Mendeteksi Trauma Pelajaran Menulis di Kelas

Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.
Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta (KalderaNews/Ist)
Sharing for Empowerment

Oleh: Eben E. Siadari *

JAKARTA, KalderaNews.com – Tidak perlu menjadi jenius untuk mampu menghasilkan tulisan yang baik. Tetapi hal sebaliknya juga dapat terjadi: tidak semua jenius mampu menuangkan gagasan dalam tulisan secara layak. Kemampuan dan kemauan menghasilkan tulisan yang baik (selanjutnya dipakai kata Menulis) tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan kognitif tetapi oleh pengalaman-pengalaman emosional monumental maupun traumatis di masa lalu.

Telah lama para akademisi mengeluhkan kapasitas Menulis mahasiswa dan siswa. Konsekuensinya kita menuai hasilnya dewasa ini: produktivitas Menulis kita sangat rendah. Penggiat pendidikan, Asep Sapa’at dalam buku yang ditulisnya, Stop Menjadi Guru jika Tidak Cinta (Tangga Pustaka Jakarta, 2012), pernah menyitir ketimpangan penerbitan buku di Malaysia dan di Indonesia.   Buku baru yang terbit setiap tahun di Indonesia hanya di angka 5.000-6.000 buku, kalah bila dibandingkan dengan Malaysia yang jumlahnya berkisar 6.000-7.000 buku. Padahal, jumlah penduduk Indonesia 10 kali jumlah penduduk Malaysia. 

Jika menjadikan jumlah penduduk sebagai rujukan dan kita ingin menyamai Malaysia, itu berarti jumlah buku baru yang terbit setiap tahun di Indonesia setidaknya 60.000 judul. Bila dibandingkan dengan data bahwa ada 61.889 dosen berkualifikasi magister dan 12.081 berkualifikasi doktor di PTN dan PTS di Indonesia, setiap akademisi harus menulis setidaknya satu buku setiap tahun untuk melampaui Malaysia. 

BACA JUGA:

Dalam hal publikasi ilmiah, tahun 2018 Indonesia  berhasil melampaui Malaysia untuk pertama kalinya. Menurut data Kementerian Ristek/BRIN, publikasi ilmiah Indonesia di tingkat ASEAN tahun 2018 berdasarkan data Scopus, tercatat sebanyak 33.953. Ini merupakan angka tertinggi di ASEAN. Malaysia berada di tempat kedua sebanyak 33.253. Namun untuk tahun 2019, jumlah publikasi ilmiah Malaysia mencapai 28.404 dan kembali mengungguli Indonesia yang berada di angka 28.374. 

Menristek Bambang Brodjonegoro memberi catatan bahwa peningkatan jumlah publikasi ilmiah Indonesia  belum diikuti oleh meningkatnya kualitas. Hal itu terlihat dari masih rendahnya indeks sitasi, yang berkaitan dengan kualitas jurnal yang terbit. Motivasi menerbitkan publikasi ilmiah juga memprihatinkan karena banyak yang lebih didorong oleh keterpaksaan untuk bisa lulus dari perguruan tinggi atau untuk memperoleh kenaikan pangkat.

Faktor Kunci: Suasana Ruang Kelas

Apa yang menjadi masalah dalam soal Menulis di Indonesia? Pelajaran Menulis telah memperoleh ruang di kelas-kelas sekolah kita sejak tingkat pendidikan dasar. Sejak kelas tiga Sekolah Dasar, siswa telah mendapat pelajaran Menulis agar mampu menuangkan pikiran dan perasaannya dengan bahasa tulis secara teratur dan teliti. (Ketrampilan Menulis di Sekolah Dasar, oleh blog Jendela Ilmu, 23 April 2013) Artinya, secara formal pendidikan kita memandang penting Pelajaran Menulis. 

Namun, yang kerap menjadi diskusi hangat ialah membuat posisi formal tersebut tercermin dalam praktik di ruang kelas. Menciptakan suasana ruang kelas yang mendorong siswa mendapatkan motivasi meningkatkan kemampuannya dan bukan sebaliknya, merupakan hal esensial dalam proses pembelajaran Menulis.

Para ahli pendidikan telah lama menyadari bahwa keberhasilan proses pembelajaran ditentukan oleh situasi sosiokultural di dalam kelas. Studi Letania Sperazza yang berjudul Narratives of Struggle:Understanding Writer Identity in the UAE yang dipublikasikan pada International Journal of Bilingual & Multilingual Teachers of English (Vol 4, No 1, Juli 2016) menarik disimak tatkala membahas isu yang berkaitan dengan pembelajaran Menulis di dalam kelas di Uni Emirat Arab (UEA). Dengan mengutip berbagai studi, ia mengemukakan bahwa “keinginan siswa untuk berinvestasi dalam pembelajaran mereka tidak hanya ditentukan oleh bagaimana para siswa menghargainya, tetapi lebih tergantung pada lingkungan linguistik yang kompleks di sekitar mereka. Oleh karena itu, proses belajar bukan hanya akumulasi keterampilan dan pengetahuan, tetapi ‘pengalaman identitas’.” 

Sperazza yang merupakan peneliti pada Department of Writing Studies, American University of Sharjah, Sharjah, UEA, menyoroti suasana ruang kelas yang sarat dengan asosiasi imperialistik dimana posisi dominan guru dipelihara dan posisi siswa dipertahankan sebagai bawahan. Ini dapat menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi pembelajaran Menulis. 

Dalam situasi kelas yang demikian, siswa berada pada posisi harus tunduk untuk menjadi sosok ideal yang diperbolehkan oleh pemegang posisi dominan, dan bukan menjadi pribadi yang mereka sendiri inginkan. Pedagogi jenis ini mendikte siswa untuk hanya mau memandang diri mereka  berdasarkan kriteria yang dipaksakan dari luar dan tidak memberi kesempatan berkembangnya aspirasi mereka sendiri.

Pengalaman-pengalaman Traumatis

Suasana belajar beraroma imperialistik dapat meninggalkan pengalaman-pengalaman traumatis pada siswa. Di kemudian hari ini dapat menghambat mereka berkembang dalam upaya menguasai kemampuan Menulis pada perjalanan studi dan karier mereka. Dalam penelitiannya, Sperazza antara lain mengetengahkan pengalaman Yara, yang ketika di sekolah lanjutan pernah mendapat nilai 64 dalam pelajaran Menulis (dalam Bahasa Inggris). Nilai itu merupakan yang terendah di antara seluruh murid di dalam kelas dan diumumkan secara terbuka oleh Guru Bahasa Inggrisnya. Seluruh kelas kemudian menjulukinya Miss 64 dan menjadi bahan olok-olok dalam tempo yang cukup lama.

“Apa yang membuat situasi kelas saya begitu buruk adalah mendapatkan nilai 64 pada tugas pelajaran (Menulis) pertama saya. ‘Nilai terendah yang didapat siapa pun,’ kata Guru Bahasa Inggris. Dan bagian yang paling kejam ialah dijuluki  sebagai Miss 64 oleh teman sekelas saya. Reaksi tak berdaya saya selalu sama, hanya senyum palsu setiap kali mendengar seseorang berkata, Miss 64. Tapi jauh di lubuk hati, saya berharap bisa menghilang dari pandangan mereka,” tulis Yara, dalam narasi otobiografis untuk studi Sperazza.

Pengalaman itu begitu traumatis bagi Yara karena nilai 64 telah menjadi vonis bagi dirinya sebagai seorang penulis gagal. Dalam konteks yang lebih luas, vonis semacam ini sering terjadi karena .faktor-faktor subjektif oleh perbedaan persepsi antara pemegang posisi dominan (baca: guru) dengan siswa. Pada gilirannya hal ini menciptakan jarak yang tidak terjembatani antara keduanya.

Sperazza dalam studinya menunjukkan setidaknya ada empat jenis pengalaman traumatis  yang menyebabkan siswa menghadapi demotivasi dalam meningkatkan kemampuan Menulis. Keempat hal itu ialah, (1) menjadi objek ejekan publik karena kritik guru di depan kelas, (2) Menjadi ejekan publik karena olok-olok siswa lain, (3) (dipaksa) menulis seperti harapan guru, dan (4) keharusan menyesuaikan diri dengan standar yang diharuskan oleh  budaya lain.

Seorang responden studi Sperazza bernama Amani menggambarkan bagaimana ia menjadi tidak percaya diri ketika guru di depan kelas mencerca kesalahan yang ia buat dan menertawakannya. Ketika ia mencoba bereaksi dan mempertanyakan olok-olok gurunya, sang guru berkata, “Saya yang memiliki gelar Sarjana di sini, bukan kamu.”

Sementara itu, pengalaman responden lainnya, bernama Amr, sedikit berbeda tetapi menyiratkan trauma yang sama. Dalam pelajaran Menulis, ia mengerjakannya dengan gayanya sendiri yang agak berbeda dari seisi kelas. Keunikan gaya itu ternyata diapresiasi oleh gurunya. Sebaliknya, seisi kelas menjadi merasa ‘terancam’ oleh kehadiran gaya baru yang dibuatnya dan menjadi tekanan tersendiri pada Amr.

“Akhirnya saya memutuskan bahwa saya tidak mau berbeda. Saya tidak ingin lain daripada yang lain dan saya ingin sama dengan siswa-siswa lainnya. Saya memaksa diri saya sendiri menulis seperti gaya siswa lainnya. Setelah saya menyerahkan tugas saya kepada guru, saya menghindari berpandangan langsung dengannya, yang memandang saya dengan kecewa.”

Di Indonesia, berdasarkan observasi pribadi penulis, pengalaman-pengalaman traumatik,  juga kerap dihadapi oleh siswa di Indonesia yang menyebabkan Pelajaran Menulis tidak menyenangkan. Ada kalanya olok-olok itu terjadi bukan karena ketidakmampuan Menulis, melainkan sebaliknya. Siswa yang memiliki minat sangat besar untuk Menulis, terdemotivasi oleh persepsi tentang Menulis yang kurang supportif baik dari guru, sisiwa lainnya maupun orang tua dan lingkungan. Misalnya, munculnya anggapan bahwa Pelajaran Menulis sebagai pelajaran gampangan sehingga kemampuan untuk menguasainya bukan hal yang membanggakan. Selain itu, dewasa ini berkembang pula pemberian makna peyoratif kepada kata Mengarang yang disamakan dengan aktivitas membual dan mengada-ada atau berbohong. Lebih jauh olok-olok tentang profesi penulis yang tidak memiliki prospek masa depan, seringkali menjadi faktor demotivasi yang harus menjadi perhatian guru saat menjalankan peran sebagai motivator pembelajar di dalam kelas. 

Narasi Otobiografis Sebagai Terapi

Sperazza dalam studinya juga memaparkan berbagai penelitian, termasuk penelitiannya sendiri, yang menunjukkan bahwa praktik menulis narasi otobiografis tentang pengalaman monumental maupun traumatis para siswa ketika belajar Menulis di masa lalu dapat menjadi alat mendeteksi kendala yang dihadapi siswa sekaligus menemukan langkah awal memotivasi mereka. Dari narasi otobiografis guru dapat mengenali faktor-faktor kunci di masa lalu yang menghambat –atau mendorong– siswa dalam Menulis. 

Selain itu, narasi otobiografis merupakan genre tulisan yang relatif lebih luwes dibandingkan dengan penulisan akademis (academic writing) sehingga dapat mendorong siswa lebih antusias mengerjakannya. Hal itu juga akan memberikan kepercayaan diri sebagai awal untuk mengerjakan tugas-tugas Menulis yang lebih lanjut.

* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*