
Oleh: Eben E. Siadari *
JAKARTA, KalderaNews.com – Apa yang pertama kali mendorong manusia menciptakan tulisan dan menulis? Siapa orang-orang pertama yang memulai tradisi ini?
Agak panjang kisahnya. Menyangkut periode ribuan tahun.
Menurut penelitian ahli-ahli purbakala, sampai sekitar 5.500 tahun lalu manusia belum mengenal tulisan. Sejak 35.000 tahun Sebelum Masehi (SM) manusia memang sudah mengenal bahasa. Dengan bahasa mereka saling tegur, bercakap-cakap dan mengutarakan mimpi-mimpi mereka. Tetapi menulis samasekali belum menjadi tradisi.
Dapat dibayangkan betapa terbatasnya cara bertukar pikiran. Diperlukan daya ingat yang luar biasa apabila ingin berkisah secara panjang lebar. Belum lagi kemungkinan distorsi pesan akibat keterbatasan memori. Juga oleh perbedaan kemampuan mendengar dan menalar.
Menurut temuan para peneliti purbakala, tulisan sebagai manifestasi dari bahasa lisan baru muncul di Sumer, Mesopotamia Selatan (sekarang bagian Selatan dari Bahgdad, Irak), sekitar 3.500 tahun SM. Corak tulisan awal ini berupa ‘ukiran’ di tanah liat basah memakai alat yang tajam. (Selain di Sumer, tradisi menulis di belahan bumi lain seperti di China dan di Peru, juga ditemukan pada waktu yang lebih belakangan. Tetapi masing-masing tradisi ini berjalan secara independen, tidak ada kaitan langsung).
BACA JUGA:
- Karena Alam Hanya Menjalani Fitrahnya
- Catatan Pendidikan Hardiknas 2019: Handayani
- (Mengharapkan) “Midas Touch” dari Seorang “Silver-Spoon Kid”
- OPINI: Urgensi Menata Pipa dan Kabel Bawah Laut dengan Peta Laut
- OPINI: TNI dan Sebaran Hoax di Medsos
Jangan dibayangkan bila tulisan itu sudah berbentuk huruf demi huruf dan menarasikan sesuatu. Bentuknya lebih kepada simbol-simbol benda tertentu, yang berfungsi sebagai penanda. Mirip dengan ikon-ikon yang dapat kita temukan pada layar laptop atau layar ponsel kita saat ini. Disebut juga piktograf.
Siapa yang pertama kali menggunakannya? Para peneliti purbakala memperkirakan piktograf dipakai untuk berkomunikasi diprakarsai oleh para pedagang. Mereka memerlukan piktograf untuk mencatat barang-barang yang dikirim antarkota di Mesopotamia. Dengan berkembangnya kota-kota, pengiriman barang pun semakin ramai. Para pedagang perlu untuk mengingat barang-barang apa saja yang sudah terkirim. Misalnya, berapa banyak domba yang telah pergi dari peternakan, dan dengan tujuan ke kuil mana saja.
Piktograf pada tanah liat basah yang kemudian dikeringkan, pada perjalannya menjadi sangat luas dipakai. Ia menjadi catatan resmi perdagangan. Bir menjadi salah satu komoditas yang banyak dicatat. Dapat dimaklumi karena ia memang minuman yang sangat populer. Dengan piktograf, orang dapat mengetahui berapa tong bir yang telah terjual dan kepada siapa saja ia dikirimkan.
Menulis dengan simbol-simbol berupa piktograf tentu terbatas kegunaannya. Ia lebih berfungsi mengutarakan ekspresi visual yang simpel, padahal, banyak hal yang perlu diutarakan yang tidak dapat diwakili oleh visualisasi piktograf.
Tiga abad kemudian, menurut penelitian para ahli sejarah, masyarakat di kota Uruk di Sumer, mulai mengenal tulisan yang tidak lagi berbasis visual, melainkan tulisan yang berbasis suara (fonetis). Piktograf masih dipakai tetapi tulisan fonetis (fonogram) jauh lebih berkembang.
Ini tidak perlu diherankan. Perubahan ini proses yang logis belaka, yang didorong oleh kebutuhan. Untuk mengekspresikan konsep yang lebih kompleks daripada transaksi keuangan atau daftar barang, diperlukan sistem penulisan yang lebih rumit. Piktograf tidak lagi memadai. Dengan fonogram seseorang dapat dengan lebih mudah menyampaikan makna yang tepat dan lengkap. Bila seseorang mengirimkan bir ke kota Anu, misalnya, dia tak lagi terbatas hanya mencatat jenis dan jumlah bir (yang hanya berupa gambar statis). Ia sudah dapat lebih memperjelas keberadaan bir tersebut dengan berbagai catatan tambahan yang lebih detil.
Penggunaan tulisan fonetis semakin meluas. Namun masih diperlukan ratusan tahun agar jenis mencapai bentuknya yang konsisten. Diperkirakan baru setelah 2.600 tahun SM tulisan fonetis mulai berbentuk, yang ditandai dengan kombinasi kompleks tanda, kata dan fonogram. Ini memungkinkan para jurutulis mengekspresikan gagasan yang lebih kompleks. Penggunaannya pun meluas secara masif, dari dunia perdagangan merambah ke bidang-bidang lain.
Ekspansi penggunaan fonogram antara lain masuk ke bidang agama. Rupanya para pemuka agama sangat responsif terhadap datangnya sarana komunikasi baru ini. Tidak seperti sikap mereka yang konservatif bila berhadapan dengan ajaran-ajaran asing, ‘teknologi’ menulis yang mutakhir ini menggairahkan mereka. Para ahli agama di Mesopotamia mulai mencatat peristiwa-peristiwa pada zaman mereka serta ajaran agama mereka.
Bukan hanya itu. Ketersediaan tulisan untuk menampung gagasan-gagasan yang sebelum ini hanya tersimpan di tempurung kepala, semakin memasifkan penggunaan tulisan. Tidak hanya menulis tentang ajaran agama, para ahli agama pun merambah ke genre-genre baru, seperti sastra. Ajaran agama, doa dan nyanyian semakin banyak dituangkan dalam tulisan.
Maka lahirlah ‘profesi’ penulis. Menurut para sejarawan, penulis ‘profesional’ pertama yang dikenal oleh peradaban adalah seorang pendeta agama Mesopotamia dan perempuan. Namanya Enheduanna, hidup di rentang waktu antara 2.285-2.250 SM. Ia disebut juga sebagai putri Sargon dari Akkad, penguasa bangsa Akkad.
Para ahli sejarah tidak dapat memastikan apakah Enheduanna benar-benar putri Sargon. Enheduanna itu sendiri adalah nama formalnya sebagai pemimpin agama. Yang pasti, sebagai pemimpin agama, Enheduanna mendapat kepercayaan besar dari Sargon. Ia diberi kedudukannya sebagai pemimpin tinggi di kuil Sumer di kota Ur, yang disebut Entu. Enheduanna memimpin penyembahan kepada dewa-dewa orang Sumeria. Ia menjabat Entu selama 40 tahun.
Menurut para ahli sejarah purbakala, karya tulis pertama Enheduanna yang termashyur ialah nyanyian pujian kepada Dewi Inanna. Karya tulis ini pula yang dipandang sebagai karya tulis profesional pertama dari penulisnya. Enheduanna membubuhkan tanda tangannya serta stempel pada karya tulis itu. Tradisi yang diikuti oleh para penulis-penulis berikutnya.
Salah satu komposisi Enheduanna, Nin-me-šara (Terusirnya Inanna) berkisah tentang pengusiran dirinya dari Ur, yang terletak di Irak selatan, bersama dengan permintaan doanya kepada dewi untuk pemulihan kembali. Enheduanna juga menyusun 42 nyanyian liturgi yang ditujukan ke kuil-kuil di seluruh Sumer dan Akkad. Selain menulis, ia menyunting antologi puisi, nyanyian pujian, antologi pertama yang pernah ada. Di akhir nyanyian terakhir ia mengklaim: “Rajaku, sesuatu telah diciptakan yang belum pernah dibuat sebelumnya.”
Para peneliti sejarah meyakini pengaruh Enheduanna memiliki jejak yang tebal dan panjang kepada generasi sesudahnya. Dengan karya-karyanya, ia menciptakan paradigma tentang sajak, mazmur dan doa-doa di masa itu yang menjadi dasar bagi perkembangan genre-genre tersebut hingga dewasa ini. Sejarawan Paul Kriwaczek bahkan meyakini pengaruh karya-karya Enheduanna merasuk ke berbagai bentuk doa dan mazmur kitab suci bangsa Yahudi melalui bangsa Babilonia.
Sebagai orang pertama yang ‘mendeklarasikan’ diri sebagai penulis, dan menyemaikan tradisi itu di zamannya, patutlah Enheduanna kita beri respek dan rasa berutang atas jasanya.
* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.
Tulisan ini didasarkan dan diringkas dari tulisan Joshua J. Mark pada situs Ancient History Encyclopedia pada lema Writing yang diunggah pada 28 April 2011. Joshua J. Mark adalah seorang penulis lepas yang bermukim di New York, pendiri dan editor Ancient History Encyclopedia. Karya-karyanya berupa fiksi dan nonfiksi telah terbit di sejumlah jurnal dan majalah. Ia juga merupakan profesor filsafat paruh waktu dan instruktur kepenulisan di Marist College.
Leave a Reply