Wacana Libur Selama Bulan Ramadan 2025, Gimana dengan Siswa Non-Muslim? Apa Landasan Kebijakan itu?

Pesantren kilat. (Ist.)
Pesantren kilat. (Ist.)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Wacana libur selama bulan Ramadan 2025 menjadi perbincangan hangat. Gimana dengan siswa non-Muslim? Apa sih landasan kebijakan itu?

Wacana libur selama Ramadan diungkap Wakil Menteri Agama, Muhammad Syafi’i beberapa waktu lalu.

“Sudah ada wacana,” ujar Syafi’i. Tapi, wacana tersebut belum dibahas Kementerian Agama bersama kementerian terkait.

BACA JUGA:

Sementara, Mendikdasmen, Abdul Mu’ti menyatakan, belum melakukan pembahasan mengenai libur selama bulan puasa Ramadan.

“Kami belum melakukan pembahasan mengenai libur Ramadan. Itu masih menjadi wacana dan belum menjadi keputusan,” ujar Menteri Abdul Mu’ti.

Gimana siswa non-Muslim?

Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (Unnes) Edi Subkhan menyatakan, pemerintah harus memperhatikan beberapa hal bila akan memberlakukan libur sekolah selama puasa Ramadan.

Catatan pertama dari Edi Subkhan terkait keragaman latar belakang siswa di sekolah.

“Pertanyaannya, bila libur satu bulan penuh, agenda yang paling mungkin dijalankan adalah semacam pesantren kilat bagi siswa-siswi Muslim. Lalu, bagaimana dengan yang non-Muslim?” ujar Edi Subkhan.

Dengan demikian, kata Edi, semangat Ramadan hanya akan dirasakan murid Muslim saja.

“Jangan sampai kebijakan ini memicu ketidaknyamanan bagi siswa-siswi beragama bukan Islam,” ujarnya.

Hal yang kedua, Edi Subkhan menyatakan bahwa wacana libur ini harus dilengkapi dengan perencanaan kurikulum.

Katanya, perlu dipikirkan pembelajaran mata pelajaran lain apabila selama selama satu bulan itu difokuskan untuk pendidikan agama.

Bila selama satu bulan itu yang dipelajari pendidikan agama, Edi mengatakan, perlu kebijakan yang memayunginya.

Pendidikan tidak mendorong kegiatan ibadah?

Sementara, Achmad Hidayatullah Ph.D dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) menyatakan, pemerintah tidak perlu terburu-buru memutuskan untuk libur atau tidak di bulan puasa Ramadan.

Hidayatullah mempertanyakan, apakah kebijakan liburan selama bulan Ramadan tersebut didasarkan pada justifikasi epsitemolgis yang kuat tentang kebutuhan masyarakat?

“Bila kebijakan ini diambil berdasarkan asumsi bahwa fokus, produktivitas, dan motivasi akan menurun selama bulan puasa, tentu kebijakan tersebut tidak memiliki landasan epistemologis yang kuat!” tegas Hidayatullah.

Katanya, pemerintah seolah-olah memiliki believe atau keyakinan tentang pengetahuan dualistik bahwa bulan puasa adalah waktu ibadah, sementara pendidikan dinilai tidak mendorong kegiatan ibadah selama bulan Ramadan.

Padahal, menurut Hidayatullah, pendidikan yang dilaksanakan selama ini telah mendorong kesatuan keduanya.

Aktivitas pendidikan juga mendorong siswa untuk beribadah, sebagaimana dalam Profil Pelajar Pancasila, karakter yang ingin diintegrasikan dalam pelajaran juga memuat nilai-nilai agama.

Bahkan program baru Mendikdasmen yang memuat 7 Kebiasaan Anak Hebat Indonesia pun memuat tentang ibadah.

“Artinya, pemerintah tidak perlu memisahkan antara ibadah dan pendidikan. Seolah Ramadan menjadi waktu untuk belajar agama dan sekolah diliburkan. Penguatan nilai keagamaan tanpa meliburkan sekolah justru akan lebih baik,” paparnya.

Libur sebulan, justru banyak mainan HP

Hidayatullah mengatakan, asumsi bahwa masuk sekolah saat Ramadan bisa mengurangi fokus siswa untuk belajar agama, tidak dilandaskan bukti rasio dan empiris yang kuat.

“Belum ada bukti ilmiah bahwa masuk sekolah selama Ramadan menurunkan motivasi dan fokus belajar untuk belajar agama,” urainya.

Dia memaparkan, dalam social cognitive theory, lingkungan sekolah merupakan faktor yang membentuk perilaku dan kemampuan siswa.

Melalui kebijakan libur penuh selama bulan puasa Ramadan, lingkungan pendidikan bakal menjadi pasif serta tidak menjadi ruang stimulus untuk membentuk perilaku dan kemampuan siswa.

Bahkan, kebijakan libur penuh itu bisa melemahkan self-efficacy atau kepercayaan diri siswa terhadap kemampuan untuk menjadi produktif atau belajar selama puasa yang melibatkan tantangan fisik seperti rasa haus dan lapar.

“Justru yang perlu dipikirkan bersama, dan jadi kekhawatiran orangtua selama Ramadan, bila sekolah libur penuh, siswa malah lebih banyak bermain HP, yang menurut studi empiris menciptakan perasaan cemas dan kesendirian,” ujarnya.

Hidayatullah juga menegaskan bahwa kebijakan libur sekolah pada masa presiden Gus Dur tidak bisa dijadikan acuan, lantaran zaman telah berubah dengan kehadiran teknologi digital.

“Dengan sekolah tetap berlangsung maka siswa akan lebih terarah untuk belajar dan beribadah, daripada waktu mereka libur dan banyak waktu kosong, justru jiwa mereka terenggut dunia digital,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News

*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmuTertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*