Oleh: Rosalia Widi Lumantari, S.Pd.Gr., Guru SMA Sint Carolus Tarakanita Bengkulu
BENGKULU, KalderaNews.com – Hari Pangan Sedunia diperingati setiap tanggal 16 Oktober untuk meningkatkan kesadaran global tentang isu ketersediaan pangan, keamanan pangan, dan nutrisi.
Peringatan HPS tahun 2025 ini tema yang diangkat oleh Komisi Pengembangan Sosial-Ekonomi Konferensi Waligereja Indonesia (PSE KWI ) yaitu “Hak Atas Pangan untuk Kehidupan dan Masa Depan yang Lebih Baik”, menemukan resonansi yang kuat dalam kebijakan nasional pemerintah RI mengenai program Makan Bergizi Gratis (MBG).
MBG, sebagai kebijakan intervensi gizi skala besar yang menyasar anak usia sekolah dan kelompok rentan lainnya, tidak hanya dipandang sebagai solusi untuk masalah gizi, tetapi juga sebagai aksi konkret terhadap hak asasi manusia atas pangan yang layak.
BACA JUGA:
- Tongkol Jagung dan Eco Enzym: Dari Limbah Jadi Kunci Produksi Jamur Tiram Putih di Tangerang
- Upaya Sistematis Mengatasi Masalah Mengajar di Kelas 1 SD
- Menjadi Teladan Literasi: Langkah Awal Guru Menuju “Deep Learning”
Program ini dipandang sebagai tindakan etis kemanusiaan untuk mewujudkan sistem pangan yang berkelanjutan dan berkeadilan, sistem pangan harus mencapai kedaulatan pangan dan pemenuhan gizi untuk semua, dengan cara yang tidak membahayakan ketahanan pangan dan gizi generasi masa depan, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan (Surat Gembala Keuskupan Agung Jakarta, HPS 2025).
Relevansi MBG dengan Semangat HPS 2025 dan Hak Atas Pangan
HPS 2025 secara fundamental menekankan bahwa semua makhluk hdup membutuhkan makan, artinya setiap orang punya hak atas pangan demi kehidupan. Karena makan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berpengaruh terhadap keberlangsungan dan kualitas hidupnya (sumber : Poster HPS 2025 KWI). Dalam konteks ini, MBG berfungsi sebagai instrumen yang secara langsung dapat memenuhi hak atas pangan.
Hak atas pangan adalah hak asasi manusia yang diakui secara internasional, yang secara eksplisit diakui dalam General Comment No. 12 Komite PBB tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (CESCR). Hak ini menuntut negara untuk memastikan setiap orang memiliki akses fisik dan ekonomi, setiap saat, terhadap pangan yang layak atau sarana untuk mendapatkannya (CESCR, 1999).
Program MBG merealisasikan kewajiban negara untuk ‘memenuhi’ hak ini, terutama bagi anak-anak usia sekolah. Pemberian makanan bergizi di sekolah mengatasi hambatan ekonomi dan fisik yang mungkin dihadapi keluarga, memastikan anak mendapatkan asupan harian yang penting untuk tumbuh kembang optimal.
Selain itu, MBG juga untuk peningkatan gizi yang lebih baik. Isu gizi buruk (malnutrisi, stunting, dan anemia) telah lama menjadi tantangan serius yang menghambat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia. Secara ilmiah, asupan gizi yang kuat, terutama pada usia sekolah, terbukti berkorelasi positif dengan fungsi kognitif, daya tahan tubuh, dan performa akademik.
MBG, jika dilaksanakan dengan standar gizi yang ketat (mengandung karbohidrat, protein hewani/nabati, vitamin, dan mineral), merupakan investasi jangka panjang. Program ini tidak hanya menurunkan angka stunting, tetapi juga meletakkan fondasi bagi “Generasi Emas 2045” yang sehat, cerdas, dan produktif (Kementerian Kesehatan RI, 2025).
Tinjauan Kemanusiaan: Sejalan dengan Seruan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)
Secara kelembagaan, isu pemenuhan hak atas pangan dan solidaritas terhadap mereka yang kurang beruntung telah lama menjadi perhatian Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Melalui pesan-pesan pastoralnya, Komisi PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi) KWI sering kali menyuarakan pentingnya keadilan pangan dan perlunya aksi nyata untuk menjamin setiap warga negara, khususnya yang miskin dan rentan, dapat hidup secara bermartabat.
Program MBG, dalam tinjauan kemanusiaan yang sejalan dengan KWI, adalah sebuah ‘tanda zaman’ yang positif, sebuah perwujudan konkret dari kewajiban negara untuk merawat martabat warganya melalui pemberian hak atas gizi.
Tinjauan kemanusiaan juga mencakup Keadilan Ekologis (Laudato Si’). MBG seharusnya tidak hanya bermanfaat bagi penerima, tetapi juga bagi rantai pasok. Jika pengadaan bahan baku MBG memberdayakan petani, peternak, dan UMKM lokal secara adil, maka MBG menjadi model ekonomi yang berbelas kasih, menciptakan pangan yang lebih baik sambil memberdayakan seluruh elemen mulai dari yang paling bawah.
Dalam konteks pendidikan karakter di sekolah, MBG dapat dipandang lebih dari sekadar makanan, namun program ini sebagai kesempatan untuk mendidik karakter anak-anak tentang pentingnya berbagi, ugahari, disiplin, dan menghargai makanan. Tinjauan kemanusiaan yang utuh memandang anak sebagai subjek yang harus dididik secara spiritual dan moral, tidak hanya sekadar diberi makan namun juga pemaknaan dibaliknya.
Tantangan Implementasi
Meskipun potensi MBG sangat besar, keberhasilannya di masa depan tidak lepas dari tantangan implementasi yang kompleks:
- Konsistensi Gizi dan Food Waste: Keterbatasan anggaran yang ada dapat menyebabkan penyesuaian menu yang tidak memenuhi kebutuhan gizi optimal, bahkan berisiko memicu obesitas jika menu tidak diawasi secara ketat. Selain itu juga memerlukan sumber dana tetap (donasi, dana komunitas, dukungan pemerintah) agar tidak hanya temporer. Maka dari itu diperlukan pedoman menu gizi seimbang yang adaptif terhadap pangan lokal untuk mencegah food waste dan meningkatkan keberlanjutan program.
- Keberlanjutan Fiskal: Skala program MBG yang masif membutuhkan perencanaan fiskal yang cermat. Beban terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dikelola secara efisien untuk menjamin keberlanjutan program dalam jangka panjang (CNBC Indonesia & Bisnis.com, 2024).
- Integrasi Intervensi Lain: Mengingat dampak pada stunting bersifat kontradiktif jika berdiri sendiri, MBG harus diintegrasikan dengan intervensi gizi lain seperti edukasi kesehatan, sanitasi yang memadai, dan imunisasi komprehensif.
Program MBG merepresentasikan sebuah investasi sosial yang selaras secara filosofis dengan semangat Hari Pangan Sedunia 2025. MBG akan mencapai makna kemanusiaan tertingginya ketika ia berhasil memulihkan martabat anak-anak, menjadikan mereka sebagai masa depan bangsa yang sehat dan cerdas.
Program ini adalah afirmasi bahwa Gereja dan negara harus mengutamakan keselamatan dan martabat mereka yang paling lemah dan tersingkir, memberikan “roti yang cukup” demi pemenuhan martabat manusia.
Bahan Bacaan/Sumber Referensi
CESCR (Committee on Economic, Social and Cultural Rights). (1999). General Comment No. 12: The Right to Adequate Food (Art. 11). United Nations.
CNBC Indonesia & Bisnis.com. (2024). Ekonom Ingatkan Makan Siang Gratis Prabowo Beresiko Bebani APBN.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2025). Buku Pedoman Standar Gizi Program Makan Bergizi Gratis. Jakarta: Direktorat Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan RI.
Keuskupan Agung Jakarta. (2025). Surat Gembala Hari Pangan Sedunia 2025: “Konsumsi Pangan Nusantara untuk Indonesia Sehat”.
Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu. Tertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com.


Leave a Reply