
JAKARTA, KalderaNews.com – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengritisi keberlanjutan program Merdeka Belajar dalam peringatan Hardiknas 2024.
JPPI mengingatkan, program itu mesti segera dievaluasi agar lebih berkualitas dan berkeadilan.
Program Merdeka Belajar, menurut JPPI, memiliki sisi yang baik, tapi tak sedikit yang berdampak buruk.
BACA JUGA:
- Muhammadiyah Sudah Tetapkan Idul Adha 1445 H, 17 Juni 2024
- UKT Naik, Gaya Wakil Rektor Unsoed Justru Jadi Sorotan, Pakai Louis Vuitton dan Rolex
- Fenomena Astronomi Bulan Mei 2024, Ada Bulan Purnama “Flower Moon”
Perlu evaluasi sebelum dilanjutkan
“Kebijakan ini ada sisi baiknya, dan tidak sedikit pula yang berdampak buruk. Jadi, sebelum dilanjutkan perlu dievaluasi,” kata Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji.
Ubaid menjelaskan segepok persoalan selama era Merdeka Belajar, mulai dari anak tidak sekolah yang masih merajalela, 12 tahun wajib belajar yang masih retorika, dan faktor ekonomi masih mendominasi alasan tidak sekolah.
Di samping itu, gagalnya pendidikan karakter di sektor pendidikan, tingginya angka kekerasan di sekolah dengan guru sebagai aktor utama, janji 1 juta guru honorer yang belum terlaksana, hingga anggaran pendidikan yang tak punya prioritas masih ada selama kebijakan ini.
Catatan kritis JPPI terhadap program Merdeka Belajar
Berdasarkan fakta-fakta itu, JPPI memberikan catatan kritis terhadap program Merdeka Belajar. Berikut penjelasannya:
Memperjelas konsep Ki Hajar Dewantara dalam Merdeka Belajar
Kata JPPI, konsep pendidikan ala Ki Hajar Dewantara ini masih multi-tafsir di lapangan.
“Misalnya, soal pemaknaan merdeka, bagi Ki Hajar, pendidikan adalah proses memerdekakan manusia, dan sekolah harus melahirkan manusia yang merdeka. Sementara, Merdeka Belajar dalam Kurikulum Merdeka mereduksi konsep kemerdekaan dalam teknis pembelajaran di kelas,” kata Ubaid.
Memperkuat tanggung jawab negara dalam pembiayaan pendidikan
Dalam gagasan Ki Hajar untuk menciptakan manusia yang merdeka, negara harus bertanggung jawab penuh menjamin hak anak Indonesia di manapun mereka belajar, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta.
Namun, lanjut JPPI, sisi pemikiran Ki Hajar yang ini tak masuk dalam episode Merdeka Belajar.
“Episode Merdeka Belajar justru mendorong agenda privatisasi pendidikan, seperti tercermin dalam RUU Sisdiknas dan kebijakan PTN-BH yang membuat biaya UKT di PTN menjadi mahal dan tidak terjangkau,” tegas Ubaid.
Penguatan Satgas PPK dan TPPK dalam kasus kekerasan dan perundungan
Upaya ini mestinya dilakukan dengan pelibatan aktif masyarakat, terutama dalam pencegahan dan penanggulangan kasus kekerasan seksual dan prundungan di sektor pendidikan.
Yang perlu diperbaiki adalah optimalisasi Satgas PPK dan TPPK, serta pelibatan masyarakat sipil di dalamnya.
Kekerasan di sekolah sudah sangat menjalar kemana-mana, maka perubahan harus di semua level, mulai dari pattern of behaviour, system structure, dan mental model.
Merdeka Belajar harus mampu melepaskan guru dari belenggu administrasi
Aplikasi Platform Merdeka Mengajar (PMM), alih-alih mengurangi beban administratif guru, tetapi justru kontraproduktif dengan tujuan yang ingin dicapai.
Ubaid memaparkan bahwa bukan mutu guru yang naik, namun justru menjadi beban baru dan praktif koruptif-manipulatif yang diorkestrasi sekolah dan dinas pendidikan malah kian marak.
Pendekatan online dalam peningkatan mutu guru mesti dipikirkan ulang
Pendekatan teknologi yang sudah berjalan 4 tahun belakangan ini, belum mampu menjadi solusi, tetapi malah menjadi tragedi di sekolah.
Hal ini terjadi karena ketidaksiapan guru dan lingkungan sekolah yang mendukung.
Merdeka Belajar harus menjawab ketertinggalan
Upaya ini dilakukan dengan cara memperbaiki sistem PPDB yang berkeadilan bagi semua.
Menurut Ubaid, jangan ada lagi sistem “seleksi gugur” dalam pendidikan dasar (SD-SMP) bagi daerah yang masih menerapkan Wajib Belajar 9 tahun.
Sementara bagi daerah yang sudah menerapkan kebijakan Wajib Belajar 12 tahun, pemerintah daerah harus menghapus sistem tersebut dari jenjang SD sampai SMA/SMK.
Fokus anggaran dalam Merdeka Belajar
Anggaran mesti difokuskan pada pembenahan pendidikan atau akses dan mutu di level dasar serta menengah.
Maka, anggaran 20 persen harus fokus dikelola Kemendikbudristek dan Kemenag.
Selama agenda pendidikan dasar dan menengah ini belum tuntas, JPPI menilai, kementerian atau lembaga lain idealnya tidak diberikan kue anggaran dari jatah 20 persen itu.
Sejahterakan dan tingkatkan kualitas guru
“Harus ada skema dan tahapan yang jelas dan terukur untuk menjawab nasib jutaan guru honorer yang masih terkatung-katung nasibnya, bahkan statusnya saja tidak diakui dan belum terdata di dapodik,” tutur Ubaid.
Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu. Tertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com.
Leave a Reply