
Oleh: Gloria Novela Tina Bawole *
JAKARTA, KalderaNews.com – Dampak perubahan iklim menjadi tantangan serius terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan Kiribati. Kiribati adalah negara dengan 32 atol kerang dan satu pulau batu kapur yang terletak di tengah Samudera Pasifik. Atol Kerang Kiribati terletak sangat rendah dengan ketinggian maksimum 3-4 meter di atas permukaan laut.
Pulau Kiribati menjadi kawasan yang sangat rentan terhadap perubahan iklim disebabkan oleh kondisi geografis, struktur lingkungan yang unik, dan sumber daya yang terbatas. Hal ini menyebabkan Kiribati tidak dapat menyesuaikan diri dari perubahan iklim yang terjadi di kawasan.
Perubahan iklim tersebut berdampak besar pada keadaan ekonomi nasional dan beberapa tempat tidak dapat mendukung untuk ditempati manusia. Menurut data dari World Bank, Kiribati memiliki sekitar 110.000 populasi pada tahun 2015, di mana sekitar 51% tinggal di Pulau Tarawa Selatan.
BACA JUGA:
- Guo Nian
- Catatan Pendidikan Hardiknas 2019: Handayani
- (Mengharapkan) “Midas Touch” dari Seorang “Silver-Spoon Kid”
Selain itu, kesulitan kawasan Kiribati dalam mengembangkan ekonominya juga disebabkan oleh kepadatan penduduk yang berlebih, pengangguran, kurangnya pasokan air bersih serta penyakit.
Pada 2014, Anote Tong yang menjabat sebagai Presiden Kiribati mengambil langkah dramatis untuk menyelamatkan rakyatnya yang terkena dampak kenaikan permukaan air laut. Anote Tong membeli sebidang tanah di Fuji dengan harga $9 juta.
Pada dasarnya struktur ekonomi Kiribati bergantung pada pengiriman uang, pendapataan dari izin penangkapan ikan, produksi kopra dan bantuan luar negeri. Sektor ekonomi lainnya yaitu pertanian dan pariwisata masing-masing menyumbang 20% dan 3,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Menurut laporan dari World Bank, Kiribati diklasifikasikan sebagai negara dengan perekonomian yang berkembang paling sedikit pada 2016 dari 90% ekspor terdiri dari produk ikan. Kiribati juga meratifikasi perjanjian perubahan iklim dan manajemen risiko bencana (2014) . Dperkirakan, biaya adaptasi perubahan iklim selama periode 2014-2023 sekitar $75 juta.
Dalam mengatasi dampak perubahan iklim, pemerintah menerapkan strategi sektoral dan berprioritas pada pembangunan, meningkatkan koordinasi dan kerjasama finansial dari berbagai sektor. Pemerintah tentu saja menyoroti pentingnya ketahanan pangan dengan mempertimbangkan perubahan iklim dan terus mendukung sektor pertanian kawasan.
* Gloria Novela Tina Bawole , Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional (HI), Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply