Mahasiswa Indonesia Bingung Hadapi Kemungkinan Deportasi Oleh Aturan Baru Imigrasi AS

Kampus University of Illinois Urbana-Champaign (E. Jason Wambsgans/Chicago Tribune/Tribune News)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com — Sama seperti sebagian besar mahasiswa asing di Amerika Serikat, sejumlah mahasiswa Indonesia di Negara Paman Sam mengungkapkan ketidaknyamanan atas kebijakan baru Customs and Immigration Enforcemet (ICE).

Dalam kebijakan baru yang diumumkan pada hari Senin (06/07), disebutkan bahwa mahasiswa internasional yang hanya mengambil program kuliah online, tidak akan diberikan visa dan harus meninggalkan negara tersebut, bila tidak mengalihkan perkuliahannya ke kuliah tatap muka.

Kebijakan baru yang tiba-tiba ini membuat sejumlah mahasiswa Indonesia di sana harus berjuang keras mengubah rencana. Ada juga yang bingung karena keputusan akan menjalankan kuliah tatap muka atau tidak, berada di luar kendali mahasiswa.

Jadha Gunawan, salah seorang mahasiswa Indonesia di AS, menghadapi masalah seperti ini. Ia belum tahu bagaimana perkuliahannya di A&M University Texas akan dilangsungkan semester depan.

BACA JUGA:

Seperti kebanyakan perguruan tinggi, kampusnya menawarkan perkuliahan hibrid, yaitu campuran perkuliahan kuliah tatap muka dan kuliah daring. Ini dimaksudkan untuk membantu menghentikan penyebaran COVID-19.

Tetapi karena dua program kuliah yang akan diambilnya untuk program magister Teknik Mesin hanya dijalankan secara daring, ia kemungkinan tidak akan dapat tetap berada di AS, bila mengikuti aturan baru pemerintah AS.

Aturan yang dikeluarkan ICE itu mengharuskan para pemegang visa pelajar di AS menghadiri setidaknya beberapa perkuliahan tatap langsung. Perkuliahan yang serba daring dapat memaksa Jadha Gunawan meninggalkan negara itu.

Seandainya pun perkuliahan berlangsung tatap muka, bila di tengah jalan harus diubah menjadi kuliah daring karena pandemi COVID-19 — seperti yang terjadi pada bulan Maret lalu — mahasiswa internasional juga terancam harus meninggalkan AS.

Itu membuat mahasiswa internasional seperti Jadha Gunawan dan pejabat universitas di seluruh AS berjuang untuk menyesuaikan jadwal, mengkonfigurasi ulang rencana perkuliahan, dan menyusun berbagai rencana cadangan untuk dapat mengadakan perubahan selama waktu yang tidak terduga.

“Kami perlu membuat tidak hanya rencana A, tetapi rencana B sampai Z,” kata Jadha Gunawan, dikutip dari dallasnews.com.

“Ini tamparan bagi kami. Kami sudah menghabiskan begitu banyak uang hanya untuk kuliah di sini. Kami sudah harus membayar dua hingga tiga kali biaya kuliah normal hanya untuk melakukan ini,… mereka hanya akan mengirim kami semua pulang. “

Nirhan Nurjadin, mahasiswa Bowdoin College, menghadapi kebingungan yang sama. Bulan lalu kampusnya mengumumkan bahwa hampir semua mata kuliah akan diajarkan secara daring pada semster depan. Itu sebabnya sebagian besar mahasiswa memutuskan tidak akan kembali ke kampus demi mencegah penularan COVID-19.

Namun, peraturan baru keimigrasian pemerintah AS telah menambah kebingungan pada Nurjadin dan mahasiswa internasional lainnya. Aturan baru imigrasi tersebut meningkatkan ketidakpastian bagi 140 mahasiswa internasional yang terdaftar di kampus itu.

“Kami semua benar-benar prihatin,” kata Nurjadin, yang menjabat sebagai presiden dari Asosiasi Mahasiswa Internasional di Bowdoin.

“Ini adalah situasi yang sangat, sangat disayangkan bagi kami untuk tidak dapat tinggal di AS. Saya tahu banyak mahasiswa internasional yang mencoba untuk kembali atau sudah ada di sini dan mencoba untuk tinggal di dalam atau di luar kampus atau dengan teman-teman,” kata dia kepada pressherald.com.

“Ini sangat mengecewakan dan membingungkan,” kata Nay, yang tidak ingin menggunakan nama belakangnya, kepada Yahoo Finance. Mahasiswa asal Indonesia di University of Illinois di Chicago itu kuliah di AS sejak 2017. Pengumuman kebijakan keimigrasian pada hari Senin lalu itu membuatnya khawatir.

“Kami semua sangat takut karena ada beberapa hal yang tidak mungkin saya bawa jika harus kembali pulang (ke Indonesia, Red), – seperti pekerjaan, saya pasti akan kehilangan pekerjaan itu jika saya harus kembali ke Indonesia,” kata dia .

Selain itu perbedaan waktu 12 jam antara Indonesia dan AS membutuhkan perjuangan ekstra bila harus mengikuti kuliah online dari Indonesia.

Bagi kalangan universitas di AS, kebijakan baru ini dipandang sebagai pukulan kesekian bagi industri pendidikan di negara itu yang telah babak belur oleh pandemi COVID-19.

“Lihat, pendidikan tinggi mengalami pukulan dari berbagai sisi sekarang ini,” kata Jeff Brown, dekan Gies College at the University of Illinois, kepada Yahoo Finance.

“Kami menghadapi dukungan yang terus menurun dari pemerintah dalam beberapa dekade, dan sekarang kami menghadapi resesi ekonomi, yang mempengaruhi kemampuan dan kesediaan para donor… Sejujurnya, kebijakan ini tidak membantu, ini seolah-olah pembiaran agar kami jatuh,” kata dia.

Dia menambahkan, kebijakan keimigrasian ini bukan hanya tidak baik bagi pendidikan, tetapi juga bagi perekonomian AS dalam jangka panjang.

Menurut perkiraan Kementerian Perdagangan AS, mahasiswa internasional menyumbang US$45 miliar sepanjang tahun 2017/2018 kepada perekonomian AS. Kontribusi bidang ini berada di urutan kelima di antara jasa ekspor, dan menciptakan 455 ribu lapangan kerja,

“Kebijakan ini tidak masuk akal,” kata Brendan Cantwell, associate professor Michigan State University. “Bisa dikatakan kebijakan ini seolah-olah disengaja untuk menciptakan ketidakpastian dan ketakutan,” kata dia.

Disamping menciptakan kebingungan, kata dia, kebijakan ini juga memberi beban administrasi yang luar biasa bagi universitas. Sebab, mereka harus melakukan verifikasi atas tiap mahasiswa.

“Kebijakan ini terkesan tidak fleksibel,” kata dia.

Ada sekitar 1,1 juta mahasiswa asing di seluruh perguruan tinggi AS, menurut data tahun 2018, atau sekitar 5,5 persen dari 19,8 juta total jumlah mahasiswa.

Sebagian universitas mengungkapkan sikap resmi yang moderat. Presiden Bowdoin College, Clayton Rose, dalam sebuah surat-e mengatakan aturan baru itu akan mempengaruhi mahasiswa di seluruh AS, termasuk di Bowdoin, dan bahwa pihaknya masih bekerja untuk memahami aturan baru tersebut. Dia mengatakan pihaknya akan memberi informasi terbaru kepada mahasiswa internasional dan mengumumkan rencana menghadapi kebijakan tersebut.

Namun, Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology pada hari Rabu menggugat pemerintahan Trump atas kebijakan baru ini.

Harvard mengumumkan awal minggu ini bahwa semua perkuliahan mereka akan dijalankan secara online, termasuk untuk siswa yang tinggal di kampus. Dalam pernyataan yang diberikan kepada CNN, Harvard mengatakan kebijakan baru pemerintah AS akan memengaruhi sekitar 5.000 mahasiswa internasional.

“Perintah itu diturunkan tanpa pemberitahuan – kekejamannya hanya dilampaui oleh kecerobohannya. Tampaknya itu dirancang dengan sengaja untuk memberikan tekanan pada perguruan tinggi dan universitas untuk membuka ruang kelas di kampus mereka bagi perkuliahan tatap muka pada musim gugur ini, tanpa memperhatikan kekhawatiran akan kesehatan dan keselamatan mahasiswa, instruktur, dan lainnya, “kata Presiden Harvard University, Larry Bacow, dikutip dari CNN.

Sementara itu, mahasiswa asal Indonesia, Nurjadin, berusaha untuk mengikuti aturan baru itu walaupun diliputi kebingungan. Ia mengatakan dia sedang berusaha untuk diizinkan kembali ke kampus musim gugur ini.

Sebab, bila harus meninggalkan AS, Nurjadin merasa lebih berat, karena kuliah online dari Indonesia berarti perbedaan waktu hampir 12 jam. Juga akan lebih sulit untuk mencari pekerjaan di AS.


* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*