Jenius juga Bisa Lucu, Kisah Martin Chalfie

Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan, buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), tinggal di Jakarta.
Sharing for Empowerment

Oleh: Eben E.Siadari *


JAKARTA, KalderaNews.com —  Acap kali kita tidak bisa menghindar berpikir secara stereotip. Bahwa para pemenang Nobel itu adalah orang-orang jenius. Dan para jenius serba bisa.  Dan karena itu mereka selalu bekerja sendirian. Dan karena sendirian mereka selalu serius. Dan karena selalu serius mereka tidak punya waktu untuk tersenyum. Dan karena tidak pernah tersenyum,  para jenius tidak lucu. Dan karena tidak lucu, hidupnya membosankan.

Tetapi hidup Martin Lee Chalfie tampaknya tidak membosankan. Bahkan kebalikannya. Kisah hidup pemenang anugerah Nobel untuk bidang Kimia tahun 2008 ini dapat dikatakan penuh warna. Ada lucunya. Ada sedihnya. Ada konyolnya juga.

BACA JUGA:

Bila kamu termasuk yang tertarik mengamati bagaimana kehidupan dan pemikiran para pemenang Nobel, kamu bisa mengunjungi situs nobelprize.org yang informatif dan keren. Dan di sana  kamu akan menemukan sebuah video singkat dimana Chalfie, penyandang gelar Ph.D. di bidang Neurobiologi dari Harvard University ini berkisah tentang mitos di seputar para saintis. Dalam video itu secara menarik ia mendesakralisasi persepsi umum tentang kehidupan orang-orang yang mendedikasikan hidupnya pada sains.

Tertidur Saat Diberitahu Memenangi Nobel

Chalfie memenangi Anugerah Nobel tahun 2008 bersama dua saintis lainnya,  Osamu Shimomura  dari Boston University dan  Roger Y. Tsien dari   University of California, San Diego. Mereka meneliti tentang apa yang disebut sebagai Green Fluorescent Protein (GFP), suatu jenis protein yang dapat bercahaya, yang sangat penting dalam penelitian Biologi.

Martin Chalfie, pemenang Nobel bidang Kimia tahun 2008 (Nobel Media)

Kisah hidup Chalfie sendiri sesungguhnya adalah desakralisasi citra saintis. Membaca kisah hidupnya, kita bisa berkata bahwa  ternyata “jenius juga bisa lucu.”  Bahwa para jenius juga manusia, yang bisa terkecoh, bisa terpingkal-pingkal, bisa frustrasi dan juga terharu.

Cerita tentang bagaimana ia diberitahu tentang kemenangannya meraih Nobel, cukup jenaka. Menurut kisah, dia tertidur sepanjang percakapan telepon dengan Panitia Nobel dari Swedia yang menghubunginya. Dan tatkala dia terbangun, dengan santainya ia membuka laptopnya, untuk mencari tahu siapa kira-kira ‘si bodoh’ (dia sendiri menyebutnya demikian) yang kali ini beruntung meraih hadiah Nobel. Dan ternyata, dia sendiri lah ‘si bodoh’ yang beruntung itu.

Bersuara berat, berkumis tebal dan berbadan gagah, Chalfie menjalani masa muda yang unik dan sedikit konyol. Semasa mahasiswa ia adalah kapten tim renang yang dikagumi. Ia memperoleh piala Harold S. Ulen, atas kualitas kepemimpinannya dalam tim renang kampusnya, Universitas Harvard.  Begitu bangganya dia sebagai atlet renang, sehingga menurut teman satu asramanya, Chaflie selalu memperkenalkan diri sebagai perenang.

Mengawali kuliah di Harvard pada tahun 1965, awalnya ia ingin mengambil jurusan Matematika. Namun kemudian ia beralih ke Biokimia. Alasannya, bidang itu mengombinasikan tiga minatnya: Kimia, Matematika dan Biologi.

Tampaknya dia sudah berketetapan hati untuk menjadi saintis, sampai sebuah pengalaman buruk dijalaninya. Ia mengerjakan beberapa eksperimen di laboratorium Klaus Weber di Harvard.  Namun, tidak satupun yang membuahkan hasil. Demikian frustrasinya dirinya,  sehingga ia berhenti dan meninggalkan Biologi dengan rasa sakit hati yang mendalam. Dia kemudian mengalihkan studi ke bidang lain. Ia mengambil kuliah di bidang Hukum, Teater dan Sastra Rusia.

Lulus dari Harvard, ia sempat bekerja serabutan. Termasuk menjual pakaian yang diproduksi oleh toko pakaian milik ayahnya. Dia juga bekerja sebagai guru di sebuah sekolah Connecticut. Rasanya ia tidak akan pernah menjadi saintis lagi.

Mitos tentang Jenius

Namun, sebuah pengalaman baru menjadi pangkal perubahan radikal hidupnya. Seorang rekan guru memperkenalkannya kepada temannya di Yale Medical School. Perkenalan ini membawa Chalfie  ke lab milik Jose Zadunaisky di Yale University. Di sini ia diminta  bekerja untuk melakukan eksperimen.

Pekerjaan musim panas di lab itu terbukti menjadi pengalaman yang menyenangkan. Dia mengerjakan sebuah eksperimen dengan bantuan dari dua ilmuwan lain, dan kali ini mereka berhasil. Untuk pertama kalinya hasil eksperimennya dipublikasikan.

Semenjak itu rasa percaya dirinya tumbuh. Dia kemudian memutuskan meninggalkan pekerjaan sebagai guru dan kembali memusatkan pikiran sebagai peneliti. Untuk  memantapkan kredensi akademisnya, ia  kembali kuliah di Harvard di bawah bimbingan Robert Periman. Ia memperoleh gelar Ph.D-nya pada tahun 1977.

Pelajaran dari Yale

Pengalaman berkolaborasi dalam eksperimen di lab Yale University memberi pelajaran mendalam bagi Chalfie. Dia mengakui pengalaman buruk yang ia jalani di Harvard tidak seharusnya terjadi jika dia tidak terlalu malu untuk meminta bantuan peneliti lain.

Dia akui, mitos tentang para ilmuwan hebat sebagai jenius yang sendirian, masih mengisi pikirannya di masa muda. Ia selalu membayangkan bahwa para jenius harus serba bisa, mengerjakan semuanya dengan pikiran dan tenaganya sendiri.

“Saya merasa bahwa saya harus melakukan semuanya sendiri, karena meminta bantuan adalah tanda bahwa saya tidak cukup pintar,” kata Chalfie, mengenang. “Saya mencoba melakukan eksperimen sepanjang musim panas, tetapi tidak ada yang berhasil,” katanya. Dan lebih parah lagi, “Saya tidak menikmati kegagalan dan memutuskan bahwa karier dalam sains bukan untuk saya.”

Kini lebih dari 50 tahun Chalfie menjalani karier sebagai saintis. Lebih dari 100 karya imliahnya telah diterbitkan.

Perjalanan sepanjang rentang waktu itu jauh dari mulus. Kegagalan demi kegagalan masih sering ia hadapi. Namun sikapnya dalam menghadapinya sudah berubah. Jika di masa muda di Harvard kegagalan membuat dia frustrasi dan meninggalkan Biologi, pada perjalanannya ia berubah menjadi dapat menerima kegagalan sebagai hal biasa. Bahkan, menurut dia, siapa pun yang berjuang untuk penemuan besar akan mengalami banyak kegagalan. Kegagalan bukan hanya hal yang tak terhindarkan,  tetapi juga penting. Kegagalan, kata dia, dapat membawa seseorang ke arah baru yang sebelumnya mungkin tidak pernah terpikirkan.

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu

* Eben E. Siadari adalah alumni Advanced Course for Practical Journalism, Thomson Foundation, Cardiff Wales, bekerja sebagai penulis dan trainer kepenulisan. Buku karyanya antara lain Esensi Praktik Menulis (2019), The Beautiful Sarimatondang (2020), Perempuan-perempuan Batak yang Perkasa (2020) dan Kerupuk Kampung untuk Gadis Berkacamata Bill Gates (2020).




Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*