
JAKARTA, KalderaNews.com – Seperti apa pendidikan Indonesia di era modern? Pertanyaan ini mengemuka dalam Festival Kampus Merdeka yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) , Selasa, 15 Juni 2021.
Pada sesi panel diskusi pertama, Festival Kampus Merdeka menghadirkan pembicara Gita Wiryawan, Emil Dardak, dan Butet Manurung.
Satu yang penting dalam strategi pembangunan negara, Indonesia harus mampu mendidik generasi masa depan sesuai dengan kebutuhan masa itu. Gita berharap, pendidikan mampu mencetak generasi penerus dapat berkarya dan berproduksi.
BACA JUGA:
- Wujudkan Kampus Merdeka, Universitas Multimedia Nusantara Kerja Sama dengan Universitas Esa Unggul
- Unika Atma Jaya Gandeng BI Institute Realisasikan Program Kampus Merdeka
- Mendikbud Kembali Ingatkan Para Rektor 4 Kebijakan Kampus Merdeka
Gita menganalogikan, belum tentu anak yang baru berusia 15 tahun yang suka seni, ke depan ia akan menjadi seniman, bisa jadi, anak itu menjadi insinyur atau enginer. Indonesia harus bis aberanjak ke atas ke ‘rantai nilai’ Indonesia agar bisa menuju ke knowledge economi. Ekonomi pengetahuan adalah sistem konsumsi dan produksi yang didasarkan pada modal intelektual.
“Ini adalah satu metriks yang harus kita perhatikan dalam konteks kita memberdayakan 130-an juta manusia. Satu metriks yang harus diperhatikan adalah produktifitas marginal kita, yang di Indonesia masih 24 ribu pertahun, di banding Singapura yang berada di 170 ribu dolar.
Gita juga menyiroti bahwa muara dari semua usaha ini adalah etos atau spirit dalam budaya masyarakat Indonesia. Budaya hidup kita dibentuk dalam keluarga, sekolah, di kantor, di ekosistem. Itu adalah kerangka untuk pembentukan etos sehingga kita mau lebih berpendidikan.
“Kita harus mengakui, kita kurang di beberapa hal. Setelah menyadari kekurangan itu, kita dapat bersikap. Untuk bisa mengambil sikap, harus ada keterbukaan dan imajinasi,” ujar Mantan Menteri Perdagangan era Pemerintahan Presiden SBY ini.
Belajar di era modern tidak saja dapat dilakukan di lingkungan kampus. Emil mengemukakan, bahwa pendidikan sudah bergeser dari ijazah ke kompetensi. Gelar pendidikan tidak lagi yang utama, namun dalam dunia kerja dibutuhkan kompetensi. “Yang dicari adalah orang yang bisa kerja,” ujar doktor lulusan Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang.
Emil menegaskan, agar jangan mengejar masa depan hanya berdasar ijazah pendidikan. Ia mengingatkan, masa depan sangat dinamis. Emil sendiri mengakui, kariernya yang awalnya sebagai profesional, sekarang justru bekerja di lingkup pemerintahan.
Pendidikan yang hanya berfokus pada kegiatan belajar mengajar di sekolah sudah saatnya ditinggalkan. Butet berharap, Kampus Merdeka bisa diadopsi di pedalaman. Ia berharap program ini akomodatif terhadap kegiaatan-kegaitan kreatif. Butet juga mengharapkan pendidikan Indonesia semakin menghargai budaya Indonesia yang kaya.
“Indonesia memiliki banyak keunikan. Jangan sampai kita mahasiwa Indonesia ini mengejar ketertinggalan global melulu. Kita harus jadi unik dan percaya diri sebagai Indonesia yang kaya budaya,” ujar Butet.
Festival Kampus Merdeka merupakan bagian dari gerakan Merdeka Belajar yang dicanangkan Kemendikbudristek yang memberikan kesempaatan bagi mahasiswa/i untuk mengasah kemampuan sesuai bakat dan minat. Dengan program ini, Kemendikbudristek mendorong mahasiswa untuk terjun langsung ke dunia kerja sebagai persiapan karier masa depan.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.
Leave a Reply