Menilik Setahun Program Pembangunan SDM Unggul Jokowi-Ma’aruf

Pemerhati dan Praktisi Edukasi 4.0, Direktur Eksekutif CERDAS (Center for Education Regulations & Development Analysis) dan Direktur Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji
Pemerhati dan Praktisi Edukasi 4.0, Direktur Eksekutif CERDAS (Center for Education Regulations & Development Analysis) dan Direktur Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji (KalderaNews/Dok. Pribadi)
Sharing for Empowerment

Oleh: Indra Charismiadji *

JAKARTA, KalderaNews.com – Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah acara Talk Show televisi yang telah beberapa kali memenangkan penghargaan Panasonic Globel Awards, saya diminta sebagai salah satu narasumber untuk memberikan pandangan tentang program-program pendidikan di Indonesia selama ini.

Saya mengatakan bahwa problem terbesar dari sistem pendidikan Indonesia adalah tidak pernah adanya evaluasi dan tidak pernah memiliki cetak biru (blueprint)/grand design/peta jalan (road map). Memang saat ini Kemendikbud telah menyusun sebuah peta jalan pendidikan Indonesia tetapi sayangnya peta jalannya cukup membingungkan.

Saya sampaikan bahwa membuat peta jalan itu harusnya belajar dari pengemudi Gojek. Peta jalan di aplikasi Gojek itu selalu dimulai dari dimana titik penjemputan, kemana titik tujuan, dan berapa biaya yang dibutuhkan.

Ketidakjelasan Peta Jalan Kemendikbud

Peta jalan yang telah dibuat oleh Kemendikbud tidak ada kejelasan dimana titik mulai program, seperti apa target yang akan dicapai, dan berapa biaya yang dibutuhkan agar tujuan tersebut tercapai secara spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, realistis, dan ada batasan waktu. Kalau mau belajar dari sekolah bisnis di Universitas Harvard, konsep ini dikenal dengan istilah SMART goals: specific, measurable, attainable, realistic, time-bound.

Jika mau belajar konsep perencanaan yang paling baru dalam membuat perencanaan, sekolah bisnis di Universitas Harvard mempopulerkan istilah FAST goals: frequent discussions; ambitious in scope; measured by specific metrics and milestones; and transparent for everyone in the organization to see.

Tujuan harus sering didiskusikan termasuk kepada publik karena urusan pemerintah adalah urusan publik, tujuan harus mencakup ambisi-ambisi yang tinggi, tujuan harus dapat diukur dengan alat ukur yang akurat dan dijadikan tonggak sejarah, serta tujuan harus transparan untuk seluruh pemangku kepentingan.

Titik Jemput Pembangunan SDM

Satu tahun yang lalu, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’aruf Amin mengumumkan bahwa prioritas pembangunan di masa kepemerintahan mereka adalah di pembangunan SDM unggul. Apa yang dimaksud dengan unggul? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, unggul artinya lebih tinggi (pandai, baik, cakap, kuat, awet, dan sebagainya) daripada yang lain-lain; utama (terbaik, terutama). Artinya SDM Indonesia harus lebih pandai atau lebih cakap dari bangsa-bangsa lain.

Program ini menurut saya adalah program yang sangat tepat karena harus diakui bahwa saat ini bangsa Indonesia belumlah menjadi bangsa yang unggul dibandingkan dengan bangsa lain. Salah satu alat ukur yang dapat kita gunakan untuk membuktikan hal tersebut adalah dari skor PISA (Programme for International Student Assessment).

PISA adalah studi internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa sekolah berusia 15 tahun yang menjadi patokan dunia pendidikan internasional.

Sejak PISA pertama kali diluncurkan di tahun 2000, Indonesia belum pernah sekali pun menunjukkan keunggulannya. Pada PISA tahun 2018 yang lalu, untuk literasi Indonesia mendapatkan skor 371 sedangkan rerata negara-negara OECD mendapatkan skor 487. Indonesia mendapatkan skor 379 untuk numerasi dibandingkan rerata negara-negara OECD di 489.

Dan untuk sains Indonesia mendapatkan skor 396 sedangkan rerata negara-negara OECD di 489. Kondisi saat ini SDM Indonesia jauh dari kata unggul karena berada jauh dibawah rata-rata negara lain.

Data yang lebih detil lagi bisa dilihat perbandingan antara peserta didik dari Indonesia dibandingkan dengan Vietnam dan rerata negara-negara OECD untuk urusan literasi (membaca). 55,4% anak Indonesia kemampuan membacanya berada di level 1 (terendah) sedangkan Vietnam hanya 13,9% saja dan rerata negara OECD di 20,1%.

Vietnam dan negara-negara OECD lain menempatkan porsi terbesar pada kemampuan membaca di level 3, Vietnam 35,2% dan negara-negara OECD di 27,9%. Ini yang membuat lemahnya kemampuan siswa Indonesia untuk belajar. Jika tidak mampu membaca, dalam kajian Bank Dunia dibahasakan functionally illiterate alias bisa membaca tetapi tidak paham makna dari apa yang dibaca, maka SDM Indonesia tidak mampu untuk belajar apapun. Tidak mampu belajar artinya bukanlah SDM yang unggul.

Lebih jauh lagi, distribusi kemampuan membaca anak Indonesia tersebut diatas menunjukkan kurva abnormal karena prosentase terbesar berada dilevel terendah atau level 1, sedangkan Vietnam dan negara-negara OECD lain prosentase terbesar berada pada level membaca ditingkat menengah atau level 3. Dengan data yang demikian, seakan bersekolah di Indonesia justru membuat anak semakin bodoh.

Data-data dari PISA tersebut dapat dijadikan titik awal program pembangunan SDM Indonesia alias titik jemput kalau menggunakan aplikasi Gojek. Sayangnya hal tersebut tidak pernah sekali pun disebutkan dalam penyusunan program-program pendidikan Indonesia.

BACA JUGA:

Centre for Education Economics, sebuah organisasi riset pendidikan dari Inggris, dalam Annual Research Digest 2017-2018 yang diterbitkannya, memuat sebuah kajian tentang sistem pendidikan Indonesia yang berjudul, “15 years of education in Indonesia: rising enrolment and flat learning profiles (Beatty, Berkhout, Bima, Coen, Pradhan, Suryadarma).”

Dijelaskan dalam kajian tersebut bahwa selama 15 tahun tidak ada perkembangan dalam mutu pendidikan Indonesia yang disebabkan karena sikap komplasen bangsa Indonesia terhadap dunia pendidikan. Semua orang menganggap semuanya baik-baik saja, padahal kalau jika kita melihat hasil PISA, kondisi Indonesia berada pada posisi yang sangat memprihatinkan.

Program-program pemerintah Indonesia dalam bidang pendidikan dalam kajian tersebut di atas dikatakan juga cenderung tidak berubah alias itu-itu saja, tetapi anggarannya ditambah terus. Istilah yang dipakai dalam kajian tersebut adalah BAUWMM (Business as Usual with More Money) alias kegiatan yang sama dengan anggaran yang lebih banyak.

Program Kemendikbud Tidak Ada Inovasi Baru

Bagaimana dengan program pendidikan di setahun belakangan ini? Kita mendengar adanya program Sekolah Penggerak, Guru Penggerak, Program Organisasi Penggerak (POP), penghapusan Ujian Nasional (UN), dan penyederhanaan kurikulum, yang dicanangkan oleh Kemendikbud. Apakah itu semua adalah inovasi-inovasi baru? Bagaimana dengan sekolah inti, rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), dan sekolah rujukan yang merupakan program Mendikbud pada periode-periode sebelumnya? Bagaimana dengan program guru inti, guru pembelajar, dan  pengembangan keprofesian bekelanjutan (PKB) untuk guru? Bagaimana juga dengan EBTANAS dan Ujian Nasional yang sekarang berganti menjadi Asesmen Nasional?

Kurikulum yang selalu berganti bersamaan dengan pergantian Mendikbud seperti kurikulum berbasis kompetensi (KBK), kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013, revisi Kurikulum 2013, dan penyederhanaan kurikulum. Program Merdeka Belajar sendiri belakangan diketahui merupakan merk dagang sebuah perusahaan asing yang kebetulan menjadi penasihat Mendikbud dimana mereka juga menjalankan konsep yang sama dengan POP di tahun 2019 lalu dengan nama KOP (Komunitas Organisasi Pendidikan) yang sebenarnya programnya tidak jauh berbeda dengan MGMP Reborn milik Kemendikbud di periode sebelumnya.

Sekilas terlihat bahwa tidak ada inovasi baru pada program Kemendikbud, semuanya sebatas ganti nama saja, dan tentunya memakan anggaran lebih banyak. Contoh untuk Ujian Nasional tahun 2020 ini anggarannya 200 milyar sedangkan untuk Asesmen Nasional tahun depan anggaran melonjak menjadi 1,4 trilyun. Padahal kita semua berharap banyak pada Mendikbud Nadiem Makarim, seorang milenial dengan latar belakang pendiri perusahaan start-up digital sukses, untuk membuat banyak perubahan dalam dunia pendidikan Indonesia sebagai tulang punggung program pembangunan SDM unggul.

Butuh Perubahan Substansial

Albert Einsten pernah mengatakan bahwa kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda. Jika kita mengharapkan perubahan dari kualitas SDM menjadi unggul maka program-program pendidikan harus berubah secara substansi bukan sekedar ganti nama saja. Untuk itu diperlukan evaluasi yang menyeluruh, obyektif,  dan transparan terhadap program-program pendidikan yang sedang berjalan maupun yang telah berhenti. Evaluasi ini bukan bertujuan mencari siapa yang salah melainkan untuk mencari solusi masalah.

Setelah evaluasi dibutuhkan penyusunan cetak biru/grand design/peta jalan pendidikan Indonesia yang jelas titik awalnya dan tujuan akhir, waktu yang dibutuhkan, serta biaya yang diperlukan agar tujuan tersebut tercapai.

Dalam kondisi pandemi seperti saat ini, sepertinya momentum waktu yang tepat untuk memanggil putra-putra terbaik bangsa, para tokoh dan pakar pendidikan untuk bersama-sama mencurahkan pikiran dalam menyusun cetak biru pendidikan Indonesia.

Jangan sampai hal yang sangat penting demi masa depan bangsa ini, disusun oleh kelompok elitis secara tertutup yang pastinya akan menimbulkan kecurigaan dari masyarakat.

Setahun telah berlalu, masih banyak hal yang perlu dibenahi, tetapi tidak ada kata terlambat. Bersama kita bisa membangun SDM Unggul – Indonesia Maju. Merdeka!

* Pemerhati dan Praktisi Edukasi 4.0, Direktur Eksekutif CERDAS (Center for Education Regulations & Development Analysis) dan Direktur Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*