
YOGYAKARTA, KalderaNews.com – Dr. Ane Permatasari, S.IP., MA dari Pusat Studi Gender, Anak dan Disabilitas Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menegaskan Perppu Cipta Kerja memiliki kekuatan hukum yang lemah bagi pekerja wanita.
“Perppu Cipta Kerja tidak memasukkan pasal dimana hak-hak pekerja wanita meliputi cuti haid dan melahirkan. Dengan gantinya, hak-hak ini diatur dengan penjelasan bahwa jaminan hak-hak tersebut dapat dimuat dalam perjanjian kerja. Hal ini dinilai lemah dan merugikan pekerja wanita,” ungkap Ane pada Jumat, 6 Januari 2023.
Hak pekerja wanita untuk mengajukan cuti apabila merasa sakit ketika haid atau mengambil cuti ketika akan melahirkan sejak awal diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini membuat pekerja wanita dilindungi haknya.
BACA JUGA:
- Guru Besar UMY Kembali Didapuk Jadi Ketua Umum Muhammadiyah
- UMY Gelar Event Entrepreneur Day, Dimeriahkan Kampus Swasta Lainnya dan CEO Kuliner Terkenal di Yogyakarta
- Rektor UMY Dikukuhkan Sebagai Guru Besar ke-17, Teliti Ilmu Tanah dari Perspektif Al-Quran
Dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 81 ayat (1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pada Pasal 82 ayat (1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. (2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Berdasarkan fakta di lapangan, banyak perusahaan yang melanggar hak pekerja wanita. Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan pada tiga tahun terakhir mencatat sejumlah kasus diskriminasi, kekerasan, dan pelanggaran hak maternitas yang dialami oleh pekerja perempuan.
Hal ini dapat terjadi dikarenakan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak lagi berlaku setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan. Ditambah lagi penguatan pada Perppu Cipta Kerja yang meniadakan hak-hak pekerja wanita ini.
Perppu Cipta Kerja pada Pasal 79 ayat (5) menjelaskan, Pelaksanaan jam kerja bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Menurut Ane, hal ini membuat jarak antara pengusaha dan pekerja.
”Penyerahan keputusan hak pekerja wanita kepada pengusaha atau perusahaan membuat jarak. Dimana, terdapat kemungkinan pengusaha tidak akan memasukkan hak-hak tersebut. Dan hal ini ke depannya tidak dapat dipermasalahkan secara hukum,” ucap Ane yang juga merupakan dosen Ilmu Pemerintahan UMY ini lagi.
Banyak yang dapat dikritisi dari Perppu Cipta Kerja ini. Seperti tidak diaturnya ketentuan pengangkatan pegawai tetap dalam jangka waktu tertentu, pengurangan hari libur, pemberian pesangon kepada pekerja yang di PHK dan lainnya.
“Yang menjadi perhatian sejak lama memang kepentingan dari pekerja yang dapat dijamin dengan adanya peraturan yang mengikat. Bukan hanya mementingkan kepentingan investor yang akan menanam benih di Indonesia,” ungkap Ane.
Begitu pula dengan peraturan mengenai hak-hak pekerja wanita yang juga harus diatur secara eksplisit dalam peraturan.
“Hak seperti cuti haid dan melahirkan bagi pekerja wanita harus diatur secara eksplisit. Harapan ini dapat kita serahkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Kita berharap MK dapat menimbang kembali kepentingan masyarakat khususnya para pekerja Indonesia,” ujar Ane yang merupakan pemerhati perempuan.
Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu!
Leave a Reply