
Oleh: Eben E. Siadari *
JAKARTA, KalderaNews.com – Revitalisasi adalah istilah yang cukup populer dalam wacana publik. Ia dipergunakan dalam bermacam-macam konteks. Di bidang ekonomi kita mengenal revitalisasi aset. Dalam penataan kota kita mengetahui adanya revitalisasi kota tua. Di bidang budaya, kita sering mendengar adanya program revitalisasi seni tradisionil.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) revitalisasi adalah suatu proses atau cara dan perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali sesuatu. Yang perlu dihidupkan atau digiatkan itu adalah sesuatu yang sudah ada, tetapi ‘mati suri,’ atau tidak diberdayakan.
Sebagai contoh, pemerintah Kota Bandung pada tahun 2017 pernah mengumumkan akan merevitalisasi sejumlah asetnya yang menganggur. Revitalisasi diperlukan untuk memaksimalkan potensi pelayanan pemerintah untuk meningkatkan kepuasan masyarakat. Berdasarkan data, ada 6.455 aset pemerintah kota Bandung, yang tercatat baru 5.740 dan yang perlu direvitalisasi mencapai 20 persen.
BACA JUGA:
- Beda Bahasa Politisi dan Peneliti
- Melalui Warna “Membahasakan” Alam
- Menulis Seperti Memasak
- Mengapa Manusia Menulis?
- Karena Alam Hanya Menjalani Fitrahnya
- Jangan Lupa Menyebut Nama
- Guo Nian
- Catatan Pendidikan Hardiknas 2019: Handayani
Revitalisasi juga memiliki makna penting bagi setiap penulis. Para penulis perlu mengevaluasi untuk kemudian merevitalisasi salah satu asetnya yang berharga, yaitu kosa kata atau perbendaharaan kata.
Mengapa ini disebut penting? Sebab, kapasitas perbendaharaan kata sangat menentukan bagi keleluasaan para penulis bereksperimen dan menghasilkan karya. Semakin luas perbendaharaan kata yang mereka miliki, semakin leluasa para penulis bekerja. Sebaliknya, semakin terbatas kosa kata mereka, semakin banyak kendala yang dihadapi dalam mengungkapkan buah pikiran. Dengan kata lain, kompetensi menulis berbanding lurus dengan kapasitas kosa kata.
Sering ada pertanyaan berapa banyak kata yang harus tersedia dalam perbendaharaan kata seorang penulis untuk dapat dikatakan mahir menulis? Tentu sangat sulit memberikan angka. Namun, kita dapat membandingkannya dengan kebutuhan kata untuk berkomunikasi.
Dalam hal berbahasa Inggris, misalnya, umum dikatakan seorang pemula harus menguasai sedikitnya 250-500 kata untuk bisa bercakap-cakap tentang hal-hal dasar. Seseorang baru dianggap mampu berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari bila telah dapat menguasai sekitar 3.000 kata. Sedangkan bila sudah bisa menguasai 4000-10.000 kata, seseorang dapat digolongkan telah lancar dan fasih. Selanjutnya, bila sudah dapat menguasai 10.000 kata, ia digolongkan sangat mahir setara dengan native speaker, yaitu mereka yang Bahasa Inggris merupakan bahasa ibu mereka.
Seperti halnya aset di dunia keuangan yang dapat ‘mati suri’, terbengkalai dan menganggur sehingga tidak produktif, kata-kata dalam perbendaharaan kata penulis juga sering memerlukan revitalisasi. Di dalam perbendaharaan kata setiap penulis, ada kata yang sering dipergunakan namun tidak sedikit pula kata yang jarang bahkan tidak pernah dipergunakan. Ada kata dikuasai secara aktif namun ada juga yang hanya dikuasai secara pasif. Bila diperluas ke dalam konteks bahasa, kita mengenal istilah menguasai bahasa secara aktif dan menguasai bahasa secara pasif.
BACA JUGA:
- Tiap Pagi SDK PENABUR Bintaro Jaya Cegah Penyebaran Virus Corona
- Cegah Penyebaran Virus Corona, Gedung Perkantoran di Sudirman Dilengkapi Alat Thermo Scanner
- Mendadak Corona, Empat Kampus di Bandung Larang Mahasiswa dan Dosen ke Luar Negeri
- Gara-gara Masker Mahal, Pelajar SMK Bertopeng Mendadak Viral
Idealnya, seorang penulis menguasai secara aktif semua kata yang ada dalam perbendaharaan katanya. Semakin ia menguasainya secara aktif, semakin mudah ia mempergunakannya dan berkreasi dengannya. Orang yang memiliki perbendaharaan kata aktif dalam jumlah besar, akan dengan lincah berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Kata demi kata mengalir dengan mudah dalam percakapan dan tulisannya.
Pidato dan tulisan yang baik sering kali lahir oleh kekayaan kata yang dipakai. Pidato dan tulisan yang demikian, bukan saja dapat menciptakan idiom baru, tetapi juga mampu menemukan makna yang lebih tajam dengan mengangkat kata-kata lama yang sudah sangat jarang dipakai. Kata-kata yang telah lama tidak dipergunakan, tatkala dibangkitkan kembali dalam konteks yang tepat, memberikan makna yang lebih segar dan lebih tajam. Inilah yang dimaksud dengan revitalisasi kata.
Sebagai contoh, kata ‘galau.’ Barangkali kata ini cukup umum ada di perbendaharaan kata orang Indonesia. Namun sampai beberapa tahun lalu, kata ini masih merupakan kata yang hanya secara pasif dikuasai oleh sebagian besar orang Indonesia. Ia jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Yang lebih sering dipakai adalah sedih, suntuk atau kacau. Baru sesudah seorang komposer menulis lirik lagu mempergunakan kata tersebut, dan kemudian populer, galau menjadi kata yang banyak dipakai bahkan dalam percakapan sehari-hari. Di sini kita dapat melihat bagaimana sebuah kata mengalami revitalisasi.
Praktik Revitalisasi Kata
Dalam praktik, upaya merevitalisasi kosa kata dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Pada intinya adalah dengan menambah frekuensi penggunaan kata-kata yang ingin direvitalisasi. Dalam konteks kata galau, misalnya, semakin sering lagu yang memakai kata galau diputar dan diperdengarkan, semakin mengalami revitalisasi kata tersebut.
Di ruang kelas, dalam upaya melakukan revitalisasi terhadap kata-kata yang mati suri, guru dapat meminta murid membuat kalimat sebanyak mungkin memakai kata-kata tersebut. Murid-murid diharuskan membuat berbagai kalimat yang berbeda dengan konteks yang berbeda pula.
BACA JUGA:
- Duh, Tagar Sperma, Banjir hingga Hamil Berisi Nyinyiran pada KPAI
- 90 Pelajar SMP Se-Jabodetabek Menggambar “Wanita” di Museum Basoeki Abdullah
- Dari Tahun ke Tahun Pedagang Bunga Valentine Mengeluh Pendapatan Merosot
- Citraloka Nusantara: Ekspresi Estetika Postmodernisme Milenial
Upaya yang lebih serius untuk merevitalisasi perbendaharaan kata, ialah dengan membuat daftar kata-kata ‘mati suri.’ Masing-masing penulis mungkin akan memiliki daftar yang berbeda tentang hal ini. Ada banyak kata yang kita kenali dengan baik, namun sangat jarang kita pergunakan. Kata-kata yang demikian ini, pada gilirannya dapat diberdayakan dengan cara menggunakannya dalam percakapan maupun tulisan. Pengenalan yang lebih seksama akan kata, akan memudahkan penggunaannya dalam berbagai konteks yang berbeda.
Revitalisasi kata yang mati suri bisa juga berarti ‘mengistirahatkan’ kata-kata yang sudah ‘aus’ karena terlalu banyak dipakai dan menggatikannya dengan kata-kata yang mati suri. Bagi seorang penulis, hal ini dapat dilakukan dengan meneliti ulang tulisan-tulisannya dan mengenali kata-kata mana saja yang dapat dikategorikan sudah aus atau overused. Kata-kata yang sudah usang tersebut kerap kali memiliki padanan kata yang banyak, tetapi selama ini tersembunyi di sudut perbendaharaan kata dan dibiarkan menganggur.
* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.
Leave a Reply