Guru di Indonesia Lebih Senang Bicara Daripada Menulis

La Sunra, ketika mempertahankan disertasinya di Universitas Negeri Makassar (beritakotamakassar.com)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com — Seorang doktor baru di bidang Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Negeri Makassar (UNM) mengemukakan guru SMP di Indonesia umumnya lebih cenderung mengungkapkan refleksinya tentang pembelajaran di kelas secara lisan ketimbang secara tertulis.

“Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada berbagai negara di dunia. Guru-guru di berbagai negara mengandalkan tulisan jurnal refleksi dan diary dalam mengungkapkan proses dan hasil refleksi pembelajarannya,” kata La Sunra, doktor baru itu, ketika mempertahankan disertasinya pada hari Kamis (16/07) lalu.

BACA JUGA:

La Sunra sehari-hari menjabat sebagai sekretaris jurusan Prodi Bahasa Inggris Fakultas Bahasa dan Sastra UNM. Disertasinya mengambil judul Teacher’s Reflective Practice in Indonesia EFL Classrom (Praktik Refleksi Guru dalam Pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia),

Sidang ujian promosi berlangsung dengan tim penguji yang dipimpin oleh Prof. Dr. H. Hamsu Abdul Gani didampingi Prof Dr. Baso Jabu selaku sekretaris sidang ujian promosi. Bertindak sebagai promotor Prof. Dr. Haryanto sementara penguji internal Dr. Hj. Ratnah.

Dikutip dari beritakotamakassar.com, dalam pemaparannya, La Sunra yang adalah dosen UNM pada Program Studi (Prodi) Bahasa Inggris menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukannya berfokus pada tiga hal utama.
Pertama, bagaimana persepsi/pemahaman guru Bahasa Inggris SMP terhadap praktik refleksi dalam pembelajaran?

Kedua, bagaimana guru Bahasa Inggris SMP menerapkan praktik refleksi dalam pembelajarannya?

Ketiga, kendala apa yang dialami oleh guru Bahasa Inggris SMP dalam menerapkan praktik refleksi dalam pembelajarannya?

Dalam menjawab pertanyaan ini La Sunra, membagi tiga kategori guru, masing-masing less reflective teacher, moderately reflective teacher, dan highly reflective teacher.

Less reflective teacher ditandai dengan kemampuan menggambarkan apa yang terjadi di kelas selama pembelajaran, apa yang dilakukan guru dan apa yang dilakukan siswa.

:Moderately reflective teacher tidak sekadar menggambarkan apa yang terjadi selama pembelajaran di kelas, tetapi juga disertai dengan analisis tentang hubungan sebab akibat tentang perisitiwa-peristiwa pembelajaran yang terjadi dan dugaan-dugaan penyebabnya, bahkan disertai dengan rencana praktis untuk memperbaikinya,” terang La Sunra dalam bahasa Inggris yang fasih.

Sedangkan highly reflective teacher, lanjutnya, dicirikan dengan kemampuan lebih, selain yang dilakukan oleh kedua kelompok guru reflektif sebelumnya.

Pada kategori ketiga ini, guru mengupas tuntas peristiwa yang terjadi dan penyebab-penyebabnya, serta menggali secara mendalam sejumlah alternatif solusi perbaikan beserta rasionalitas solusi tersebut.

Pada level ketiga ini, kesadaran guru akan isu-isu sosial dan moral juga terlihat nyata, disertai dengan sikap keterbukaan dan keihklasan terhadap profesi dan kinerjanya sebagai fasilitator pembelajaran.

Pria kelahiran 31 Desember 1970 ini menyebut, ada tiga kendala utama yang dialami guru bahasa Inggris SMP dalam menerapkan praktik refleksi pembelajarannya.

Pertama, beban mengajar 24 SKS per jam pelajaran tiap minggu, belum termasuk tugas-tugas tambahan lainnya sebagai wali kelas, pendamping/pembina kegiatan kokurikuler siswa seperti pramuka, palang merah, komunitas debat, serta tugas-tugas administrasi pembelajaran lainnya.

”Kesemuanya ini menyulitkan mereka untuk meluangkan waktu khusus untuk melekukan refleksi pembelajaran secara tertulis, baik secara individu maupun secara kelompok bersama kolega guru bahasa Inggris lainnya di sekolah.

Kedua, pada umumnya guru bahasa Inggris SMP tidak memiliki pengetahuan awal tentang konsep praktik refleksi pembelajaran. Mereka mengaku tidak pernah diberikan materi praktik refleksi selama mereka kuliah di perguruan tinggi,” beber ayah tiga orang anak ini.

Ketiga, lanjutnya, pengawas sekolah tidak menerapkan prinsip praktik reflektif dalam mendampingi dan mengevaluasi guru. Saat mengunjungi guru di sekolah, mereka lebih fokus memeriksa dan mencari kelemahan administrasi pembelajaran (RPP) guru daripada mengamati langsung bagaimana guru mengajarkan RPPnya di kelas dan menuntunnya untuk mendiskusikan praktik pembelajaranya pascapembelajaran berakhir.

Akibatnya, pengawas sekolah jarang bisa memberikan umpan balik yang konstruktif untuk perbaikan pembelajarannya berbasis pengamatan langsung terhadap praktik pembelajaran guru.

Usai mempertahankan disertasi dan hasil penelitiannya, La Sunra kemudian dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Ia menjadi doktor ke 858 di Program Pascasarjana (PPs) UNM, dan doktor ke 60 di Prodi Bahasa Inggris.


*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat, dan teman-temanmu.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*