6 Kasus Penerimaan Peserta Didik Baru 2018

Sharing for Empowerment

3. Pungli dan jual beli kursi
Pungli dan jual beli kursi dapat dilakukan selama proses berlangsung sebelum pengumuman dan masuk sekolah. Bisa dilakukan sebelum mendaftar, saat pendaftaran awal, dan saat proses daftar ulang. Di salah satu SDN di Gresik misalnya pungli dengan alasan bantuan perbaikan fasilitas sekolah. di daerah lain, ada juga dengan berbagai alasan berbeda, seperti biaya LKS, seragam, buku, dan lain-lain. Padahal pungutan seperti ini sudah jelas dilarang dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang larangan sekolah menyediakan atau menjual peralatan sekolah, baik itu seragam, buku dan lain-lain. Sedangkan jual beli kursi, dilakukan dengan dua model sistem pendaftaran: dalam daring (online) dan luar daring (offline). jika tak terpenuhi melalui online, bisa ditempuh dengan jalur offline, di situlah angka bisa dipasang. Padahal, berdasarkan Permendikbud No.14 Tahun 2018 tentang PPDB jelas harus menggunakan salah satu sistem, bukan dua-duanya digunakan.

4. Tes calistung dan psikotes di Madrasah

Bukan di sekolah, tapi kejadian ini di Madrasah Ibtidaiyah (setingkat dengan SD). Peraturan ini dianggap oleh masyarakat sangat membingungkan karena di SD, siswa bisa langsung masuk sekolah. Tapi, madrasah punya kebijakan yang aneh karena semua calon siswa harus mengikuti tes psikotes, ada juga yang dua-duanya: calistung dan psikotes. Kebijakan ini banyak dikeluhkan oleh orang tua, karena tidak mendorong akses, tapi membebani anak kali pertama bersekolah dengan berbagai tes yang membingungkan dan tidak penting itu. Tahun lalu sudah banyak diprotes, tapi tahun ini dalam Keputusan Dirjen Pendidikan Islam No. 481 Tahun 2018 tentang PPDB, aturan ini masih dilegalkan.

5. Tidak ada kuota afirmasi untuk anak berkebutuhan khusus

Kendala akses yang masih terjadi hingga hari ini adalah kesempatan sekolah bagi kelompok yang tereksklusi. Di antara mereka adalah anak-anak yang berkebutuhan khusus. Banyak orang tua dari ABK enggan bersekolah di sekolah selain SLB (Sekolah Luar Biasa), karena tidak ada komitmen dari pihak sekolah. Mereka juga menyesalkan, Permendikbud No.14 Tahun 2018 tentang PPDB tidak memberikan kuota afirmasi bagi kelompok difabel. Dalam konteks ini, aturan madrasah di bawah kemenag lebih ramah terhadap difabel. Keputusan Dirjen Pendidikan Islam No. 481 Tahun 2018 memberikan kuota minimal 10% bagi anak berkebutuhan khusus.

6. Tidak ada acuan tarif pendaftaran jenjang SMA/SMK

Ini bedanya PPDB tahun kemarin dengan tahun ini. Tahun kemarin semua jenjang harus gratis dan diatur dalam permendikbud. Tahun ini berbeda, dan menurut saya sebuah kemunduran, karena permendikbud No.14 tahun 2018 membolehkan pihak sekolah SMA/SMK untuk pasang tarif saat pendaftara. Akibatnya, tarif tidak terkontrol dan pihak sekolah bebas menentukan. Korbannya adalah orang tua yang tidak siap untuk membayar. Ini kebijakan aneh, karena kita tahu bahwa problem akses sekolah yang masih rendah adalah jenjang SMA/SMK. Dengan adanya kebijakan ini bukan malah meningkatkan akses wajib belajar 12 tahun, tapi melah merontokkan akses. (JS)




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*