
The Path To Financial Freedom, EduFulus – Fenomena saham-saham konglomerat (saham konglo) (terutama yang baru dan spesifik) mengungguli saham-saham blue chip tradisional belakangan ini didorong oleh pergeseran sentimen investor dan dinamika pasar yang unik.
Namun penting untuk dicatat bahwa “saham blue chip” adalah subset dari saham konglo. Artinya, saham seperti BBCA (Grup Djarum) dan ASII (Grup Astra) adalah blue chip sekaligus saham konglo.
SIMAK JUGA: MSCI Rebalancing: Saham Prajogo Pangestu dan Kandidat Lain Siap ‘Diborong’ Investor
Namun, istilah “saham konglo” yang performanya meroket sering merujuk pada emiten-emiten yang baru IPO atau anak-anak perusahaan dari konglomerat besar.
Berikut adalah alasan utama fenomena ini terjadi:
1). Agresivitas Ekspansi Konglomerat Baru dan IPO
Lonjakan harga sebagian besar saham konglo baru-baru ini didorong oleh munculnya “generasi baru” emiten konglomerat, terutama dari Grup Barito Pacific milik Prajogo Pangestu (seperti BREN dan CUAN) dan Grup Sinar Mas (DSSA).
- Sektor Hot: Emiten-emiten ini bergerak di sektor-sektor yang sedang menjadi fokus global, seperti energi terbarukan (BREN), batubara/mineral (CUAN), dan infrastruktur digital/data center (DSSA). Investor melihat potensi pertumbuhan yang jauh lebih eksplosif di sektor-sektor ini dibandingkan dengan sektor perbankan atau konsumen yang sudah matang.
- Kapitalisasi Pasar Instan: Konglomerat ini seringkali berhasil menempatkan anak usaha mereka langsung ke jajaran big caps (bahkan melampaui beberapa blue chip tradisional) segera setelah IPO, menciptakan euforia pasar yang intens.
2). Struktur Saham dan Kelangkaan (Scarcity)
Beberapa saham konglo yang outperform memiliki struktur kepemilikan yang unik, yang berkontribusi pada kenaikan harga yang cepat:
- Free Float Kecil. Banyak emiten baru konglo melepaskan porsi saham ke publik (free float) yang relatif kecil (misalnya hanya 3%-5% dari total saham). Ini menciptakan kelangkaan (scarcity) di pasar. Ketika permintaan tinggi (terutama dari investor institusi), harga cenderung melonjak drastis karena pasokan yang beredar sangat terbatas.
- Inklusi Indeks Global: Kenaikan kapitalisasi pasar yang cepat memicu spekulasi tentang potensi masuknya saham-saham ini ke indeks global bergengsi seperti MSCI atau FTSE. Spekulasi ini memaksa dana kelolaan asing untuk segera mengakumulasi saham tersebut, yang mendorong harga naik tajam dalam waktu singkat (contohnya terjadi pada BREN dan DSSA).
3). Sentimen Pertumbuhan vs. Stabilitas
Investor saat ini lebih condong ke saham yang menawarkan “cerita pertumbuhan” (growth story) yang cepat, dibandingkan dengan “stabilitas” yang ditawarkan blue chip tradisional:
- Blue Chip Tradisional Melambat: Saham blue chip lama, terutama perbankan besar (BBCA, BBRI), telah mencapai tingkat kematangan bisnis yang tinggi. Pertumbuhan laba mereka cenderung lebih stabil dan konservatif, biasanya di kisaran belasan persen per tahun.
- Konglo = Prospek Eksponensial: Saham konglo baru sering diperdagangkan berdasarkan ekspektasi akan lonjakan laba yang eksponensial dalam beberapa tahun ke depan. Investor rela membayar harga tinggi (rasio P/E yang fantastis) demi mengamankan posisi dalam bisnis masa depan yang diperkirakan akan tumbuh sangat pesat.
Singkatnya, saham blue chip tradisional (seperti bank besar) adalah “saham pertahanan” yang aman dan stabil, sedangkan saham konglo baru-baru ini dipandang sebagai “saham ofensif” yang menawarkan potensi cuan (keuntungan) besar berkat IPO yang strategis, sektor yang panas, dan kelangkaan saham di pasar.
SIMAK JUGA: Pesta IPO Juli Makin Meriah: CDIA dan COIN Langsung ARA, Akankah Saham Lain Menyusul?
* Kuy cerdas investasi dan trading dengan artikel edukatif EduFulus lainnya di Google News. Dus, jika Anda ingin bekerjasama dengan kanal EduFulus, silakan hubungi tim di WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com.
Leave a Reply