
Oleh Eben E. Siadari *
JAKARTA, KalderaNews.com — Berkali-kali saya membaca kisah ini dan selalu gagal menepis rasa haru. Tentang seorang ayah yang kehilangan putrinya. Dan bagaimana dia bangkit dari duka yang mendalam.
Penulis Amrin Dhillon mengisahkannya dengan sangat menyentuh di The Guardian pada 11 Oktober 2018 lalu dengan judul ‘It’s for my daughter’s memory’: the Indian village where every girl’s life is celebrated.’ Sebagai rasa hormat atas cerita yang inspiratif ini, saya juga menampilkan kisah ini sebagai salah satu cerita dalam buku Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates yang saya tulis.
Kiran meninggal pada usia 16 pada tahun 2006. Shyam Sunder Paliwal, sang ayah, sangat terguncang. Dia hampir tak dapat menerima kemalangan itu.
Untuk menyalurkan kesedihannya, ia menanam pohon kadam. Pohon kadam dalam tradisi Hindu adalah simbol cinta yang besar.
Paliwal merawat pohon itu dengan sepenuh hati. Hampir setiap malam ia datang untuk menjenguk bahkan memeluknya. Seakan itulah pengganti putri yang pergi.

Shyam Sunder Paliwal (The Guardian)
Namun, dukacita itu juga membawa dia pada kepekaan baru. Ia tersadar akan ketidakberartian perempuan di tengah masyarakatnya, di Piplantri, sebuah desa di India, dimana Paliwal kemudian terpilih menjadi kepala desa. Anak perempuan di sini tidak dihargai. Selalu dianggap beban. Ini konsekuensi tradisi yang mengharuskan orang tuanya menyediakan mahar bila menikah kelak.
BACA JUGA:
- Resmi, Beasiswa dan Sisa Lebih yang Ditempatkan pada Dana Abadi Pendidikan Bukan Objek Pajak
- Digitalisasi SDM Usia Muda, Pemkab Dairi Lirik Kampus SGU dan Telin
- Stafsus Milenial Ini Gencar Bertemu dengan Pelaku Dunia Usaha Kuliner, Ada Apa Ya?
- Budi Raharjo CFP Ajak Peserta Didik Stella Maris School BSD Atur Duit Sejak Dini
- Rangsang Hubungan Asmara Vokasi dan DUDI, Kemendikbud Gelontorkan 3,5 Triliun
Kematian Kiran yang disayanginya membuat Paliwal bertekad untuk menghentikan ‘kekejaman’ terhadap para bayi perempuan. Ada banyak kasus, ketika bayi perempuan lahir, para orang tua dengan sengaja membiarkannya sakit. Dan meninggal.
Sebagai kepala desa ia bersumpah tidak akan ada lagi ratapan tangis untuk para bayi perempuan. Sebaliknya, lahirnya bayi perempuan harus disambut dengan perayaan. Harus disambut dengan sukacita.
Perayaan bagaimana?
Setiap seorang bayi perempuan lahir, dirayakan dengan menanam pohon. Di hari yang ditentukan, setiap musim hujan, ibu yang baru melahirkan bayi akan membawa bayinya di dalam keranjang besar beralas kain merah. Ia dibawa ke lahan dimana pohon untuk sang bayi ditanam.
Lima tahun setelah kematian Kiran, ratusan ‘pohon Kiran’ telah tumbuh menjadi penggantinya. Setiap tahun bertambah saja pohon yang ditanam karena setiap tahun juga bayi-bayi perempuan hadir di desa itu. Kini jumlahnya telah mencapai 350 ribu pohon.
Piplantri, yang terletak di atas bukit, dulunya adalah tanah tandus di distrik Rajsamand di negara bagian Rajasthan di India. Namun kini lansekap bergelombang yang terhampar di bawah desa itu menghijau oleh pohon. Padahal, tahun 2005, kekeringan begitu parah sehingga pemerintah India harus mengirim kendaraan berisi air ke desa ini.
Selain karena partisipasi masyarakat yang memiliki bayi perempuan, rimbunnya desa Piplantri juga dipicu oleh kehadiran ‘Pohon Kiran.’ Pohon Kiran telah mendorong Paliwal menanam pohon dari hari ke hari, sampai banyak sekali.
Dia juga mendesak penduduk desa lainnya melakukan hal yang sama. Agar subur, mereka memasang pipa untuk membawa air ke pohon-pohon muda, tersebar di sekeliling.
“Dengan ini, saya melakukan dua hal: menunjukkan kegembiraan atas kedatangan anak perempuan dan menghormati tanah tempat leluhur saya bermukim dan dikuburkan,” kata Paliwal.
Para orang tua bayi perempuan, selain merayakan kelahiran bayi mereka dengan menanam pohon, juga diminta menyisihkan dana secara bertahap. Mereka mencicil sampai jumlahnya 31.000 rupee, setara dengan mahar untuk menikahkannnya kelak.
Dana itu dikumpulkan dan dikelola oleh Paliwal. Nantinya ini menjadi investasi para orang tua untuk bayi perempuannya. “Ini memberi keamanan finansial keluarga. Sebagai imbalannya, mereka berjanji untuk merawat pohon, menyekolahkan putri mereka, dan tidak menikahkannya sebelum usia 18 tahun, ”kata Paliwal.
Paliwal menjalankan program ini dengan disiplin ketat. Sepanjang hari ia berkeliling untuk memeriksa apakah anak-anak perempuan benar pergi ke sekolah. Ia juga memastikan bahwa pohon-pohon itu dirawat.
Dr Pankaj Gaur, kepala pejabat kesehatan distrik, mengatakan misi Paliwal untuk menjadikan Piplantri sebagai desa percontohan menginspirasi kebijakan pemerintah pada tahun 2016 untuk memberikan jaminan sosial bagi anak-anak perempuan.
Di bawah jaminan sosial itu, orang tua bayi perempuan akan menerima 2.500 rupee pada kelahiran bayinya. Lalu ketika berumur satu tahun, menerima lagi sebesar 2.500 rupee. Bila anak perempuan itu menamatkan sekolah kelas lima dan kelas delapan, orang tua akan memperoleh 5.000 rupee. Ketika anak perempuan menyelesaikan kelas 12, mereka mendapatkan 35.000 rupee, sehingga total keseluruhan 50.000 rupee. “Jaminan ini akan menghentikan seorang gadis dipandang sebagai beban,” kata Gaur.
Di pintu masuk desa Piplantri, ada papan besar yang mencantumkan nama-nama bayi perempuan yag lahir satu tahun terakhir. Mereka yang dulu merasa minder memiliki anak perempuan, kini menemukan kepercayaan diri.
Salah satunya, Kamla Devi. Dengan empat anak perempuan dan tanpa anak laki-laki, dulu dia menjadi objek belas kasihan. Sekarang Devi merasa bahagia sama seperti orang tua lainnya.
“Suami saya bahkan lebih gembira daripada saya, dengan empat putri kami,” kata dia. “Sepanjang kami dapat mengirimkan mereka mendapatkan pendidikan yang baik, tidak ada hal yang dilakukan laki-laki yang tidak dapat mereka lakukan,” kata Kamla Devi.
Sementara itu Paliwal juga terus mengembangkan gagasan-gagasan baru. Ketika ia mengetahui bahwa jus aloe vera sangat bagus bagi kesehatan, ia menggerakkan masyarakat menamam aloe vera. Ia memberdayakan para perempuan untuk mengolahnya dan memasarkannya. Setelah mendapatkan pelatihan, kini banyak di antara mereka yang memiliki penghasilan 6.000 rupee per bulan.
Ketika The Guardian bertanya, darimana Paliwal mendapatkan energi untuk semua ini? “Apa pun yang saya lakukan adalah untuk mengenang putri saya.”
* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan. Buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), The Beautiful Sarimatondang (2020), Perempuan-perempuan Batak yang Perkasa (2020) dan Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (2020).
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply