Karut-Marut Lambannya Rehabilitasi Ruang Kelas yang Rusak di Sejumlah Daerah

Sharing for Empowerment


JAKARTA, KalderaNews.com – Meski setiap tahunnya Pemerintah Pusat maupun Daerah telah mengalokasikan anggaran untuk rehabilitasi ruang kelas rusak dan memenuhi kebutuhan kurang ruang kelas melalui pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB), perkembangan penyelesaian persoalan tersebut berjalan sangat lambat. Pada tahun 2017, persentase jumlah ruang kelas SD yang rusak sedang dan berat masih 17,41%, hanya turun 1,18% dari tahun 2016.

Manager Program YAPPIKA-ActionAid Hendrik Rosdinar pada KalderaNews menyampaikan riset YAPPIKA-ActionAid bersama dengan KOPEL, Pattiro Banten, dan Bengkel APPeK di Kabupaten Bogor, Serang, dan Kupang (2017) menemukan sejumlah titik rawan dan persoalan dalam tata kelola rehabilitasi ruang kelas dan pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) yang menghambat upaya pemenuhan hak anak atas ruang kelas yang aman dan layak sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal dan Standar Nasional Pendidikan.

Riset YAPPIKA-ActionAid bersama mitra kerjanya menemukan persoalan di baliknya mulai tidak adanya pengaturan khusus terkait rehabilitasi ruang kelas dan pembangunan RKB di tingkat daerah, adanya calo karena perencanaan yang sebagian besar masih berbasis proposal, belum optimalnya pemanfaatan LAPOR-SP4N, belum optimalnya pemanfaatan LAPOR-SP4N sebagai ruang pengusulan atau pengaduan yang transparan, adanya indikasi pengaruh faktor lobi atau kedekatan dan inkonsistensi penggunaan kriteria dalam penentuan daftar prioritas sekolah penerima bantuan. Tak hanya itu saja, mereka juga menemukan persoalan sulitnya melakukan pengawasan dan kurang baiknya hasil pekerjaan jika pelaksanaan pekerjaan dilakukan oleh kontraktor dan ketidaksesuaian data dalam sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik).

Untuk persoalan terakhir, YAPPIKA-ActionAid bersama mitra secara khusus juga melakukan survei terhadap akurasi data dalam sistem Dapodik di Kabupaten Bogor, Serang, dan Kupang (2017). Pada data jumlah ruang kelas dengan kondisi baik, rusak ringan, rusak sedang, dan rusak berat saja tingkat ketidaksesuaiannya secara berturut-turut adalah 34%, 39%, 16%, dan 15%. 

Karena Dapodik masih menjadi basis data utama untuk menyusun daftar prioritas sekolah penerima bantuan maka akan ada potensi sekolah yang sebenarnya membutuhkan bantuan tetapi kemudian terlewat (exclusion error) karena mereka salah atau gagal memutakhirkan data dalam sistem Dapodik. Karena faktor penyebab utama yang ditemukan oleh survei Dapodik justru adalah faktor supply seperti ketersediaan atau kestabilan jaringan internet, kestabilan aplikasi dan server Dapodik serta ketersediaan ataukestabilan jaringan listrik. (JS)

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*