Terlahir 7 Mei, Srimulat nan Unik dan Heroik, Inspirasi Buatmu yang Ultah Hari Ini

Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com —   Selamat ulang tahun buat kamu Bro and Sis, yang terlahir 7 Mei. 

Sebagai kado inspirasi, dari antara banyak tokoh tenar Indonesia yang terlahir 7 Mei (antara lain aktor Reza Aditya, komposer Andi Rianto, dan sastrawan Hamsad Rangkuty) kami pilihkan kisah Srimulat. Semoga menyemangati kamu ya!

Putri Ningrat yang Dihambat

Srimulat dewasa ini lebih identik dengan nama grup lawak berlatar belakang budaya popular Jawa yang banyak memberi pengaruh di dunia komedi Indonesia. Tetapi nama Srimulat sendiri berasal dari seorang perempuan ningrat  yang oleh keadaan sulit menempuh jalannya sendiri, berjuang mengejar passionnya dan membela rakyat jelata.

BACA JUGA:

Raden Ayu Srimulat lahir di Desa Botokan, 7 Mei. Sebagian sumber referensi menyebut tahun kelahirannya 1905, sebagian lagi menyebut 1908. Ia meninggal pada 1 Desember 1968.

“Namaku Raden Ayu Srimulat, pada sebuah hari istimewa terjadilah kelahiranku pada tanggal 7 Mei tahun 1908. Walaupun aku berdarah Ningrat dan berasal dari lingkungan adat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang ketat dengan tata karma, dan dari dinding kawedanan, aku memberanikan diri untuk melakukan sikap menentang arus dengan mengikuti imajinasiku, langkah hati, mengembara dalam mega kehidupan,” demikian awal kisah hidupnya dituturkan di situs Srimulat Punya Cerita, srimulatpunyacerita.wixsite.com, karya mahasiswa dan mahasiswi jurusan Desain Komunikasi Visual, Universitas Kristen Petra, Surabaya.

Srimulat adalah putri bungsu dari Raden Mas Adipati Aryo Tjitrosoma, seorang bangsawan, wedana di Bekonang, Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah, dengan istrinya, Raden Ayu Sedah.

Setelah Raden Ayu Sedah meninggal, pada usia 6 tahun Srimulat tinggal di rumah kakak ayahnya, Raden Mas Sunarjo yang bekerja sebagai komis asisten residen di Klaten. Srimulat bersekolah  sebuah sekolah Belanda di kawasan Klaseman, Gatak, Sukoharjo.

Baru beberapa bulan mengenyam pelajaran, Srimulat diminta berhenti oleh orang tuanya  karena perempuan dianggap tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Srimulat kemudian menjalani pingitan. Ia sangat terpukul.

Srimulat pintar menembang, menari, dan juga membatik. Dibandingkan saudara-saudaranya, ia anak yang paling cepat menangkap ajaran kesenian yang diberikan ayah dan abdi dalemnya.

Ayahnya dikenal memiliki talenta seni yang istimewa. Srimulat mengagumi ayahnya dalam hal ini. Thrio Haryanto dalam bukunya Srimulatism (Penerbit Noura, 2018) mengutip pengakuan Srimulat, yang bekata, “….Romo adalah seorang penari dan penembang yang baik.”

Sosok lain yang banyak memberi bekal seni padanya adalah Mas Ngabehi Sokasanta.
Dalam Srimulatism disebutkan  Sokasanta adalah seorang opas atau pengantar surat yang sudah sangat dekat dengan keluarga Srimulat. Bahkan dia sudah dianggap ayah sendiri oleh Srimulat.

Dari Opas Sokasanta  Srimulat belajar menulis dan membaca huruf Jawa serta bahasa Melayu. Sokasanta pula yang meneguhkan Srimulat akan besarnya bakat seni dalam dirinya. Pak Soka berkali-kali memuji kemerduan suara Srimulat setiap kali melantunkan langgam-langgam Jawa.

Di usia 15, Srimulat dinikahkan orang tuanya dengan seorang kerabat dekat ayahnya. Rumah tangga itu tidak bertahan lama. Suaminya meninggal hanya beberapa bulan setelah anaknya yang baru berusia 2,5 tahun meninggal.

Srimulat semakin sedih saat ayahnya mencari selir-selir baru. Ia muak akan kehidupan feodal priyayi. Berbekal uang 3,5 sen ia minggat dari rumah dan pergi ke Surakarta lalu ke Yogyakarta.

Terdapat berbagai versi tentang kiprah perjalanan kariernya. Salah satunya,   ditulis Herry Gendut Janarko, dalam buku Teguh Srimulat Berpacu dalam Komedi (Gramedia, 1990). 

Menurut Janarko, pada awalnya Srimulat melamar untuk bergabung dengan Dalang Ki Tjermosugondo. Setahun kemudian ia bergabung dengan Kethoprak Candra Ndedari.

Selanjutnya Srimulat bergabung dengan group wayang orang Ngesthi Rahayu. Suami sang pimpinan group wayang orang itu adalah seorang yang memimpin group keroncong. Jadilah Srimulat sering ikut menyanyi dengan iringan musik keroncong di pasar-pasar malam.

Srimulat pun menjadi sangat popular pada usia 20 tahun. Dalam waktu singkat Srimulat, anak priyayi dan gadis pingitan itu, menjelma menjadi perempuan yang mandiri.

Srimulat pernah dikontrak untuk masuk dapur rekaman oleh perusahaan piringan hitam Burung Kenari, Columbia, dan His Master’s. Ia menyanyikan beragam genre Suaranya telah berkumandang di saat gramofon untuk memutar piringan hitam masih kemewahan.

Pada tahun 1938 terjadi peristiwa kontroversial. Seorang pesinden bernama Nyai Mas Sulandjari berhasil memenangkan lomba kontes batik di Pasar Malam Amal Yogyakarta pada 1938. Kemenangan Sulandjari diprotes keras para bangsawan Yogyakarta dan Surakarta. Apalagi Sulandjari berhasil mengalahkan putri-putri ningrat.

Nyai Mas Sulandjari yang memenangi kontes dianggap tidak pantas karena dia hanya seorang ledhek dan sudah janda. Padahal peserta lainnya adalah para putri priyayi yang mempunyai gelar dari keraton.

Mendengar Sulandjari dihina, Srimulat melawan para bangsawan itu. Melalui wawancara dengan mingguan Darmo Kondho dan Penjebar Semangat, Srimulat menyatakan dukungannya kepada Sulandjari sembari mengkritik keras para kaum ningrat.

“Siapa yang lebih berhak memberikan penilaian dalam kontes semacam itu?,” tanya dia,  seperti diungkapkan dalam buku “Teguh Srimulat: Berpacu dalam Komedi dan Melodi“.

Merintis Kelompok Kesenian Srimulat

Pada tahun 1947 di Purwodadi, Grobogan, Srimulat satu panggung dengan Orkes Keroncong Bunga Mawar dari Solo. Salah seorang personel  orkes tersebut bernama Kho Tjien Tiong (dikenal dengan Teguh Slamet Rahardjo). Kedua saling jatuh cinya.

Sehabis pentas di Purwodadi mereka resmi berpacaran. Usia mereka terpaut jauh. Teguh jejaka berusia 21 tahun sementara Srimulat berusia 39 tahun.

Pada tanggal 8 Agustus 1950, mereka menikah. Mulai saat itu pula mereka membentuk rombongan kesenian keliling bernama Gema Malam Srimulat. Gema Malam Srimulat adalah sebuah kelompok kesenian yang menyuguhkan gabungan antara lawak dan nyanyi terutama lagu-lagu langgam Jawa dan keroncong.

Menurut Dwi Anni Edya dan Yohannes Hanan Pamungkas dalam penelitian mereka “Grup Lawak Aneka Ria Srimulat Surabaya Tahun 1o61-1989” yang dipublikasikan pada jurnal pendidikan sejarah Avataria (Volume 3, No 1, Maret 2015), Gema Malam Srimulat berawal dari Keroncong Avond di pasar malam Tegal. Kelompok musik ini didirikan ketika Raden Ayu Srimulat dan Teguh Slamet Raharjo bertemu.

Grup ini bubar, lalu  mereka kembali ke Solo dan mendirikan Gema Malam Srimulat dalam acara  pernikahan mereka pada tanggal 8 Agustus 1950. Keduanya memiliki jiwa seni yang luar biasa, Teguh mahir dalam bermain alat musik,  sedangkan Srimulat mahir dalam bernyanyi keroncong maupun pop Jawa. 

Mulanya, yang disuguhkan Aneka Ria Srimulat adalah musik. Lawakan hanya selingan. Namun kemudian Aneka Ria Srimulat jauh lebih dikenal sebagai kelompok lawak dibandingkan orkes musik.

Menurut Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 (1984: 1065) yang dikutip oleh Tirto, Srimulat mulanya memimpin Aneka Ria Srimulat. Di tahun 1957, Teguh mengambil alih pimpinan dan mengubah pola pertunjukan.

”Kami di sini kebanyakan berasal dari ketoprak dan ludruk, mencoba menempuh jalan kami sendiri dengan membuang dagelan blangkon,” kata Teguh kepada Tempo (30/4/1974).

Di kemudian hari kelompok kesenian ini bermetamorfosa berkali-kali. Srimulat sebagai kelompok kesenian menorehkan jejak sebagai kawah candradimuka komedian top di Indonesia.

Menurut Dwi Anni Edya dan Yohannes Hanan Pamungkas, Srimulat merupakan grup lawak terbesar di Indonesia yang memiliki tempat manggung lebih dari satu tempat di beberapa kota. Kota tersebut antara lain Solo sebagai kota asal dan Surabaya yang dijadikan sebagai tempat melakukan pertunjukan.

Ini, menurut mereka merupakan fenomena yang menarik dalam sejarah seni pertunjukan di Indonesia.

Budayawan  Almarhum Arswendo Atmowiloto menggambarkan sosok Srimulat sebagai seorang penampil yang meletakkan dasar-dasar seorang artis modern. “Sikapnya terbuka pada segala jenis tarian. Ia turun ke pelosok, ke pusat keramaian membawakan secara live lagu yang sedang ngetop,” kata dia, dikutip dari Wikipedia.

“Ia menentang arus saat itu, menolak menjadi Raden Ayu dan memilih menjadi sri mahapanggung atau ratu panggung,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News

*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu. Tertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*