Oleh: Eben E. Siadari *
Bencana adalah peristiwa unik dan mengundang rasa ingin tahu. Nilai beritanya besar. Keinginan untuk melaporkan dan menuliskannya juga tidak kalah besar.
Para wartawan selalu dibekali sejumlah panduan dalam melakukan reportase maupun menulis berita bencana. Mulai dari panduan teknis –semisal informasi apa yang perlu dikumpulkan, bagaimana alur tulisan, diksi – maupun hal nonteknis jurnalistik lainnya.
Berikut ini beberapa etiket reportase dan menulis berita bencana.
1). Sensitifitas
Para wartawan selalu dianjurkan untuk mengedepankan sensitifitas saat melaporkan bencana dan kematian yang disebabkannya. Wartawan harus peka terhadap perasaan penderita/korban dan keluarga mereka.
BACA JUGA:
- Epitome: Tangis Suster China di Tengah Wabah Corona
- Revitalisasi Kosa Kata untuk Tingkatkan Kompetensi Menulis
- Beda Bahasa Politisi dan Peneliti
- Melalui Warna “Membahasakan” Alam
- Menulis Seperti Memasak
- Mengapa Manusia Menulis?
Ketika bertatap muka (misalnya untuk wawancara), maupun ketika menuliskan laporan, wartawan harus peka terhadap perasaan terluka mereka. Kepekaan itu ditunjukkan bukan hanya dalam gesture saat bertanya, saat menyapa, juga dalam diksi ketika menuliskannya.
2). Peka Dalam Menyebut Nama
Dalam peristiwa bencana akan jatuh korban. Sebagai wartawan, Badu mungkin mengetahui nama-nama mereka. Dalam tabrakan lalu lintas, misalnya, Badu melihat seseorang yang dia kenal telah menghembuskan nafasnya yang terakhir di TKP. Naluri jurnalistik Badu akan menodorongnya menyuarkannya secara lengkap bahkan secara pandangan mata segera. Namun secara etika, Badu sebaiknya tidak menyebut nama korban sampai keluarganya diberitahu. Ini sangat penting.
Leave a Reply