Melontarkan Pertanyaan Sensitif Saat Wawancara

Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.
Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta (KalderaNews/Ist)
Sharing for Empowerment

Oleh: Eben E. Siadari*

JAKARTA, KalderaNews.com – Banyak cerita hebat dihasilkan oleh pertanyaan-pertanyaan sulit dan sensitif. Ini berlaku bukan di dunia Jurnalistik saja, tetapi pada hampir semua profesi kepenulisan.

Wartawan legendaris berkebangsaan Italia, Oriana Fallaci, terkenal oleh wawancaranya dengan tokoh-tokoh dunia. Dia mengakui bahwa salah satu elemen suksesnya ialah kemampuan untuk menanyakan hal-hal yang tidak ditanyakan oleh wartawan lain.

Dalam wawancara dengan Perdana Menteri India, Indira Gandhi, misalnya, Oriana Fallaci mengajukan sejumlah pertanyaan sulit, bahkan ada di antara pertanyaan itu yang dia lontarkan berkali-kali.

BACA JUGA:

“… Mrs Gandhi, to your history as unusual woman. Is it true that you didn’t want to get married?.” Oriana Fallaci menanyakan hal itu pertama kali sesudah Indira Gandhi menjawab pertanyaan tentang apakah ia seorang feminis. Oriana Fallaci menanyakan kembali hal itu setelah disela oleh beberapa pertanyaan lain, untuk memastikan pendirian Indira Gandhi. Katanya, “Mrs Gandhi, your husband has now been dead for some years. Have you ever thought about remarrying?”

Menurut Oriana Fallaci, ada kebiasaan buruk sejumlah wartawan, yaitu hanya berani ‘berbicara’ saat menulis dan berada di belakang mesin ketik (atau laptop). Tatkala berhadap-hadapan dengan narasumber ‘kunci’ permasalahan, mereka menjadi diam seribu bahasa. Mereka, menurut Oriana Fallaci, tidak pernah secara langsung mau menanyakan hal-hal buruk yang seharusnya publik berhak untuk mengetahuinya.

Kritik Oriana Fallaci valid dan merupakan isu penting yang harus ditangani oleh para wartawan. Perempuan yang telah mewawancarai Muammer el-Qaddafi, Golda Meir, Ayatollah Khomeini, Richard Nixon, Yasser Arafat hingga Benazir Bhutto itu, selalu mencari cara agar narasumbernya bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini enggan dijawab.

Di banyak pelatihan Jurnalistik sering disajikan ‘teknik-teknik’ wawancara, termasuk teknik mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit. Kendati pada dasarnya hal itu lebih sebagai seni daripada rumus atau dalil yang rigid, sangat berguna untuk membantu merumuskan ‘strategi’ tatkala tiba saatnya pada keharusan mengeksekusinya. Teknik-teknik itu merupakan sari dari pengalaman para wartawan di berbagai situasi dan kondisi dengan beragam narasumber.

Meluruskan Motivasi

Salah satu fundasi untuk melancarkan pertanyaan-pertanyaan sulit ialah meluruskan motivasi. Apa urgensi menanyakan pertanyaan tersebut? Seberapa penting jawaban pertanyaan sulit itu bagi keseluruhan rangkaian cerita?

Ada berbagai motif wartawan dan penulis tatkala menyiapkan sebuah cerita. Mulai dari motivasi nobel hingga yang subjektif semacam keperluan untuk memuaskan ketenaran diri (Self esteemed) atau untuk meraih click bite bagi tulisannya.

Fundasi yang kuat ketika melancarkan pertanyaan-pertanyaan sulit ialah keperluan akan terungkapnya kebenaran. Jawaban dari pertanyaan sulit itu penting untuk membuka selubung yang selama ini menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Sekali seorang pewawancara memiliki keyakinan ini pada dirinya, ia tidak perlu ragu melancarkan pertanyaan-pertanyaan sensitif.

BACA JUGA:

Fundasi lainnya ialah keperluan untuk mendudukkan suatu perkara atau konstruksi cerita selengkapnya. Cerita atau berita seringkali terdiri atas potongan puzzle yang masih perlu dicari. Ada potongan-potongan yang sangat penting karena menunjukkan jalan bagi gambaran keseluruhan cerita. Pertanyaan-pertanyaan sulit perlu dilontarkan bukan hanya demi mengungkap sepotong kebenaran saja (yang juga penting) tetapi juga seluruh kebenaran cerita.

Fundasi lainnya ialah pastikan bahwa pertanyaan yang dilontarkan mewakili kepentingan publik atau pembaca. Wartawan atau penulis akan memiliki kepercayaan diri yang kuat tatkala meyakini bahwa dirinya mewakili rasa ingin tahu publik dan jawaban atas pertanyaan yang dia lontarkan itu berguna bagi kepentingan publik.

Pada Saat Wawancara

Dari berbagai pengalaman para wartawan tatkala berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit, satu hal yang sepertinya menjadi konsensus ialah jangan tanyakan pertanyaan tersebut terlalu dini. Barangkali logika di balik ini tidak sulit untuk ditelisik, yaitu pertanyaan sulit cenderung menjadi trigger bagi keengganan narasumber melanjutkan wawancara.

Tatkala tiba saatnya melontarkan ‘tembakan,’ penting untuk memikirkan bagaimana hal itu dibahasakan. Pilihan kata yang netral, tidak menghakimi tetapi juga tidak menunjukkan keberpihakan yang berlebihan. Ini dapat memberikan keleluasaan bagi narasumber untuk menangani pertanyaan itu dengan nyaman.

Nada suara dan bahasa tubuh memerlukan pengelolaan. Ini untuk menghindari kesan adanya interogasi. Posisi pewawancara yang tepat adalah mengumpulkan informasi.

Salah satu contoh pertanyaan sulit, tetapi dengan nada yang cukup netral, adalah sebagai berikut: “Beberapa oposan Anda mengatakan Anda lemah. Bagaimana Anda menanggapinya? (Atau, bagaimana jawaban Anda atas tuduhan tersebut?) ‘Beberapa oposan’ dalam kalimat itu dapat saja digantikan dengan, misalnya, ‘Pengeritik Anda,’ atau ‘Partai X,’ namun pastikan bahwa hal itu memang benar dan Anda dapat membuktikan bahwa ada tuduhan semacam itu.

BACA JUGA:

Tidak semua narasumber dapat mengendalikan diri. Jika tensi meningkat dengan pertanyaan-pertanyaan sulit, pewawancara harus berupaya meredakannya, memperlunak bahasa pertanyaan atau mengalihkannya kepada hal lain. Pada saat atmosfer sudah lebih tenang, dapat kembali lagi ke pertanyaan sulit.

Memelihara kontak mata dengan narasumber adalah penting, untuk menunjukkan bahwa jawaban-jawaban yang diberikannya sangat bernilai. Namun kontak mata yang terjalin hendaknya merupakan cerminan dari sikap netral pewawancara, yang didukung oleh nada suara dan bahasa tubuh yang netral pula.

Di Amerika Serikat, ada seorang penulis menjadi terkenal karena menulis sebuah buku yang didasarkan pada wawancara dengan seorang pembunuh yang akan menjalani hukuman mati. Kunci keberhasilannya ialah kemampuannya mempertunjukkan sikap netral –tidak berpihak namun juga tidak menghakimi apa pun yang dikatakan oleh narasumbernya.

* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*