SURABAYA, KalderaNews.com – Survei Serikat Pekerja Kampus (SPK) mengungkap, 91 kasus kekerasan seksual verbal dilaporkan terjadi di kampus.
Data ini diungkap peneliti SPK, Dian Noeswantari, yang juga merupakan Peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya.
Data diperoleh dari modul penelitian keamanan kerja dan kesejahteraan psikologis SPK, dengan 421 pekerja kampus sebagai responden.
“Ucapan bernuansa seksual itu ada 91 laporan. Dan ini dianggap normal, dalam tanda kutip,” ungkap Dian.
BACA JUGA:
- Miris! Rentetan Kelam Kekerasan di Sekolah dan Kampus Selama Tahun 2025, Sudah Memakan Korban Nyawa
- Guru Besar Unsoed Terbukti Lakukan Kekerasan Seksual, Hanya Dinonaktifkan 2 Semester
Selain pelecehan seksual verbal, survei juga mencatat 109 laporan terkait ujaran yang mendiskriminasi tampilan fisik.
Budaya bungkam dalam kasus berat
Dian menyoroti bahwa meskipun tidak ada laporan dalam survei terkait kasus perkosaan atau penyiksaan seksual, hal itu bukan berarti kasus tersebut nihil.
Ia mengindikasikan adanya “budaya bungkam yang kuat” di kalangan korban.
“Saya tahu ada beberapa laporan soal perkosaan ini atau terkait juga dengan pelecehan seksual, tetapi tidak semua orang mau melaporkan,” ungkap Dian.
Temuan lain yang tak kalah penting adalah munculnya kekerasan non-konvensional, yaitu kekerasan fisik berbasis ekonomi.
Sebanyak 46 laporan mencatat bentuk kekerasan ini, yang digambarkan bukan sebagai penganiayaan fisik biasa, melainkan eksploitasi kerja paksa untuk keuntungan pelaku.
“Contohnya kasus dosen muda yang baru masuk diberikan beban kerja berlebih. Itu ada 46 laporan,” jelasnya.
Angka ini jauh melampaui kasus perkelahian konvensional yang hanya 19 laporan, dan tawuran dengan 13 laporan.
Sementara itu, kasus kekerasan yang paling umum dilaporkan adalah kekerasan psikis yang menargetkan reputasi dan hubungan sosial, mencapai 140 laporan.
Dian mencontohkan ini terjadi melalui penyebaran rumor atau gosip yang didasari persoalan suka atau tidak suka.
Bentuk kekerasan psikis lain adalah pengabaian dengan 125 laporan dan pengucilan sebanyak 98 laporan.
Perlunya perbaikan mekanisme penanganan
Anggota Dewan Pengawas SPK, Rizma Afian Azhiim, menjelaskan survei ini penting karena pekerja kampus menghadapi risiko burnout (kelelahan kerja) dan stres akibat beban kerja tinggi, di samping ancaman kekerasan.
Survei yang dilakukan sepanjang tahun ajaran 2025-2026 ini mengukur empat dimensi: kesejahteraan psikologis, K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja), keamanan di tempat kerja, dan keterbukaan informasi.
Mengenai penanganan kasus, Dian Noeswantari mencatat bahwa efektivitas program pencegahan dan penanganan di kampus masih variatif dan tergantung jenis ancamannya.
Ia melihat, keberanian seseorang melapor kasus biasanya terjadi karena adanya mekanisme penanganan yang cukup cepat.
“Ada yang melaporkan, ada yang tidak. Kemudian ada yang cepat tanggap, ada yang tidak. Jadi ini kondisi paradoksnya,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu. Tertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com.


Leave a Reply