Ngobrol Live dengan Maudy Ayunda, Nadiem Tekankan Hybrid Learning Saat Pandemi

Mendikbud Nadiem Makarim dan Maudy Ayunda
Mendikbud Nadiem Makarim dan Maudy Ayunda (KalderaNews/Ist)
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memperjelas definisi sekolah tatap muka pada diskusi di instagram live Maudy Ayunda. Diskusi tersebut membahas arah pendidikan di Indonesia, khususnya di masa pandemi Covid-19. Nadiem selaku Mendikbud menjelaskan bahwa pembelajaran tatap muka tidak sepenuhnya belajar di sekolah, melainkan harus ada metode hybrid

Metode hybrid menggabungkan pembelajaran daring dari rumah dengan pembelajaran tatap muka. Meskipun akan ada tantangan, tetapi cara tersebut bisa jadi solusi untuk mencegah dampak permanen bagi murid yang kesulitan pembelajaran jarak jauh (PJJ).

“Mau tidak mau kita harus lakukan hybrid. Karena poin yang dimaksud tatap muka yaitu bukan sekolah normal. Jadi, banyak orang mispersepsi kalau balik tatap muka itu seperti sekolah normal, padahal sama sekali tidak normal,” ujar Mendikbud Nadiem Makarim.

BACA JUGA:

Jika sekolah memutuskan untuk belajar tatap muka, maka harus memenuhi syarat-syarat wajib pada daftar periksa. Ia menjelaskan dasar peraturan sekolah tatap muka, seperti rotasi jam masuk, daftar periksa, sanitasi, dan memakai masker.

“Harus ada dua rotasi minimal, karena hanya ada 18 anak per kelas, biasanya 36 anak. Ini protokol ketat, maka tidak boleh mudah memperbolehkan tatap muka. Tatap muka ada daftar periksa yang sangat komprehensif. Ada sanitasi, harus pakai masker, harus 50% kapasitas. Bukan cuman itu. Tidak boleh ada kantin, aktivitas olahraga, ekskul, tidak boleh. Cuman masuk kelas, keluar kelas, pulang. Sudah, begitu saja,” terangnya.

Ia menyadari bahwa dengan melemparkan pilihan kepada orang tua, maka ada kekhawatiran suara mereka tidak didengar. Ia menjelaskan bahwa orang tua tidak boleh merasa terpaksa ketika mengantar anak-anak ke sekolah.

“Banyak orang tua yang concern, yang pertama jangan stres, ini hak Anda. Pertama, melalui komite sekolah, lalu jika keputusannya membuka, maka itu hak Anda bilang bahwa anak saya tidak mau karena tidak nyaman. Jangan merasa terpaksa. Yang kedua, pada saat anak masuk sekolah, situasinya bukan normal, tetapi jauh dari normal,” ujarnya.

Selanjutnya, ia pun menyadari dampak permanen yang timbul jika PJJ terus menerus. Ia tidak ingin ada generasi yang kehilangan pembelajaran kognitif dan psikososial. Maka dari itu, relaksasi pembelajaran di masa pandemi memberikan kesempatan bagi anak – anak yang sulit melakukan PJJ untuk bisa kembali ke sekolah.

“Jadi, yang harus kita lakukan adalah memberikan kepercayaan kepada pemda-pemda kita untuk menentukan keseimbangan yang mereka butuhkan. Gas dan remnya itu ada di mereka. Karena mereka yang mengenal daerahnya, bukan pusat. Ini akan memberikan kesempatan bagi anak-anak yang sulit melakukan PJJ untuk bisa kembali ke sekolah,” jelasnya.

Lalu, ia mengatakan bahwa keputusan membuka sekolah di masa pandemi merupakan upaya agar anak-anak di daerah 3T tetap bisa belajar. Paling tidak, siswa bisa bertemu guru untuk belajar, lalu mendapatkan interaksi dengan teman-temannya, meskipun keterbatasan akses gawai dan internet.

“Jadi, ini sebenarnya keputusan ini yang berdampak paling besar adalah siswa di daerah terluar dan tertinggal (3T). Mereka itu yang paling butuh untuk sekolah tatap muka sekarang,” ucapnya.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*