
JAKARTA, KalderaNews.com – Bagi sebagian siswa, belajar bukanlah satu-satunya hal yang ada dalam pikirannya. Mereka terkadang membawa beban emosional mereka ke sekolah. Kehilangan orang yang dicintai, kemiskinan, atau tinggal di rumah atau komunitas yang penuh kekerasan dapat memengaruhi otak dan kemampuannya untuk mengatur emosi.
Sebuah studi tahun 2014 menunjukkan bahwa trauma tidak hanya menyebabkan disregulasi emosional, tetapi juga dapat menyebabkan gangguan yang memperparah efek tersebut, seperti kecemasan dan depresi.
Trauma pada murid tidak bisa disepelekan, apalagi hingga menganggu tumbuh kembang dan kegiatan di sekolah. Jika murid mengalami ledakan emosi akibat traumanya, maka guru harus mengetahui cara mengatasinya. Penelitian menunjukkan bahwa mendisiplinkan anak ketika sedang emosi tidaklah efektif.
Para siswa yang hidup dengan trauma dapat mudah terprovokasi oleh hal-hal kecil. Mereka cenderung lebih sensitif, apabila tidak diatasi maka dapat menyebabkan “ledakan” seperti berteriak di kelas, bertengkar, atau melempar kursi/laptop. Lalu, bagaimana mengatasi traumanya jika terjadi hal buruk pada siswa di kemudian hari? Cobalah strategi berbasis penelitian ini!
Kenali Tanda Trauma Pada Siswa
Guru harus mengenali tanda-tanda siswa, seperti mengatupkan rahang, mengepalkan tangan, atau menarik diri dari teman-temannya, dapat menunjukkan kemungkinan ledakan emosi. Memang tidak selalu mudah untuk membaca tanda dan antisipasi reaksinya, akan tetapi tetapi selalu ada jalan jika guru mau berusaha memahami murid-muridnya.
Guru harus lebih peka dengan emosi siswa, apalagi di saat pandemi Covid-19 saat ini. Para siswa mengalami kesulitan memahami pelajaran, belum lagi beban di rumah jika keluarganya tidak harmonis. Para guru dapat menugaskan siswa untuk selalu siapkan Google Docs yang berisi curhatan mereka. Google Docs hanya bisa diakses oleh individu siswa dan guru.
Tenangkan Mereka
Jika emosi siswa meluap, maka jaga keamanan siswa dan bantu mereka tenang. Jangan paksa siswa untuk meminta maaf atau berdiskusi tentang konsekuensinya di saat emosinya tidak stabil. Kondisi tersebut bukanlah saat yang tepat!
Riset tahun 2014 berjudul “Childhood Maltreatment, Emotional Dysregulation, and Psychiatric Comorbidities” mengatakan bahwa siswa traumatis tidak mengambil hikmah dari hukuman.
Siswa butuh emosinya diterima dan divalidasi oleh guru. Tenangkan dengan pelukan dan yakinkan bahwa tidak apa-apa jika sedang tidak baik-baik saja.
Berkomunikasi dengan Jelas
Siswa traumatis mengalami kesulitan untuk memproses instruksi yang rumit. Maka dari itu, berikan perintah secara jelas dan ringkas agar dapat didengarkan oleh siswa yang mengalami gejolak emosional. Bila perlu, guru harus mengulang instruksinya supaya semakin jelas.
Jangan Berikan Ultimatum
Arti ultimatum pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah memberikan peringatan dengan ancaman. Bisa juga tuntutan yang terakhir dengan diberi batas waktu untuk menjawabnya. Contohnya yaitu “berhenti atau saya bawa kamu ke ruang kepala sekolah!” Daripada mengancam yang akan membuat murid ketakutan atau semakin reaktif, lebih baik berikan opsi seperti “minum dulu saja, nanti kita bisa ngobrol.”
Tetapkan Batasan dan Simpulkan
Tahap ini harus didahului dengan tidak memberikan ancaman atau ultimatum kepada siswa. Setelah ia tenang, guru dapat memberikan saran mengenai batasan-batasan perilakunya. Jika guru merasa murid kurang jelas ketika bercerita, maka coba konfirmasi dengan memberikan kesimpulan sejenak, “Saya mendengarkan kamu, apakah itu maksud cerita kamu?”
Itulah kita-kiat untuk mengatasi siswa yang mengalami gejolak emosi akibat traumanya. Jangan kecilkan siswa traumatis, justru para guru harus bisa membesarkan hatinya untuk menerima kekurangan dan memperbaikinya. Semoga membantu!
Leave a Reply