
“Jika Anda ingin menikmati suasana menakjubkan seperti di kota Gudeg, Yogyakarta dan kota-kota lain di Indonesia, dimana kita akan selalu dihadapkan pada rombongan para pengayuh sepeda pancal yang bergerak dari arah tertentu pada pagi hari dan atau pada sore hari, datanglah ke Kota Muenster di Jerman“
MUENSTER, KalderaNews.com – Setelah turun dari kereta, keluar dari stasiun Muenster (Westfalen) dan menyeberangi jalan raya, kita akan langsung dihadapkan pada pemandangan jejalan sepeda yang diparkir di samping zona pejalan kaki dan zona sepeda pancal dengan teratur.
Dalam sekejab saja kita akan segera dihadapkan pada kesibukan puluhan orang yang sedang memarkirkan sepeda mereka dan bahkan ada juga yang sedang mengambil sepeda mereka dan kemudian melanjutkan perjalanan. Selanjutnya baru beberapa detik saja berjalan, kita pasti akan selalu berpapasan dengan para pengayuh sepeda pancal.
BACA JUGA:
- Menyusuri Adat Kelola Hutan Bersama Dayak Iban di Betang Sungai Utik
- Yuk Melihat Keramik yang Ciamik Keluar dari Perut Naga!
- Melongok Toa Pe Kong Singkawang, Perekat Aneka Sekat
- Pulau Penida “Pencuri” Traveler dari Seluruh Dunia
- Debur dan Sepoi di Gubuk-gubuk Mungil Pantai Jatimalang Purworejo
- Owabong: Wahana Pesta Air Alami di Purbalingga
Kota Muenster di Jerman (dalam bahasa dialek Moenster) terletak kira-kira 65 km dari kota Enschede yang masuk wilayah negera Belanda dan dikelilingi beberapa kota yang masuk wilayah negara Jerman. Muenster jaraknya kira-kira 44 km dari kota Osnabrueck, 61 km dari kota Dortmund dan kira-kira 62 km dari kota Bielefeld. Sejak tahun 1915 Muenster secara resmi mendapat julukan kota besar atau kota metropolitan.
Warga kota Metropolitan ini lebih dari 270.000 orang dan 9% nya adalah orang asing. Pada semester musim dingin 2007/2008 silam saja telah tercatat di Universitas Westfaelische Wilhelms (WWU) sebanyak lebih dari 42.000 mahasiswa yang terbagi di 130 fakultas.

Muenster termasyur di berbagai negara di dunia tidak hanya karena keindahan panorama kota tua yang sangat menawan, tetapi juga karena julukan kota sepeda. Sementara di kota Gudeg, Yogyakarta, kita sering melihat rombongan simbok-simbok, bapak-bapak dan kaum muda yang pagi-pagi ramai-ramai naik sepeda untuk bekerja dan pada sore hari secara bergerombol pula pulang kerja naik sepeda pancal, di kota metropolitan Muenster kita akan menyaksikan rombongan kaum muda yang ramai-ramai berangkat ke kampus atau bekerja dengan memancal sepeda kayuh. Pemandangan yang selalu mengajak untuk mengenang Yogyakarta.

Di dalam kota Muenster sendiri telah dibuat jalur khusus hanya untuk lalu lintas sepeda yang menghubungkan satu tempat dan tempat yang lainnya dengan pusat parkir sepeda di dekat stasiun kereta (Bahnhof) dengan nama Radstation Muenster. Setiap harinya diperkirakan 40% dari 1,3 milyar sepeda melintasi jalur lalu lintas sepeda ini, belum lagi pada musim panas yang biasanya akan lebih banyak lagi.
Di dalam kota Muenster banyak gang yang memang hanya diperuntukkan untuk para pejalan dan para pemancal sepeda. Di gang-gang seperti di Prinzipalmarkt, Roggenmarkt, Salzstrasse, Ludgeristrasse dan gang lainnya yang masuk dalam zona pusat kota adalah zona pejalan kaki dan zona sepeda pancal. Yang datang dengan mobil jangan berharap bisa menikmati tempat-tempat tersebut dari dalam mobil. Semua wajib berjalan kaki atau naik sepeda.
Perpaduan Harmonis Seni Arsitektur Kuno dan Modern
Dengan bersepeda mengelilingi kota tua Muenster, kita akan menikmati tidak hanya keberadaan bangunan-bangunan menarik dan menakjubkan dengan seni arsitektur kuno, tetapi juga seni arsitektur modern. Sebuah paduan harmonis seni arsitektur yang memadukan seni arsitektur kuno dan modern dalam satu bingkai panorama kota yang tetap saja disebut kota tua.

Bangunan Sinagoga orang Yahudi adalah bangunan kuno tempat sembahyang orang Yahudi yang terletak di Jalan Kloster (Klosterstrasse). Menurut sejarah, sudah sejak abad XII umat Yahudi berada di Muenster. Pada masa pembantaian kaum Yahudi di Eropa “schwarzen Todes” (1350), banyak umat Yahudi di Muenster menjadi korban.
Baru awal abad XIX, tepatnya 1811, sebuah makam orang Yahudi dibangun di Muenster. Pada tahun 1830 berdiri kokoh bangunan pertama Sinagoga yang sampai tahun 1970 memiliki 400 jemaat. Pada tanggal 27/28 Agustus 1880 sebuah bangunan Sinagoga yang lebih megah didirikan. Tujuan pendirikan bangunan megah tersebut yaitu keinginan jemaat Yahudi menjalin hubungan baik dengan pejabat dan petinggi kota waktu itu dan partisipasi pembangunan kota.
Semasa muncul gerakan nasional-sosialisme di Jerman yang ingin membabat habis kaum Yahudi, banyak jemaat Yahudi di Muenster yang menjadi korban. Sebanyak 298 orang Yahudi di kirim ke kamp konsentrasi dan hanya 24 orang yang berhasil melarikan diri dan selamat dari kekejaman waktu itu.
Di dalam kota dapat dinikmati bangunan-bangunan dengan daya kreasi dan estetika yang menukik peninggalan para seniman dan perancang kota abad XII dan setelah Perang Dunia II.

Bangunan Kastel Muenster yang berdiri kokoh dibangun pertama kali pada tahun 1780 dan sejak 1980 menjadi pusat Universitas Muenster, Prinzipalmarkt dengan Lambertikirchenya, Istana Koenigsegg-Rothenfels (1769-1787), Rueschhaus (1767-1773), Erbdrostenhof (1775), Bangunan yang berada di sekitar Promenade hasil karya arsitek Johann Conrad Schlaun semasa tahun 1732-1734 yang hingga abad XIX dijadikan sebagai penjara.
Di samping itu masih banyak lagi bangunan menarik seperti gereja-gereja yang kokoh berdiri: Katedral St. Paulus yang dibangun pada tahun 809, hancur pada saat Perang Dunia II dan dibangun kembali pada abad XX, Gereja Lambertkirche (1375), Gereja St. Aegidii dibangun dalam beberapa tahun (1724-1728), Gereja St. Joseph (1905) yang dibangun dengan mengedepankan gaya neo-gotik, Gereja Hl. Geist yang lebih bercorak sederhana dengan material bagunan biasa seperti pembuatan rumah warga kota pada umumnya, Gereja Apostel yaitu gereja bergaya gotik murni dan tentu saja masih banyak lagi bagunan gereja lainnya.

Pada sudut lain kota Muenster kita akan mendapati juga bangunan-bangunan lain yang hadir dengan kekhasan seni arsitekturnya, seperti: Archaeologische Museum (1883), Museum Kota di Salzhof yang didirikan sejak tahun 1979 yang menghadirkan di dalamnya sejarah kota Muenster dari tahun 793 hingga hari ini, Museum Grafik Pablo Picasso dengan bangunan yang menawan dan masih banyak lagi museum lainnya.
Keluar dari Pusat Kota
Dengan ditemani seorang rekan jurnalis asal Sumatra Utara, perjalanan KalderaNews lanjut ke sisi lain kota Muenster yaitu menuju Danau Aasee. Di danau kecil ini kita dapat menikmati panorama danau dengan perahu layar yang dengan gemulai terombang-ambing oleh angin. Di pinggir Danau Aasee ini masih saja kita temui para pengayuh sepeda karena memang rute zona sepeda dibangun sampai di tempat ini.

Danau Aasee adalah tempat yang mengasyikkan untuk rekreasi keluarga, tapi jangan heran kalau tiba-tiba saja datang orang-orang yang tidak dikenal menawarkan heroin dan pil ekstasi, demikian kata rekan saya yang telah mengalaminya.
Memang tidak mengherankan, di sudut tertentu danau ini terlihat beberapa kelompok orang-orang yang hidupnya di jalanan (Obdachlosen) dan bisa jadi pengedar dan pemakai barang-barang tersebut.

Beberapa saat kemudian tibalah kami di sebuah komplek pemakaman kota Muenster yang lebih tampak seperti taman saja. Kebanyakan kuburan di Jerman diatur dengan rapi sehingga tidak tampak angker. Justru di komplek pekuburan kita bisa menikmati taman yang indah.

Banyak orang Jerman yang suka meluangkan waktu untuk jalan-jalan santai di komplek pekuburan pada waktu senggang. Komplek makam yang kalau di kebanyakan tempat di Indonesia tampak angker, di Jerman justru menjadi tempat yang teduh, asri dan nyaman untuk rekreasi atau jalan-jalan santai.

Kebanyakan komplek pekuburan di Jerman dilengkapi gang-gang yang teratur dan rapi. Keadaan ini menambah kesejukan pemandangan sehingga kami pun ingin berlama-lama di komplek pekuburan.
Kota Ramah Lingkungan
Menikmati Muenster adalah menikmati tata ruang kota yang menakjubkan. Tidak mengherankan jika pada akhir tahun 2004, kota Muenster memperoleh penghargaan LivCom-Award 2004 di Niagara (Kanada) dari United Nations Environment Programme (UNEP) dan International Federation of Park and Recreation Administration (IFRA) sebagai satu-satunya kota di dunia yang paling ramah lingkungan dan menjadi contoh bagi banyak negara yang ingin mengedepankan pembangunan kota dengan mempertimbangkan lingkungan setempat, lingkungan kota yang layak untuk hidup manusia dengan atmosfer lingkungan yang sehat dan nyaman.

Banyak para perancang tata kota dari berbagai negara sengaja datang ke Muenster untuk menikmati dan mempelajari keindahan dan kenyamanan tata ruang dan tata kota Muenster.

Menikmati Muenster, sepertinya sedang menelusuri kota Kota Sepeda, seperti Kota Gudeg, Yogyakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Bedanya, di Muenster kita akan merasa sungguh nyaman karena tata ruang kota yang rapi dan mengedepankan kesehatan manusia dan lingkungan.
Kesan semrawut tidak akan terlintas di pikiran kita, jika kita sudah berkeliling sepeda di Kota Muenster. Sejenak kita bisa menoleh ke Muenster untuk belajar mendalami tata ruang kota yang sehat dan ramah lingkungan. (JS)
* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu
Leave a Reply