Riset Mafindo: Jelang Pilkada, Ternyata Mayoritas Warga Indonesia Belum Bisa Bedakan Hoaks dan Fakta

Berita hoaks. (KalderaNews/Ist)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Ternyata, warga Indonesia belum bisa membedakan antara fakta dan hoaks. Ini hasil survey Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo)!

Survei ini dilakukan Komite Litbang Mafindo untuk mendapat gambaran tentang literasi hoaks serta partisipasi politik masyarakat.

Pun mengkaji hubungan antara tingkat literasi hoaks dengan partisipasi politik masyarakat, dan dampak hoaks pada proses demokrasi, Jelang Pilkada.

BACA JUGA:

Riset ini melibatkan partisipan dari berbagai latar belakang demografi, meliputi usia, gender, agama, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.

Sehingga bisa memberikan gambaran yang representatif terkait kondisi literasi hoaks di Indonesia.

Pun memperhatikan faktor psikografis partisipan, seperti minat, aktivitas, dan opini, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam.

Belum ada data literasi hoaks di Indonesia

Supervisor Riset Mafindo, Loina Lalolo K. Perangin-angin menyatakan, saat ini belum ada data literasi hoaks yang memadai di Indonesia.

Data Survei Literasi Digital Nasional 2022 menunjukkan rendahnya keyakinan masyarakat untuk mengenali atau informasi salah/tidak sesuai fakta, bahkan berita bohong atau hoaks.

Hanya 7 persen yang menyatakan sangat yakin, 25 persen yakin, sementara 45 persen antara yakin dan tidak yakin, serta sisanya mengaku tidak yakin.

Maka, Komite Litbang dan Program Tunar Nalar Mafindo yang didukung Google.org meriset literasi hoaks di 20 provinsi, meliputi 10 provinsi dengan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tertinggi, serta 10 provinsi dengan IKP terendah.

Sementara, pengambilan sampel dilakukan dengan teknik acak bertahap dan menghasilkan 2.011 responden.

Literasi hoaks masih sedang

Program Officer Riset Mafindo, Nuril Hidayah mengatakan, literasi hoaks masyarakat perlu diukur secara khusus, lantaran ada beberapa studi yang menunjukkan sebagian besar masyarakat belum bisa membedakan antara informasi yang benar dan yang meragukan.

Nah, hasil survei yang dilakukan Mafindo menunjukkan, tingkat literasi hoaks masyarakat Indonesia berada di kategori sedang.

Ini nampak dari data, sebanyak 60 persen responden tidak mengetahui bahwa klaim tentang Warga Negara Asing (WNA) diberi KTP untuk mencoblos adalah hoaks.

Selain itu, 66,1 persen responden tidak mengetahui bahwa klaim Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dimobilisasi untuk memenangkan pasangan calon tertentu juga hoaks.

Namun, semangat masyarakat melawan hoaks menunjukkan potensi besar untuk terus dikembangkan melalui edukasi.

Selain itu, riset ini menunjukkan bahwa partisipasi politik masyarakat di ranah daring cukup tinggi, sedangkan di ranah luring masih berada di level sedang.

“Menariknya, ada hubungan positif antara literasi hoaks dan partisipasi politik. Artinya, semakin tinggi tingkat literasi hoaks seseorang, semakin tinggi pula partisipasinya dalam aktivitas politik,” kata Nuril.

Sementara, anggota tim riset Mafindo, Finsensius Yuli Purnama menegaskan, literasi hoaks masyarakat Indonesia di level sedang, lantaran secara kognitif pengetahuan mereka soal hoaks di level sedang atau 68 persen, yang tinggi mencapai 23,7 persen dan rendah 7,6 persen.

Partisipasi politik warga juga berada pada level sedang. Minat masyarakat mendapatkan informasi politik juga tinggi, yang didapat mayoritas melalui portal berita online.

Fins mengatakan, ada hubungan positif antara literasi hoaks dengan partisipasi politik; makan tinggi literasi hoaks, tinggi pula pastisipasi politik.

Medsos sumber hoaks

Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho menyatakan, survei ini merupakan bagian dari komitmen Mafindo untuk mendukung upaya memperkuat literasi digital, terutama dalam menghadapi tantangan penyebaran informasi hoaks yang kerap kali mengganggu tatanan sosial, politik, dan demokrasi.

“Tak hanya bertujuan untuk memetakan kondisi literasi hoaks di masyarakat, survei ini juga ingin menggali keterkaitan antara literasi hoaks dengan partisipasi politik, yang merupakan elemen penting dalam kehidupan berdemokrasi,” kata Septiaji.

Sementara, perwakilan Bawaslu RI, Iji Jaelani mengatakan, perbandingan isu di level provinsi kampanye bermuatan ujaran kebencian adalah indikator yang paling banyak terjadi pada kampanye di media sosial sebesar 50 persen, disusul kampanye bermuatan hoaks sebesar 30 persen, dan kampanye bermuatan SARA sebesar 20 persen.

Menurutnya, di level kabupaten/kota, kampanye bermuatan hoaks di media sosial sebesar 40 persen, disusul kampanye bermuatan ujaran kebencian sebesar 33 persen, dan kampanye bermuatan SARA sebesar 27 persen.

Maka, Bawaslu melihat bahwa data ini penting untuk disebarluaskan menjelang tahapan pungut hitung pada Pilkada dan tahapan pungut hitung rawan terjadi hoaks.

Indriyatno Banyumurti dari ICT Watch pun menyatakan bahwa medsos masih menjadi sumber utama untuk mendapatkan informasi, sekaligus menjadi sumber penyebaran hoaks.

“Jika sebagian besar netizen Indonesia masih tidak yakin bisa mengidentifikasi hoaks, antara yakin dan tidak yakin sebesar 45 persen, karena 52,2 persen netizen tidak mengecek informasi yang diterima melalui gambar, video, berita, situs dan post media sosial,” kata Indriyanto.

Media digital, katanya, juga mengambil peran tinggi sebagai sumber informasi, sebanyak 47,6 persen responden mengakses informasi dari portal berita online dan berita sharing, 42,6 persen responden percaya pada media digital, dan 31,9 peresn responden percaya pada media sosial.

“Walau orang semakin paham tentang hoaks, ternyata masih kesulitan untuk dapat memverifikasi sebuah informasi,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News

*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmuTertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*