkin memiliki kesempatan kecil akan berhasil pada proses pembelajaran.

Kinestetik membutuhkan peretemuan langsung, karena dalam seni proses pendampingan menjadi modal utama peserta didik mencapai karya seni yang berkualitas. Di sanalah terjadi transformasi ilmu dengan konsep ‘rasa’ antara pendidik dan peserta didik dengan keintiman yang tidak dapat digantikan pada layar gawai dan komputer.

Pendidikan seni terbilang paling kompleks dalam metode pembelajarannya. Di samping ketrampilan teknis, juga harus memiliki kepekaan logika rasa dan imajinasi. Oleh karenanya, seperti penjelasan di atas bahwa metode blended learning perlu dieksplorasi dan dikolaborasikan. Sistem blended learning dalam pembelajaran seni perlu ditunjang setidak-tidaknya dengan metode kolaborasi dengan stakeholder.

Blended Learning pada aspek pembelajaran langsung, pengajar tidak hanya dari pengampu utama yaitu guru seni dan dosen.  Sekolah dan perguruan tinggi dalam hal ini bisa menggandeng stakeholder yatu seniman, budayawan di beberapa daerah yang satu zonasi dengan tempat tinggal peserta didik. Peserta didik dapat berlajar langsung dengan seniman dan budayawan yang satu daerah.

Sekolah atau kampus didorong untuk menjalin kerja sama dengan budayawan dan seniman untuk pembelajaran di dearah masing-masing dengan tetap menggunakan protokol kesehatan. Peserta didik dapat berlajar langsung dengan seniman dan budayawan yang satu daerah, sehingga meminimalisir peserta didik untuk keluar dari daerahnya karena situasi pandemi. Proses kreatif peserta didik dalam berkarya mendapatkan pendampingan secara intim lewat kehadiran seniman dan budayawan.

Ilmu seni memang tak cukup hanya persoalan teori, namun kemampuan teknis haruslah dikuasai. Stakeholder dari seniman dan budayawan setempat inilah yang memiliki peran penting dalam asupan keilmuan teknis melalui pengalaman mereka di dunia kesenimanan. Guru dan dosen pengampu utama akan berkoordinasi dengan stakeholder tentang bagaimana proses berkarya peserta didiknya.

Pada titik ini media teknologi bukanlah satu-satunya solusi atas permasalahan pendidikan di Indonesia terutama pendidikan seni. Ada indikasi bahwa pendidikan melalui daring berpotensi penyeragaman (homogenesisasi) konten pembelajaran, tentu ini sangat bertolak belakang dengan pendidikan seni, yang mengutamakan sisi heterogenisis dalam imajinasi, kreatifitas, dan inovasi. Kembali hadirnya metode blended learning dalam situasi pasca pandemi atau new normal perlu kita tinjau ulang, bukan lantas kita serap mentah-mentah menjadi solusi utama.

* Penulis merupakan dosen di Prodi Desain Komunikasi Visual
Institut Teknologi Telkom (ITT) Purwokerto

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*