JAKARTA, KalderaNews.com – Setiap anak manusia yang lahir membawa potensinya masing-masing. Demikian juga anak yang terlahir dengan kebutuhan khusus. Bila dilakukan penggalian potensi dengan cermat, setiap anak kebutuhan khusus memiliki kecerdasan dan bakat yang berbeda. Perbedaan ini yang harus diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Kekurangan dan keterbatasan penyandang kebutuhan khusus ini harus dipahami oleh lingkungan terdekat anak. Demikian juga dengan keterbatasan dan keistimewaannya. Namun begitu, hingga kini, belum semua lapisan masyarakat dapat menerima perbedaan yang ada pada anak kebutuhan khusus.
BACA JUGA:
- Deteksi Anak Kebutuhan Khusus Dimulai dari Rumah, Begini Kiatnya dari Pakar
- Orang Tua Tak Perlu Malu Punya Anak Berkebutuhan Khusus
- 4 Cara Membimbing Siswa Berkebutuhan Khusus di Kelas Hybrid
Beberapa orangtua dan kerabat masih ada yang merasa malu bila memiliki anak kebutuhan khusus dalam daftar keluarganya. Rasa malu ini secara langsung dan tidak dapat memberikan perngaruh pada proses terapi dan belajar pada anak.
Sebaliknya, di dalam masyarakat juga masih ada stigma yang melekat tentang anak kebutuhan khusus, seperti misalnya melarang anak-anak normal bermain dan bergaul dengan anak kebutuhan khusus. Sikap kelompok masyarakat yang demikian tentu juga akan dicontoh oleh anak mereka dan tentu akan membangun pemikiran yang keliru tentang anak kebutuhan khusus.
Menurut Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2011 tentang Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang mengalami keterbatasan/keluarbiasaan baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional yang berpengaruh secara sigifikan dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.
Sedangkan kategori anak kebutuhan khusus dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 157 Tahun 2014 tentang Kurikulum Pendidikan Khusus Pasal 4. Hal ini menjadi acuan untuk membuat kategori anak kebutuhan khusus menjadi 12 kelompok.
Kategori anak kebutuhan khusus yang dimaksud dalam peraturan menteri tersebut antara lain: tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, Memiliki gangguan motorik, Menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain, dan Memiliki kelainan lain. 12 kategori anak kebutuhan khusus tersebut harus mendapatkan terapi dan cara belajar yang berbeda.
Pasal 15 Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa jenis pendidikan bagi anak kebutuhan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pendidikan khusus menurut pasal 32 ayat 1 Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa pendidikan khusus ini diperuntukkan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan atau memiiki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Teknik layanan pendidikan untuk jenis Pendidikan Khusus untuk peserta didik yang berkelainan luar biasa dapat diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Untuk jenjang pendidikan tinggi secara khusus belum tersedia.
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan share pada saudara, sahabat dan teman-temanmu!


Leave a Reply