JAKARTA, KalderaNews.com — Jumlah keuntungannya yang melesat dalam dua tahun terakhir dari operasi di luar negeri, termasuk di negara Asia yang miskin telah mendatangkan kritik terhadap sekolah-sekolah elit Inggris yang beroperasi di luar negeri.
Keuntungan yang lukratif itu ditengarai dipergunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka di Inggris dengan status lembaga amal yang akan menghadapi tekanan bila nanti pemerintahan dikuasai oleh Partai Buruh.
Surat kabar The Guardian mengutip sebuah studi yang dilakukan oleh Private Education Policy Forum (PEPF). Menurut studi itu selama tahun 2020-2021, sebanyak 40 sekolah swasta Inggris yang berstatus sebagai lembaga amal mengantongi keuntungan £29 juta atau sekitar Rp545 miliar dari operasi cabang-cabangnya di luar negeri. Angka ini melesat dari hanya £1,6 juta pada tahun 2011-2012.
Menurut The Guardian, sekolah-sekolah swasta elit Inggris sedang berpacu untuk membuka operasi mereka di sejumlah negara yang paling miskin di dunia sebagai cara memenuhi kewajiban di dalam negeri dengan status lembaga amal.
BACA JUGA:
- Pemilihan Mahasiswa Berprestasi (Pilmapres) 2023 Digelar, Berikut Pedoman dan Jadwal Seleksinya
- Menghadapi Mahasiswa yang Super Kritis? Simak Saran Tim Pasang, Profesor asal Toraja yang Mengajar di AS
- Dukungan Pelaku Pasar Terhadap Petani Kopi Minim, Tingkat Produktivitas Makin Rendah
Kamboja, Bangladesh dan Vietnam, adalah di antara negara-negara yang jadi sasaran, sebagian besar melalui kemitraan dengan perusahaan pengembang properti dalam rangka membangun pemukiman bahkan kota mewah.
Sebagian dari sekolah itu, menurut The Guardian, mengatakan motivasi untuk meningkatkan laba dipicu oleh kekhawatiran kemungkinan pemerintahan dikuasai Partai Buruh di masa mendatang yang akan mengenakan pajak terhadap pembayaran uang sekolah swasta dan menghilangkan status sebagai lembaga amal dari sekolah-sekolah tersebut.
“Riset ini menunjukkan sekolah-sekolah (swasta) Inggris menggunakan keuntungan mereka yang terutama berasal dari negara sedang berkembang untuk mempertahankan status mereka di Inggris,” kata jurubicara PEPF.
“Mengingat hanya 1 persen kursi di sekolah-sekolah itu disediakan untuk siswa miskin, bayaran siswa yang saat ini rata-rata sekitar £17.000 setahun maka etika model pendidikan seperti ini akan menjadi pertanyaan serius bagi pengambil kebijakan,” kata dia.
“Implikasi etis dari menarik keuntungan besar ke Inggris dari negara-negara sedang berkembang kemungkinan akan dipertanyakan dan praktik tersebut akan tidak disukai oleh pemerintah dan rakyat di negara-negara tersebut,” kata Francis Green, profesor Ekonomi Kerja dan Pendidikan, yang telah mempelajari kegiatan sekolah-sekolah swasta Inggris.
Tom Fryer, peneliti dari University of Manchester yang menjadi penulis utama studi ini mengatakan pendapatan dari luar negeri sekolah-sekolah Inggris telah melesat dalam 10 tahun terakhir dan belum ada tanda-tanda berkurangnya jumlah sekolah yang bergabung.
Dalam lima tahun terakhir jumlah sekolah Inggris yang beroperasi di luar negeri berlipat dua kali menjadi lebih 100 sekolah dan kemungkinan bertambah 28 sekolah lagi dalam waktu dekat.
Lebih setengah dari sekolah yang beroperasi di LN saat ini berada di Uni Emirat Arab, China, dan Hong Kong. Namun kompetisi membuka pasar baru telah membuat sekolah-sekolah Inggris membuka cabang-cabang di Kenya, Indonesia dan Kamboja sementara Vietnam dan India menjadi negara yang paling menunjukkan minat.
Brighton College, yang telah membuka cabang di Thailand, Singapura, dan UAE, dalam waktu dekat akan membuka cabang di Hanoi, yang pertama dari tujuh yang direncanakan, berpartner dengan perusahaan setempat.
Haileybury, sekolah berasrama di Hertfordshire, memiliki dua mitra di Kazakhstan, dan bulan Agustus ini akan membuka cabang di Bhaluka, Bangladesh, menyusul empat sekolah yang akan didirikan di Malta pada 2024. Sekolah di Bhaluka akan mengenakan uang sekolah £29.000 per tahun, 10 kali pendapatan perkapita negara itu yang hanya £2.300. Menurut pernyataan Haileybury, pembukaan sekolah kedua di Bhaluka juga sedang dipertimbangkan.
Laba yang diterima sekolah-sekolah Inggris berasal dari sejumlah persentase uang sekolah yang diterima, disamping jasa konsultansi atas pemakaian merek oleh mitra lokal. Cabang-cabang sekolah tersebut kemudian menyetorkannya ke sekolah induk di Inggris sebagai ‘gift aid’ untuk menghindari pajak perusahaan.
Fryer memperkirakan 40 sekolah (37 di Inggris dan 3 di Skotlandia) menggunakan jalur transfer ‘gift aid’ untuk memanfaatkan peluang tidak membayar pajak senilai £5 juta untuk tahun 2020-2021.
Keir Stramer, Ketua Partai Buruh, memastikan manifesto partainya untuk pemilu tahun depan adalah meminta dikenakannya Value Added Tax (VAT) atas pembayaran uang sekolah di sekolah-sekolah swasta utama Inggris dan menghapus status mereka sebagai lembaga amal. Penerimaan pajak tersebut akan dipakai untuk merekrut 6.500 guru untuk sekolah-sekolah negeri.
Sekolah-sekolah swasta di Inggris telah menyusun rencana mengantisipasi kemungkinan tersebut.
Cek Berita dan Artikel KalderaNews.com lainnya di Google News
*Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu. Tertarik menjalin kerjasama dengan KalderaNews.com? Silakan hubungi WA (0812 8027 7190) atau email: kalderanews@gmail.com


Leave a Reply