Mengatapi Indonesia dengan Energi Surya

Pemasangan Solar Panel
Ilustrasi: Pemasangan Solar Panel
Sharing for Empowerment

JAKARTA, KalderaNews.com – Berdasarkan penelitian yang dihimpun ANU University, sinar matahari di wilayah Indonesia mampu menghasilkan listrik sebesar 640.000 Terrawatt per jam (TWh) per tahun dari energi matahari.

Potensi sedemikian besarnya tidak diimbangi dengan investasi pada sektor energi terbarukan, sehingga mengakibatkan kontribusi energi surya pada tahun 2019 baru mencapai 1,7% dari total energi listrik. Padahal, jika merujuk ke draft Kebijakan Energi Nasional (KEN) Pemerintah Republik Indonesia, target bauran Energi Terbarukan (EBT) diupayakan mencapai 23% pada tahun 2025.

Berbagai faktor melatarbelakangi kondisi ini. Jika ditarik dari sudut pandang politik maka kejayaan Indonesia terhadap cadangan energi fosil di masa lampau menciptakan suatu skema ketergantungan yang sulit dilepaskan.

BACA JUGA:

Energi fosil telah menjadi pondasi dari sistem energi, pertumbuhan ekonomi, dan gaya hidup modern masyarakat Indonesia selama berpuluh-puluh tahun, Ketergantungan ini mendorong 90% energi listrik di Indonesia, pada tahun 2019, masih didominasi energi fosil (batu bara, gas, diesel, dll).

Dominasi ini diproyeksikan akan terus bertahan hingga tahun 2050 karena PT PLN, sebagai penyedia listrik negara, masih terikat kontrak jual beli dengan banyak pembangkit listrik swasta. Bisa dipahami, meskipun potensi sinar matahari Indonesia melimpah ruah untuk dijadikan energi listrik, tapi hambatan pemanfaatannya disebabkan PT PLN masih terikat kontrak.

Menciptakan pembangkit listrik pribadi adalah solusi tepat dalam menggenjot bauran energi terbarukan. Tapi tentu saja dari sudut pandang ekonomi, hal ini pun menemui kendala di lapangan karena biaya investasi di awal yang mahal.

Bagi masyarakat Indonesia, seringkali masalah biaya investasi ini menjadi alasan kuat untuk tidak memperdulikan keberlangsungan energi di masa depan. Bayangkan saja, ilustrasi rata-rata kebutuhan energi masyarakat Indonesia adalah 1-2 kWp dengan harga panel surya di Indonesia berkisar US$ 1000/kWp. Ditambah dengan instalasi, maka setidaknya dana 15 juta harus disediakan di awal.

Memang, dengan investasi sebesar itu, karena milik pribadi, pemilik pun bisa mengelola kebutuhan energi listriknya sendiri sekaligus memperjual-belikannya. Dengan begitu, diprediksi pemilik akan balik modal minimal 5 hingga 8 tahun sejak pemakaian panel surya.

Pemerintah jelas tidak bisa bekerja sendiri mewujudkan hal ini. Perlu ada kontribusi dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor energi terbarukan, sehingga masyarakat tertarik mengatapi gedung mereka dengan energi surya.

Pemerintah bisa menggandeng pihak swasta dalam hal ini perusahaan spesialis penyedia atap dan energi terbarukan. Skema seperti ini harusnya bisa menjadi pioneer dalam memasyarakatkan atap solar panel di Indonesia. Setiap masyarakat bisa memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) pribadi, bahkan beserta atap gratis, dan tentu saja masyarakat mendapatkan akses clean energy seluas-luasnya dengan sistem tagihan sesuai dengan pemakaian.

Tentunya, biaya tagihan atap solar panel termasuk penghematan yang bisa mencapai 5-15% dari beban listrik biasanya. Ini juga akan mendorong suatu kebiasaan baru yang positif tentang tanggung jawab konsumsi energi yang selaras dengan salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Tidak boros dan tentu 100% ramah lingkungan.

Energi surya di Indonesia perlu diseriusi, dari mulai riset, celah bisnis, hingga pemanfa’atannya agar masyarakat Indonesia mampu menikmati sumber daya alam yang tersedia di negeri sendiri. Jika masyarakat Indonesia terus teredukasi dengan baik, negara kita bisa berdaulat energi, tanpa bergantung ke pihak lain. (Tulisan ini kiriman dari Diah Sulung Syafitri)

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*