7 Alasan Mengapa Cerita Kriminal Paling Banyak Dibaca di Masa Pandemi Covid-19

Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta
Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta (KalderaNews/Dok. Pribadi)
Sharing for Empowerment

Oleh: Eben E. Siadari *

JAKARTA, KalderaNews.com — Sebuah survei di Inggris menunjukkan fakta menarik. Di masa pandemi COVID-19 yang mendatangkan kecemasan dan ketidakpastian, ternyata buku bacaan yang dicari bukan buku-buku agama penguat iman dan pemberi harapan. Bukan pula buku-buku fiksi sains yang memberi gambaran masa depan. Juga bukan buku-buku jenis chicken soup for the soul yang menyamankan jiwa dan perasaan. Pun bukan buku-buku humor yang menghibur dan membuat lupa kepedihan. Buku yang paling banyak dicari orang di masa pandemi ini di negaranya Ratu Elizabeth II itu adalah buku-buku cerita kriminal dan fiksi thriller.

Menurut survei yang dilakukan Nielesen Book terhadap 1.000 responden orang dewasa ini, para responden mengatakan terjadi perubahan selera bacaan mereka di masa pandemi ini. Minat membaca buku-buku cerita kriminal dan thriller serta fiksi popular lainnya meningkat. Sementara selera untuk membaca buku-buku bergenre fiksi dystopian (seperti fiksi sains) tidak terlalu besar.

Dalam survei yang dilakukan dari 29 April hingga 1 Mei itu, terungkap pula bahwa responden semakin banyak meluangkan waktu untuk membaca buku di masa pandemi. Dari rata-rata 3,5 jam per minggu (sebelum pandemi) menjadi 6 jam per minggu.

Tentu menarik mencari tahu apa penyebab perubahan selera ini. Mengapa di masa sulit dan juga masa berduka ketika banyak orang kehilangan anggota keluarga dan sahabat , justru kisah-kisah kriminal yang jadi pilihan bacaan. Padahal kesan umum tentang cerita kriminal adalah suasana penuh konflik, pertumpahan darah, orang-orang jahat dan hal-hal menyeramkan. Mengapa hal itu justru disenangi pembaca.

BACA JUGA:

The Guardian yang menulis fenomena ini pada laporan berjudul Research Finds Reading Books has Surged in Lockdown pada 15 Mei lalu, mewawancarai salah seorang penulis kenamaan Inggris, Louise Doughty. Dan jawabannya tak kalah menarik.

Menurut Doughty, adalah salah bila mengasumsikan di masa sulit orang menginginkan bacaan ringan dan kisah-kisah yang menyamankan hati. Yang diperlukan orang di masa krisis, kata anggota Royal Society of Literature Inggris itu, adalah bacaan yang membuat ‘terhisap’ dan tenggelam pada kisah. Pembaca mencari buku yang benar-benar dapat menarik perhatiannya secara total. Dan, cerita-cerita kriminal memainkan peran itu.

Mengapa orang ingin tenggelam dalam bacaan di masa sulit ini? Apakah mereka ingin melarikan diri dari kecemasan di dunia nyata? Bisa jadi, meskipun itu tidak dominan. Dalam survei itu hanya 35 persen yang berkata membaca buku merupakan ‘pelarian’ dari krisis. Sedangkan 35 persen mengatakan membaca buku di masa pandemi karena ingin terhibur. Yang paling dominan, 51 persen, mengatakan membaca buku karena memiliki banyak waktu luang.

Ini membawa kita pada pembahasan yang sudah sangat klasik di kalangan penulis –tetapi tidak pernah membosankan – tentang apa alasan orang membaca buku genre tertentu, termasuk cerita kriminal. Dalam studi literatur, hal ini banyak sekali dibahas. Bila dirunutkan alasan orang membaca cerita kriminal bisa mencapai puluhan, tetapi kali ini saya akan memilih tujuh alasan saja, yang mungkin paling relevan dengan alasan membaca cerita kriminal di masa krisis.

Pertama, fiksi kriminal selalu jelas endingnya. Serumit apa pun plot sebuah fiksi kriminal, pembaca selalu punya ekspektasi untuk dapat menjawab akhir kisah. Dan umumnya fiksi kriminal memiliki ending yang sama – tentu ada pengecualian. Pelaku kejahatan akhirnya tertangkap. Kejahatan terungkap.
Fiksi kriminal selalu dipandang sebagai ‘dongeng’ paling asli dan murni. Hubungan sebab dan akibat selalu menyertai setiap cerita kriminal. Dan ini melegakan pembaca. Pembaca menuntut kelogisan hubungan sebab akibat tersebut. Fiksi kriminal yang tidak memenuhi unsur itu akan cenderung mengecewakan pembaca. Sebaliknya, hubungan sebab akibat yang terungkap –meskipun kerap melalui lika-liku cerita – sangat membuat pembaca senang.

Kedua, fiksi kriminal merupakan miniatur dari misteri alam yang lebih besar. Pembaca menemukan kelegaan membaca fiksi kriminal karena pertanyaan-pertanyaan di dunia nyata yang tak terjawab, terungkap di dunia fiksi. Manusia memahami bahwa dunia ini digerakkan oleh hukum alam. Hukum sebab-akibat. Namun, manusia tidak selalu dapat melihat dan menemukan ‘agen’ di balik hukum alam sebab akibat itu. Dalam cerita kriminal, sang agen selalu ditemukan.

Ketiga, pembaca terlibat dan ingin menjadi bagian dari solusi. Fiksi kriminal yang baik, sering digambarkan seperti jembatan batu orang Roma. Adegan demi adegan dalam fiksi kriminal tak ubahnya susunan batu-demi batu yang demikian saling terhubung dan saling tergantung. Satu batu saja copot, jembatan dapat roboh. Pembaca fiksi kriminal terbawa untuk ikut mencermati ‘batu demi batu’ dan merasa tertantang untuk ikut menjadi bagian dari solusi.

Keempat, membaca fiksi kriminal adalah mengontrol rasa takut sekaligus menambah adrenalin. Memang kisah-kisah kriminal sering menakutkan. Tetapi pembaca dapat mengontrol rasa takut itu. Pada saat yang sama, adrenalin pada dirinya juga turut meningkat dipicu oleh tantangan mengikuti akhir cerita. Ini tak ubahnya dengan anak-anak yang tetap saja ketagihan untuk naik roller coaster walapun tatkala berada dalam putaran dan guncangannya, mereka berteriak histeris.

Kelima, lega karena bukan korban. Membaca fiksi memberikan kelegaan karena pembaca merasa beruntung bukan menjadi korban. Ini memang terdengar selfish, tetapi demikianlah kenyataannya. Seorang penulis pernah berkata bahwa manusia sesungguhnya sering terpesona pada devil, tokoh-tokoh jahat atau tokoh-tokoh antagonis. Tetapi sepanjang kita bukan menjadi korbannya.

Keenam, cerita kriminal juga membawa pembaca merasa diberi aba-aba untuk berjaga-jaga bila kenyataan buruk seperti yang dikisahkan terjadi pada dirinya. Pembaca menemukan kelegaan karena dapat belajar dan memiliki kesempatan menyiapkan diri menghindari hal buruk di masa mendatang.

Ketujuh, cerita kriminal membawa pembaca lebih mengenali manusia. Karakter-karakter dalam cerita kriminal sering unik dan mengejutkan. Dan itu membawa pembaca mengenali dan menyelami lagi karakter manusia yang barangkali tidak terpikirkan sebelumnya. Pembaca merefleksikan karakter-karakter itu kepada dirinya dan manusia di sekelilingnya. Dan ia merasa lega, semakin mengenali dirinya dan sesamanya.

* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan. Buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), The Beautiful Sarimatondang (2020), Perempuan-perempuan Batak yang Perkasa (2020) dan Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (2020).

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat, dan teman-temanmu.




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*