
JAKARTA, KalderaNews.com – Ternyata, ada kaitan signifikan antara penggunaan media sosial, pola makan, serta gejala depresi pada remaja di Indonesia.
Temuan ini dipaparkan oleh para peneliti BRIN dalam webinar yang digelar Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi (PRKMG) BRIN.
Peneliti BRIN, Kencana Sari menyatakan, berdasarkan data Global Burden of Disease (GBD) dari WHO (2022), pada 2019, satu dari 8 orang di dunia menderita gangguan kesehatan mental.
Sekira 14 juta kasus gangguan makan secara global, 20 persen di antaranya terjadi pada anak dan remaja.
BACA JUGA:
- Resmi, Ini Batas Usia Anak yang Bisa Akses Media Sosial Sesuai PP Nomor 17 Tahun 2025
- Ramadan Dua Kali Setahun pada 2030, Begini Penjelasan Peneliti BRIN
- BRIN: Tahun 2025 Diwarnai Parade Planet, Gerhana Bulan Total, dan Hujan Meteor
Media sosial berpengaruh pada gangguan pola makan
“Kelompok usia remaja sangat rentan terhadap masalah kesehatan mental, termasuk gangguan makan,” ungkapnya.
“Meski kesadaran akan kesehatan mental meningkat, tapi gangguan makan sering tidak terdeteksi. Padahal dampaknya serius, dari gizi kurang hingga obesitas,” imbuhnya.
Menurutnya, faktor penyebab meliputi psikologis, sosiodemografi, dan lingkungan.
Tetapi mekanisme pasti, terutama untuk binge eating disorder, masih kompleks serta menjadi tantangan kesehatan masyarakat.
Kencana menerangkan, berdasarkan klasifikasi ICD-10 dan DSM, gangguan makan terdiri dari:
- Anorexia Nervosa, pembatasan asupan makanan ekstrem, ketakutan berlebihan terhadap kenaikan berat badan. Gejalanya adalah kepadatan tulang rendah, tekanan darah rendah, detak jantung tidak teratur, lemas.
- Bulimia Nervosa, perilaku yang berulang dan tidak tepat untuk menghindari penambahan berat badan. Biasanya memuntahkan makanannya kembali kemudian juga menghindarkan makanan agar tidak diproses oleh tubuh. Gejala-gejala yang timbul biasanya masalah lambung, kemudian pipi bengkak, menstruasi tidak teratur, lemah, dehidrasi, dan matanya merah.
- Makan berlebihan atau Binge Eating Disorder terjadi jika makan berlebihan dalam jangka waktu yang pendek dibandingkan kebanyakan orang, dalam jangka waktu dan kondisi yang sama. Frekuensi makan dalam jumlah berlebihan bergantung pada tingkat keparahan gangguan makanan yang diderita. Semakin sering makan berlebihan itu berbahaya untuk jangka panjang, bisa menyebabkan diabetes, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, sakit jantung, dan penyakit tidak menular lainnya.
Nah, berdasarkan hasil penelitian, variabel yang terbukti berhubungan secara signifikan pada analisis bivariat adalah:
- Status gizi
- Citra tubuh (body image)
- Jumlah akun media sosial serta perilaku sebagai pengguna pasif media sosial.
Hasil analisis multivariat menunjukkan, perilaku sebagai pengguna pasif media sosial dan jumlah akun media sosial merupakan faktor dominan yang berkontribusi terhadap gangguan makan pada remaja.
Jadi, sekitar 1 dari 3 remaja mengalami gangguan makan, dengan faktor risiko utama banyaknya akun media sosial serta penggunaan media sosial secara pasif.
Pola makan pengaruhi kesehatan mental

Di acara yang sama, Peneliti BRIN, Rofingatul Mubasyiroh memaparkan hasil studinya bersama tim tentang “Pola Konsumsi yang Berhubungan dengan Gejala Depresi pada Remaja: Hasil Studi Tahun 2024”.
Penelitiannya digelar Mei – Juli 2024 di 4 SMA Negeri di Bekasi dengan melibatkan 226 siswa berusia 15 – 18 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan, 17,5 persen remaja mengalami gejala depresi.
Ada 5 pola konsumsi utama yang terbentuk: makanan padat gizi, modern-western, tradisional Indonesia, protein hewani, dan produk susu-probiotik.
Kata Rofingatul, dua dari lima pola konsumsi, pola modern-western dan pola tradisional Indonesia, menunjukkan hubungan bermakna dengan gejala depresi.
Tapi uniknya, semakin rendah frekuensi konsumsi dari kedua pola tersebut, semakin rendah pula gejala depresi yang ditemukan pada remaja.
“Pola modern-western seperti fast food, jajanan manis, dan minuman berpemanis, bila dikonsumsi dalam frekuensi sedang, menunjukkan efek protektif terhadap gejala depresi dibandingkan frekuensi tinggi,” paparnya.
Sementara, pola makanan tradisional Indonesia yang didominasi konsumsi nasi, kacang-kacangan, dan sayur, justru berhubungan dengan gejala depresi pada tingkat konsumsi yang tinggi.
Ini senada dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan konsumsi nasi berlebihan dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental.
Sedangkan, pola konsumsi padat gizi, protein hewani, dan produk susu-probiotik tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan gejala depresi.
Rata-rata konsumsi harian menunjukkan bahwa pola modern-western sebesar 3,8 kali per hari hampir menyamai pola tradisional-Indonesia dikonsumsi 4,1 kali per hari, menandakan adanya pergeseran preferensi makanan di kalangan remaja Indonesia.
Temuan ini, kata Rofingatul, menggarisbawahi perlunya edukasi gizi dan promosi gaya hidup sehat sejak usia sekolah.
Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu. Tertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com.
Leave a Reply