Pro Kontra Sistem Penjurusan di SMA, Selamat Tinggal Kurikulum Merdeka!

Siswa SMA. (ISt.)
Siswa SMA. (ISt.)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Rencana pemerintah hidupkan kembali sistem penjurusan di SMA pada tahun ajaran 2025/2026 tuai pro dan kontra dari berbagai kalangan.

Sistem penjurusan di SMA telah dihapus di tahun ajaran 2024/2025 oleh Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim.

Dan kini, Mendikdasmen, Abdul Mu’ti akan menghidupkan kembali jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di jenjang pendidikan SMA.

BACA JUGA:

Menteri Mu’ti menyatakan, dengan penerapan sistem penjurusan, maka di ujian akhir nanti. siswa bisa memilih mata pelajaran yang paling diminati.

Siswa hanya mengikuti tes wajib, yaitu mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika.

“Untuk mereka yang ambil IPA, nanti boleh memilih tambahannya antara fisika, kimia, atau biologi. Untuk yang IPS juga begitu, dia boleh ada tambahan apakah itu ekonomi, sejarah, atau ilmu-ilmu lain yang ada dalam rumpun ilmu-ilmu sosial,” papar Menteri Mu’ti.

Tujuan pemerintah kembali menerapkan sistem lama ini adalah memberikan kepastian pada penyelenggara pendidikan, terutama lembaga pendidikan di luar negeri.

“Jadi, pas Pak Nadiem dulu diambil sampelnya aja, banyak kampus di luar negeri enggak mau terima, karena enggak jelas ukuran kemampuan di pelajar. Sekarang, dengan hasil TKA, kemampuan masing-masing individu akan terukur,” imbuh Menteri Mu’ti.

Sistem lama bersemi kembali

Sementara, pengamat pendidikan, Doni Koesoema menyatakan, rencana pemerintah mengembalikan sistem penjurusan di SMA dikhawatirkan menjadi beban psikologis, karena siswa harus kembali menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan yang lama.

Doni menyebut, perubahan kebijakan pendidikan seperti penjurusan sebenarnya adalah hal wajar.

Tetapi, ia mengkritik ketidakkonsistenan arah kebijakan pendidikan yang justru bisa berdampak buruk pada pola belajar siswa.

“Selama era Nadiem Makarim, anak-anak merasa nyantai, tidak perlu belajar, serta tidak ada ujian yang objektif,” kata Doni.

Kini, para siswa sedang menjalani Kurikulum Merdeka yang memberikan keleluasaan siswa memilih mata pelajaran, tanpa terikat penjurusan.

Tetapi, pilihan tersebut tidak diimbangi dengan evaluasi akademik yang memadai, lantaran Ujian Nasional telah dihapus serta seleksi masuk perguruan tinggi tidak mempertimbangkan hasil belajar sesuai minat siswa.

“Selama ini, seleksi masuk perguruan tinggi tidak menguji pelajaran sesuai jurusan. Jadi pemerintah tidak tahu kualitas hasil belajar mereka,” paparnya.

Kata Doni, pengembalian penjurusan seiring dengan hadirnya TKA berbasis rumpun ilmu sebagai bagian dari seleksi masuk perguruan tinggi menjadi koreksi atas lemahnya sistem evaluasi di era sebelumnya.

Meski demikian, ia menyatakan, perubahan kebijakan yang mendadak bisa menyulitkan siswa dan guru yang sudah terbiasa dengan fleksibilitas Kurikulum Merdeka.

“Ada beban psikologis bagi mereka yang tidak serius belajar atau mengajar. Apalagi sebelumnya tidak ada tekanan dari sistem untuk belajar sungguh-sungguh,” katanya.

Dampak terbesar dari perubahan ini adalah hilangnya motivasi belajar selama sistem yang longgar berlangsung.

Dan kini, siswa harus beradaptasi kembali dengan sistem yang lama.

Siswa SMA. (Ist.)
Siswa SMA. (Ist.)

PGRI sambut kembalinya sistem penjurusan di SMA

Sementara, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyambut baik penerapan kembali sistem penjurusan di SMA, lantaran membantu siswa lebih fokus mendalami ilmu sesuai minat.

Ketua Umum PP PGRI, Unifah Rosyidi menyatakan, penjurusan kembali penting agar siswa tidak hanya mendapat pengetahuan secara serba tanggung.

Ia menyebut, sistem Kurikulum Merdeka yang membebaskan siswa memilih mata pelajaran lintas disiplin belum tentu mampu memenuhi kebutuhan akademik siswa.

“Harapan agar siswa menguasai semua ilmu itu baik, tapi jika tidak siap, yang terjadi malah siswa tidak mendapatkan ilmu apa-apa atau hanya sedikit,” papar Unifah.

Kembalinya “kastanisasi” mata pelajaran

Ketua Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri menyatakan, sistem penjurusan di SMA telah ada sejak 1994.

Dengan sejarah panjang itu, kata Imam, sekolah dan guru dipastikan memiliki pengalaman yang cakap dalam menerapkan sistem ini.

“Jadi mereka tidak lagi kagok ketika harus kembali mengelola kelas IPA, IPS, dan Bahasa,” ujarnya.

Iman pun menilai, sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia saat ini memang belum cocok dengan konsep Kurikulum Merdeka.

Dia memaparkan, konsep awal dari Kurikulum Merdeka adalah memberikan keleluasaan kepada siswa memilih dan memilah mata pelajaran yang ingin dipelajarinya sesuai dengan minat dan bakat.

Tetapi, banyak sekolah yang masih kekurangan tenaga pengajar, serta kekurangan kapasitas dalam menyediakan menu-menu mata pelajaran.

Di sisi yang lain, kata Iman, penerapan sistem penjurusan juga tak lepas dari bayang-bayang buruk, seperti kembalinya “kastanisasi” rumpun mata pelajaran.

“Sejarah membuktikan saat penjurusan berkembang di kurikulum sebelumnya, jurusan IPA dinilai lebih pintar dan pilihan, serta jadi jurusan favorit,” kata Iman.

Mereka yang berada di kelas IPA dinilai memiliki “kasta” lebih tinggi daripada siswa yang berada di kelas IPS, apalagi Bahasa.

Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News

*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmuTertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*