
JAKARTA, Kalderanews.com — Permintaan untuk menjadi peer reviewer di jurnal ilmiah terus membludak. Jumlah artikel yang harus di telaah bertambah berkali lipat setiap tahun.
Sayangnya minat untuk menjadi peer reviewer malahan turun. Tidak sedikit yang berhenti dan kapok melakukannya lagi.
Hal ini diulas oleh nature.com, 13 Februari 2023. Situs yang menyajikan temuan-temuan penelitian ilmiah terbaru itu menyajikan ulasan tentang peer reviewer di bawah judul “Stop the peer-review treadmill. I want to get off.”
BACA JUGA:
- ChatGPT Diblokir di Sekolah AS, Orang-orang Harvard Ajukan 10 Solusi
- Baru Diluncurkan, Eh, Chatbot Google Pesaing ChatGPT Ketahuan Keliru Jawab Pertanyaan
- Rachel, Asal Bogor, Buka Kedai Sop Buntut di Singapura Sambil Kuliah
Nature.com mengutip situs Publons yang mengatakan jumlah artikel yang terindeks pada database Web of Science meningkat tiga kali lipat dari sekitar satu juta pada tahun 1990 menjadi hampir tiga juta pada tahun 2016. Namun jumlah peer reviewer tidak bertumbuh seirama dengan jumlah artikel.
Hal ini turut menyebabkan banyak artikel yang gagal terpublikasi di jurnal ilmiah karena belum mendapat tinjauan dari para peer reviewer. Padahal, publikasi di jurnal ilmiah sangat diperlukan oleh para akademisi dan peneliti, terutama para mahasiswa S2 dan S3.
Peer reviewer dalam Bahasa Indonesia disebut penelaah sejawat. Sedangkan peer review disebut telaah sejawat. Mereka adalah akademisi atau ilmuwan yang mendalami topik yang terkait dengan artikel.
Tradisi akademik sudah sejak abad 18 mengenal peran peer reviwer. Tujuan perlunya sebuah karya ilmiah ditelaah antara lain untuk memenuhi standar disiplin ilmiah dan standar keilmuan pada umumnya. Selain itu telaah sejawat dimaksudkan untuk menjaga reputasi jurnal yang menerbitkannya. Telaah sejawat diharapkan dapat menjaga kemungkinan adanya plagiarisme atau fraud.
Jurnal ilmiah biasanya membutuhkan dua atau tiga penelaah sejawat per artikel. Para penelaah yang umumnya kalangan akademisi, rata-rata dapat melakukan empat hingga lima penelaahan per tahun, meskipun ada juga yang melakukan lebih banyak lagi, menurut situs Publons.
Belakangan ini kelangkaan penelaah sejawat semakin banyak dikeluhkan, baik oleh penerbit jurnal maupun oleh para peneliti. Nature, misalnya, menceritakan kisah Sampson, associate editor Frontiers in Health Services, yang demikian masygul mendapatkan penelaah sejawat untuk sebuah artikel yang akan terbit di publikasi tempat dia bekerja.
Artikel itu sudah masuk sejak April tahun lalu. Ia telah mengirimkan permintaan untuk mereview ke 150 orang. Namun, hanya satu yang bersedia. Dia butuh dua orang lagi.
Ada berbagai sebab semakin terasa langkanya peer reviewer. Salah satunya adalah kebiasaan jurnal ternama yang hanya menginginkan ilmuwan terkenal dari negara-negara dengan infrastruktur sains yang mapan untuk melakukannya. Padahal peer review sebetulnya dapat juga dilakukan oleh peneliti lainnya yang tidak harus tenar.
Penyebab lain semakin enggannya para akademisi menjadi peer reviewer adalah soal waktu. Halazs Aczel, psikolog di Universitas Eötvös Loránd di Budapest pernah mempelajari seberapa berat melakukan tugas peer review. Ia menggunakan kumpulan data yang mencakup lebih dari 87.000 jurnal ilmiah. Dari sana Aczel memperkirakan bahwa para peneliti global, secara agregat, menghabiskan waktu yang setara dengan lebih dari 15.000 tahun untuk peer review pada tahun 2020 saja.
Oleh karena itu dapat dipahami mengapa pekerjaan ini kian dirasakan menguras tenaga. ScholarOne, platform pelacakan manuskrip yang membantu mengatur penelaahan untuk lebih dari 8.000 jurnal akademik, mengatakan tingkat rata-rata penerimaan penelaahan oleh ilmuwan turun dari 37,5% pada tahun 2020 menjadi 32,3% pada tahun 2022.
Jajak pendapat pembaca Nature November lalu (yang hasilnya akan dilaporkan akhir bulan ini) menemukan bahwa sekitar sepertiga dari mereka yang biasa melakukan peer review telah mengurangi aktivitas sejak Maret 2020. Peneliti senior dan menengah, yang melakukan sebagian besar peer review, adalah yang kemungkinan besar mengurangi aktivitas.
Insentif keuangan adalah faktor yang makin kuat penyebab akademisi mengurangi aktivitas sebagai peer reviewer. “Ini adalah pekerjaan yang tidak dihargai,” kata Donna Yates, seorang kriminolog di Universitas Maastricht di Belanda.
“Seseorang tidak mendapat apa-apa dari peer review, selain dari waktu mereka yang diambil dari pekerjaan rutin mereka meneliti dan mengajar,” kata dia.
Selain itu, menurut Olavo Amaral dari Universitas Federal Rio de Janeiro, Brasil, hanya sedikit bukti yang tersedia menunjukkan bahwa peer review menambah kualitas publikasi.
Yang membuat lebih parah, banyak ilmuwan yang merasa tidak adil karena penerbit jurnal mendapat manfaat dari peer review dengan memungut biaya tinggi untuk menerbitkan suatu artikel ilmiah. Sementara para penelaah sejawat tidak dibayar sama sekali.
Insentif finansial memang banyak dianggap sebagai salah satu solusi atas masalah ini walaupun belum menjadi tradisi yang kuat. Selama ini insentif yang diperoleh para penelaah sejawat lebih banyak yang bersifat nonfinansial.
Jurubicara SpringerNature menunjukkan survei yang mereka lakukan tahun 2017 terhadap lebih dari 1200 penelaah sejawat Nature. Sebanyak 87% responden mengatakan melakukan peer review sebagai bagian dari tugas akademik mereka. Sebanyak 77% memandangnya sebagai menjaga kualitas penelitian yang dipublikasikan. Sebanyak 71% tidak mengharapkan penghargaan atau pengakuan dari pekerjaan melakukan peer review.
Para akademisi umumnya memasukkan pekerjaan peer review sebagai bagian dari beban akademis mereka. Mereka menganggap melakukan peer review memberi manfaat karena mereka yang menjadi orang pertama membaca penelitian terbaru sebelum orang lain. Selain itu mereka juga mendapatkan wawasan tentang proses penelaahan yang dapat membantu mereka membuat artikel mereka sendiri.
Ada beberapa jurnal yang telah memberi insentif finansial kepada para penelaah sejawat. Insentif lain yang bernilai finansial sering juga diberikan, misalnya dengan membebaskan biaya berlangganan mereka terhadap jurnal tempat mereka melakukan peer review.
Nature, misalnya, membebaskan biaya berlangganan bagi peer reviewer yang sudah mengerjakan tiga atau lebih telaah sejawat dalam satu tahun. Jurubicara SpringerNature mengatakan para peer reviewer mengapresiasi penghargaan itu.
Penghargaan lainnya yang diterima para penelaah sejawat adalah berupa dicantumkannya nama mereka dalam publikasi. Bahkan profil mereka sebagai saintis juga ditampilkan.
Namun semakin banyak yang mengharapkan agar pekerjaan melakukan telaah sejawat dihargai secara finansial. Dona Yates mengatakan ia berharap pekerjaan melakukan peer review mendapat kompensasi finansial seperti juga yang ia peroleh saat menjalankan pekerjaan konsultansi sebagai pakar Kriminologi di proyek-proyek pemerintah.
“Telaah sejawat seharusnya dibayar,” kata Yates.
Jesse Cook, seorang mahasiswa pascasarjana dalam psikologi klinis di University of Wisconsin–Madison, mempertimbangkan untuk meninjau kembali keterlibatannya melakukan peer review. Pada tahun 2019, dia mulai menjadi konsultan untuk perusahaan – dan menanyakan seberapa besar dia ingin dibayar. Dia sekarang menghasilkan antara US$150 dan US$200 per jam untuk pekerjaan itu. Ia membandingkan dengan jurnal ilmiah yang mengandalkan tingkat keahlian yang sama dalam proses peer-review mereka, tetapi tidak membayar apa pun.
Apakah solusi finansial menjadi satu-satunya jalan keluar? (Bersambung)
Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu!
Leave a Reply