Kaos Seken Nona Johnson, Cerita Keren dari Universitas Stetson

Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.
Sharing for Empowerment

Oleh Eben E. Siadari *

JAKARTA, KalderaNews.com — Berapa banyak kaos seken yang kamu punya? Maksud saya, kaos pemberian orang, entah karena kamu memintanya, atau kaos itu memang diberikan kepadamu, mungkin sebagai cinderamata.

Salah satu jenis kaos yang sering dijadikan cinderamata — entah seken atau baru — adalah kaos berlogo, bergambar atau bertuliskan almamater. Banyak mahasiswa bangga memiliki kaos demikian. Mereka bahkan kerap saling bertukar kaos almamater. Ada juga yang menjadi kolektornya. Mirip-mirip dengan para kolektor jersey kesebelasan sepak bola.

Kaos almamater selalu memiliki kenangan bagi yang merasakan kampus sebagai habitatnya. Setiap kali melihat kaos semacam itu, memicu memori tertentu. Memori itu bahkan bisa memotivasi untuk melakukan sesuatu. Barangkali  terdorong oleh nilai-nilai luhur yang didapatkan di almamater yang logo atau meme-nya terpatri pada kaos.

Kisah berikut ini sebagai contoh. Tentang seorang gadis bernama Autumn Hope Johnson asal Florida, AS.

Masa kecilnya tidak dapat dikatakan indah.  Resesi ekonomi di AS tahun 2008 membuat ia menjadi satu dari 16 juta anak-anak di AS yang hidup dalam kemiskinan.

BACA JUGA:

Ibunya sudah lama meninggal. Ayahnya bangkrut dan menjual rumah mereka untuk membeli sebuah truk pengangkut barang. Mereka kemudian tinggal di dalam truk itu secara berpindah-pindah.

Tahun 2011, televisi CBS mengangkat liputan untuk memotret kehidupan para tunawisma di AS. Scott Pelley, wartawan di stasiun televisi itu, mewawancarai Autumn dan adiknya untuk acara CBS This Morning. Saat itu umur Autumn 15 tahun.

Autumn Hope Johnson dengan kaos seken Universitas Stetson (stetson.edu)

Wawancara itu berlangsung di pinggir jalan, di depan truk yang menjadi tempat tinggal mereka. Lalu dilanjutkan dengan pengambilan gambar di dalam truk untuk menunjukkan bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari.

Acara itu ditayangkan pada November 2011. Dan banyak hal baik terjadi sesudah itu.

Beberapa menit setelah kisah mereka ditayangkan, orang-orang di sekitar lingkungan mereka mangkal menelepon dan datang menawarkan bantuan. Mereka terkesan dengan penampilan Autumn, yang berbicara apa adanya dan jauh lebih dewasa dan bijak dari usianya.

Salah seorang yang tergerak datang membantu adalah Presiden Universitas Stetson, Wendy B. Libby. Ia menonton acara televisi tersebut dan perhatiannya tertuju pada kaos yang dikenakan Autumn: kaos seken bertuliskan Universitas Stetson. Ini mendorongnya untuk ingin mengenal Autumn lebih jauh.

Wendy kemudian mendatangi Autumn. Setelah bercakap-cakap dan mengetahui masalahnya, ia menawarkan beasiswa penuh untuk kuliah di Universitas Stetson kepada Autumn. Hanya satu syaratnya, Autumn menyelesaikan pendidikan SMA-nya dengan nilai yang baik.

“Sejujurnya, itu mengubah hidup saya,” kata Autumn, mengenang peristiwa itu.

Dia sama sekali tidak menduga bahwa kaos seken itu dapat mengubah nasibnya. Kaos itu  dia peroleh di sebuah kegiatan amal untuk tunawisma yang diselenggarakan oleh gereja di Sanford Civic Center di samping Danau Monroe.

Autumn masih ingat, dalam kegiatan amal itu, gereja mengeluarkan setumpuk pakaian bekas, yang boleh diambil secara cuma-cuma. Dalam satu tumpukan, Autumn melihat kaus Universitas Stetson berwarna hijau dan abu-abu.

“Aku menemukannya,” kenangnya, “bersama dengan kaos Yale, di bagian bawah tumpukan pakaian.” Kaos Yale terlalu kecil. Tapi kaos Stetson adalah ukuran yang tepat dan warna favoritnya: hijau. “Saya segera menyukainya,” kata Autumn, dikutip dari situs resmi Universitas Stetson.

 Mendapat beasiswa penuh adalah satu hal, berjuang untuk hidup adalah hal lain lagi. Langkah Autumn tidak langsung mulus untuk menjadi mahasiswa. Setelah kisah hidupnya ditayangkan di televisi, Autumn harus berpindah tumpangan dari satu keluarga ke keluarga lain dan berakhir di panti asuhan.

Di panti asuhan itu, sebuah keluarga menemuinya dan menawarkan adopsi untukAutumn dan adiknya. Awal kehidupan baru  bagi Autumn. Termasuk dengan mengubah namanya dari dari Arielle Metzger menjadi Autumn Hope Johnson.

Ini mengangkat semangatnya. Pada tahun 2016, ia mulai kuliah di Universitas Stetson dan  mengambil jurusan utama Sosiologi dan jurusan minor ilmu-ilmu agama.

Dia menyadari bahwa namanya sudah banyak menjadi pembicaraan. Namun ia memilih untuk tidak terlalu tampil menonjol. Ia berfokus pada studinya. Atau lebih tepatnya, menenggelamkan diri dalam kegiatan kuliahnya.

Namun, perkenalannya dengan Profesor Rajni Shankar-Brown di kampusnya, membawa tahapan baru pada kehidupannya. Shankar-Brown adalah pakar kemiskinan dan tunawisma terkemuka dan anggota dari  National Coalition for the Homeless. Ia juga merupakan pendiri dari  Stetson’s Poverty and Homelessness Conference.

Profesor Shankar kemudian menjadi pembimbing Autumn, dan memotivasi kepercayaan dirinya.  Pada tahun 2019, Profesor Shankar meyakinkan Autumn untuk berani tampil berbicara pada konferensi tentang tunawisma dan kemiskinan. Lebih jauh, Autumn pun terlibat dan menjadi aktivis menolong para tunawisma dan anak-anak miskin.

“hidup saya telah berubah secara drastis. Saya bukan lagi  gadis tunawisma penuh jerawat  yang terhilang, yang Anda lihat di video,” kata Autumn, ketika berpidato dalam konferensi tentang tunawisma, di Universitas Stetson.

“Sekarang, saya memiliki identitas baru, secara literal dan spiritual. Saya tidak akan berada di sini bila bukan karena kemurahan Tuhan dan orang-orang seperti Anda, yang berjuang untuk menyelamatkan yang patah dan terluka,” kata Autumn.

Tahun ini, persisnya di bulan Mei lalu, Autumn menyelesaikan studi S1-nya dan ia menjadi salah satu lulusan dengan nilai terbaik di Universitas Stetson. Ia  masih menyimpan cita-cita masa kecilnya, yaitu menjadi pembela hak anak-anak. Oleh karena itu ia berencana melanjutkan studi S2-nya di bidang hukum.

Kaos sekennya sampai kini juga masih ia simpan. Sebuah simbol bekerjanya kepedulian dan kemanusiaan.

* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan. Buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), The Beautiful Sarimatondang (2020), Perempuan-perempuan Batak yang Perkasa (2020) dan Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (2020).

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*